Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Super Kilat (Part 1)

17 Juni 2024   21:34 Diperbarui: 18 Juni 2024   01:19 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cinta Super Kilat (part 1) 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu 

Jumat minggu kedua bulan November. Dua minggu sebelum itu kakak sulung mengirim pesan Whatsapp mengabarkan hendak singgah ke kota kelahiran setelah bertugas luar kota, bahkan luar pulau. Dia berkesempatan diundang sebagai pembicara entah acara apa. Karena itu, setelah mendapat tugas kantor dari Bali, ia berpesan agar aku pun pulang dengan menggunakan kendaraan umum terserah apa yang kusukai dari tempatku berkuliah. Maka aku pun mencoba menggunakan kereta api menuju kota kelahiran.

Kota Malang dengan stasiun baru bertaraf internasional tampak semakin cantik menarik. Bersih, rapi, dan tentu saja bebas dari pencopet serta pedagang asongan. Tidak lagi seperti kondisi stasiun di masa kecilku dahulu.

Dari  apron, kakak kabarkan telah landing dengan selamat di Bandara Abdulrahman Saleh, berencana langsung menjemputku ke stasiun kota baru. Sekitar satu jam lebih aku menunggu di peron, tetapi tidak merasakan suntuk dan lelah sama sekali karena kerapian dan kebersihan stasiun itu hampir menyamai kondisi Bandara Changi, Singapore. Luar biasa ...

Nama bulan Masehi yang mengandung suku kata 'ber', seperti September, Oktober, November, dan Desember kata orang selalu mengandung hujan. Apalagi Januari yang di-keratabasa sebagai hujan sehari-hari. Maka, tidak berlebihan jika bulan ini adalah bulan hujan. 

Jadi teringat akan seorang guru tentang mendung dan hujan, nih!

"Mendung menggelantung menyelimuti gunung-gunung yang sedang merenung bingung," papar guru Bahasa Indonesia ketika menjelaskan rima (sajak atau perulangan bunyi yang sama) saat membahas keindahan puisi.

***

Kampung Lumbung

Jika mencermati dengan Google, kita temukan sebuah penginapan yang terletak di Desa Beji, Batu, Malang, Jawa Timur. Bernuansa khas pedesaan, dengan pemandangan alami khas pedesaan pegunungan. Tidak salah kakak memilih tempat itu untuk bernostalgia di kota kelahiran yang bertahun lalu telah kami tinggalkan.

Sementara, kedua orang tua kami yang boyong ke kota lain telah berpulang setelah menderita sakit. Jika ayah dipanggil karena serangan jantung, beberapa bulan setelahnya di tahun sama, ibu berpulang karena diabetes melitus.

Kami berempat telah berpencar ke berbagai kota. Kakak sulung telah berkeluarga, setelah dimutasi dari ibu kota kini menetap di Banjarmasin; kakak kedua berdinas di salah satu perusahaan swasta terkenal di Jakarta; kakak ketiga sedang mengikuti pelatihan dari kantor di Manado; sedangkan aku sendiri sedang berkuliah di Semarang. Perkuliahan sudah selesai, sih ... tinggal menunggu jadwal coas saja. Karena itu, jika kakak sulung berpesan agar aku berangkat ke Malang, pastilah sebagai adik bungsu perempuan satu-satunya, akan semrinthil bergegas juga karena ingin mengenang kota kelahiran.

Kami tiba untuk chek in Jumat siang pukul 13.08. Hujan deras disela rintik menyambut kedatangan kami dalam wacana pulang kampung ini. Berdasarkan petunjuk Google Map sopir taksi online yang kami pesan pun menemukan tempat tersebut di tengah rintik hujan kala itu.

Kami segera meluncur ke sana berempat. Kakakku berdua suami istri, keponakan lelaki sepuluh tahun, dan aku sendiri. Kalau kakak tidak sedang menjadi pembicara di kota kenangan, pasti sulit kami bertemu. Sementara, aku bisa ikut berlibur setelah sekian lama berkutat dengan perkuliahan di kota lain.

Setelah meletakkan barang-barang, kakak memesan mobil rental dari salah seorang mantan temannya yang bergerak di bidang layanan jasa tersebut. Ketika mobil sampai, segera sekitar pukul 15.00 kami turun ke kota untuk berwisata kuliner.

Kota Malang. Belum afdol kalau kita belum berwisata kuliner di kota sejuta kedai bakso ini. Maka, senyampang sehari dua hari di sini, kami pun meluncur menjajal semua makanan khas yang keluarga kakakku sukai. Maklum, bertahun-tahun meninggalkan kota kelahiran membuatnya kesurupan kalau tidak menikmati makanan kesukaan.

Kakak iparku ikut menikmati penyet tempe kacang sederhana dan nikmat itu. Hanya  sedikit nasi di atas ditambah sayur rebus, seperti kangkung, kacang panjang, sladra, dibubuhi sambal terasi tomat. Ada tempe kedelai dan tempe kacang tanah goreng yang di-penyet dengan ulekan di tengah sambal terasi tersebut kemudian ditambahkan cingur (kalau suka). 

Wah, ... makanan favorit ini tidak ada tandingannya dan tidak ada di tempat lain. Tempatnya sih ... nyepit di pojok  makam, tepatnya di selatan rumah sakit RKZ yang kini berubah nama menjadi Panti Waluyo. Makanan favorit ini kami kenal semenjak kanak-kanak sebelum 'penyet' yang lain merebak setenar sekarang. Warung legendaris banget dengan cita rasa khas, pokoknya! 

Sesudah menikmati kuliner khas Malang-an, mengikuti ibadah persekutuan doa, kami pun kembali ke hotel hendak beristirahat. Sampai di penginapan, tadi siang tempat parkir kosong, ternyata pukul 21.11 malam itu full hingga kesulitan mencari posisi parkir nyaman.

Suasana dingin menusuk sampai ke tulang dengan musik alami hewan malam bercampur bunyi rintik hujan yang menimpa atap awning beranda kamar, membuat keponakan yang tidur sekamar denganku segera bergulung di bawah selimut. Beberapa menit kemudian, suara celotehnya sudah tidak terdengar lagi. Terbuai  oleh mimpi indah!

"Hmm, ... saatnya mengintip gawaiku, nih!" pikirku. 

Dengan lincah jemariku segera berselancar di dunia maya setelah meminta sandi petugas hotel untuk menikmati wifi gratis. Tetiba aku ingin menghangatkan badan dengan membuat energen atau apalah. Kulihat ada beberapa saset kopi, tetapi tidak ada termos air panas. Karena itu, aku beranjak menuju pos tidak jauh dari kamar untuk meminta air panas, meminjam cangkir, dan sendok yang kuperlukan. Apalagi aku juga membawa rosela dan kembang telang kering yang siap diseduh ... tinggal pilih saja!

Tatkala mendatangi pos, kulihat ada semobil tamu baru. Seorang pemuda bermata biru tepat berdiri bersisian denganku yang sedang menunggu peminjaman barang. Rupanya mereka baru datang entah dari mana untuk chek in dan sedang mengurus segala sesuatunya.

Ketika mata kami saling bertatap bersirobok, kulihat senyum manis mengembang hingga membuatnya makin tampan. Tetiba jantungku berdegup kencang, aku gugup dan salah tingkah. Tidak seperti biasanya. 

Memang selama ini aku mengidolakan pemuda bule atau blasteran bermata biru. Entahlah, sejak kapan aku terobsesi dengan mata biru, tidak kuingat lagi. Bahkan, untuk memiliki seekor kucing pun aku ingin yang bermata biru. Hmm, ... eksotik sekali!

"Hai ...," sapanya menyadari kegugupanku. 

Tentu saja aku tersenyum malu dan tidak sempat menjawab sapaannya, tetapi hanya mengangguk lemah menanggapi sapaan itu. Mungkin saja dia memaklumi kondisiku.

Seorang waiters menyodorkan beberapa barang kepadaku sambil menawarkan snack dan sekoteng yang digelar di etalase di beranda pos tersebut. Kulihat berbagai keripik sayur dan keripik buah kegemaranku, antara lain keripik apel, keripik nangka, dan keripik bayam yang aduhai pastinya.

"Sekoteng? Wah, tentu saja kakak menyukainya," pikirku.

Cocok sekali untuk penghangat di malam dingin begini. Maka aku membeli beberapa bungkus yang akan kukirim ke kamar kakak nanti. Namun, sayang aku lupa tidak membawa dompet. Untunglah resepsionis menyanggupi mengambil uang di kamarku sambil mengantar termos air panas selepas ini sehingga aku tidak bolak-balik turun ke pos di malam sedingin ini.

"Ha, ... makanan apa itu?" tanya Mas Bule mendekati dan memperhatikan belanjaanku.

Terpaksalah aku menjawab dan menjelaskan cara pembuatan sekoteng instan dan akhirnya dia pun ikut-ikutan membeli beberapa bungkus sekoteng.

"Hmm, ... kami belum pernah menikmatinya ... semoga enak," lirihnya setengah berbisik di telingaku.

"Ohh, ... saya untuk dua puluh bungkus, ya ... ada dua teman di mobil, pasti mereka suka!" ujarnya kepada pramuniaga.

"Aha, ... kita berkenalan ... belum," tolehnya sambil mengulurkan tangan kepadaku, "aku Steven, panggil saja Stiff ...!" senyum mengembang memamerkan sederet gigi putih mirip senyum pepsodent.  

"Roseline ... ," sambutku menjabat tangan halusnya.

"Waw, ... nama secantik bunga ... Ros? ... Emmm, ... bunga apa?" tanyanya sambil mengingat satu nama bunga.

"Mawar," lirihku.

"Oh, ... ya ... ya, ma-mawar," sambutnya sambil  membetulkan letak kacamata.

Sebelum dia mendapatkan kunci kamar, kami pun bertukar nomer telepon sambil berjanji besok pagi-pagi benar bertemu di pos ini untuk berjalan-jalan. Aku menyanggupi walaupun agak ragu apakah bisa bangun pagi mengingat dingin yang menggigit begini enaknya digunakan untuk bermalasan di bawah selimut. Harus kupasang alarm agar tidak bangun kesiangan besok, pikirku.

Kuketuk pelan kamar kakak menawarkan apakah mau kubuatkan sekoteng. Ternyata, kakak menyahut, menyetujui, dan memintaku mengantarkan ke kamarnya jika sudah kubuat. Wah, ... untunglah aku memperoleh minuman penghangat sebab tadi lupa tidak membeli ronde dan angsle sewaktu di kota.

Setengah jam kemudian, masuk notifikasi di gawaiku.

"Hai ... ," tulisnya, "Ini aku, Stif ... teman baru tadi."

"Selamat malam, semoga nyenyak istirahat malammu," balasku.

"Oh, ya ... saya mengingat besok jangan melupa," pesannya.

Ha ha ha ... aku tahu dia sedang belajar berbahasa Indonesia sehingga kalimatnya tidak normal begitu. Tidak apalah, ciri khas orang sedang belajar berbahasa Indonesia, yang penting aku paham. Aku menjawab dengan stiker good night nice dream  sebagai simbol yang berarti bahwa dia harus mengakhiri menulis pesan. Dia harus tahu bahwa tidak etis juga chating di saat jam istirahat.

***

Sungguh cuaca sangat dingin. Namun, aku bersegera mandi agar segar sebelum keluar untuk berjalan-jalan pagi. Ha ha ha ... ternyata aku bisa terbangun sepagi ini. Mungkin terobsesi hendak berjalan-jalan dengan orang tampan, ya? Padahal aku ternyata lupa ... tidak sempat memasang alarm pada gawaiku.

Kulihat keponakan masih nyenyak, tetapi aku bergegas bebersih diri. Apalagi ada keinginan untuk mengenal sang bule lebih jauh. Siapa tahu berjodoh dengannya he he he ... ngarepdotcom banget sih ... apakah aku sedang kasmaran setelah dua tahun menjomlo sejak dikhianati dan diselingkuhi cinta pertama, ya?

Susah payah menghilangkan bebayang mantan cinta pertamaku. Satu dua tahun baru perlahan bisa menghilangkan nama dan bayangnya dari kamus hidup dan memoriku. Aku bergiat dalam urusan perkuliahan dan menjadwal diri dengan ketat agar tidak ada waktu luang untuk sedikit pun memikirkannya lagi. Bersyukur kepada Tuhan aku dimampukan-Nya membuang mantan di tempat sampah dan melupakan secara tuntas.

Saat ini ... tetiba aku tergagap dibuatnya! Aah, mungkin selama ini secara tidak kusadari aku memiliki kekasih bule bayangan alias cinta platonis ... dan saat bertemu bule sungguhan jadi payah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun