"Hmm, ... kami belum pernah menikmatinya ... semoga enak," lirihnya setengah berbisik di telingaku.
"Ohh, ... saya untuk dua puluh bungkus, ya ... ada dua teman di mobil, pasti mereka suka!" ujarnya kepada pramuniaga.
"Aha, ... kita berkenalan ... belum," tolehnya sambil mengulurkan tangan kepadaku, "aku Steven, panggil saja Stiff ...!" senyum mengembang memamerkan sederet gigi putih mirip senyum pepsodent. Â
"Roseline ... ," sambutku menjabat tangan halusnya.
"Waw, ... nama secantik bunga ... Ros? ... Emmm, ... bunga apa?" tanyanya sambil mengingat satu nama bunga.
"Mawar," lirihku.
"Oh, ... ya ... ya, ma-mawar," sambutnya sambil  membetulkan letak kacamata.
Sebelum dia mendapatkan kunci kamar, kami pun bertukar nomer telepon sambil berjanji besok pagi-pagi benar bertemu di pos ini untuk berjalan-jalan. Aku menyanggupi walaupun agak ragu apakah bisa bangun pagi mengingat dingin yang menggigit begini enaknya digunakan untuk bermalasan di bawah selimut. Harus kupasang alarm agar tidak bangun kesiangan besok, pikirku.
Kuketuk pelan kamar kakak menawarkan apakah mau kubuatkan sekoteng. Ternyata, kakak menyahut, menyetujui, dan memintaku mengantarkan ke kamarnya jika sudah kubuat. Wah, ... untunglah aku memperoleh minuman penghangat sebab tadi lupa tidak membeli ronde dan angsle sewaktu di kota.
Setengah jam kemudian, masuk notifikasi di gawaiku.
"Hai ... ," tulisnya, "Ini aku, Stif ... teman baru tadi."