Kalau biasanya aku mempersiapkan perlengkapannya seperti kemeja, celana panjang, sepatu, dan lain-lain, sejak pulang dari Batu secara perlahan aku mengundurkan diri dari tugas dan kewajiban itu. Awalnya dengan dalih sibuk saja, akhirnya kulihat dia bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanku. Mungkin dia tidak menyadari mengapa aku berubah, tetapi aku tidak pernah membahasnya. Cukuplah aku yang mengetahui rahasia itu, selain tentu saja Tuhan.
Kini, Mas Dika tampak bisa lebih mandiri. Bahkan, kulihat sebelum berangkat disempatkannya menyemprotkan parfum ke beberapa bagian tubuh. Hal yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini. Ketika aku sengaja menghindar, dia juga tidak mempermasalahkan. Mungkin, karena di hatinya sudah ada orang lain yang mengisi. Sementara aku hanya menunggu waktu.
Menunggu waktu? Ya, kalau wanita itu memang hamil artinya waktunya aku pergi. Bagaimana kalau tidak? Ya, aku akan tetap menggugatnya. Sambil menunggu surat dari pengacara tentang harta yang kumiliki sebab memang rumah dan kendaraan tersebut kubeli atas namaku. Jadi, aku hanya ingin memastikan saja bahwa aku tidak membawa tangan kosong setelah perpisahanku dengannya.
*** Â
Suatu sore, aku sedang bersama Bonita menikmati kopi di sebuah kafe. Kuceritakan panjang lebar kepadanya permasalahanku. Bonita terhenyak.
"Lis ... jadi ... dua bulan ini kamu menyimpan sendiri deritamu ini?" netranya menyelidik permukaan wajahku.Â
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Lalu ... apa rencanamu?"
"Entahlah ... apakah aku menunggu berita kehamilan wanita itu, bertahan menunggu, ataukah akan aku gugat sekarang. Jujur aku bingung, tetapi aku sudah tidak ada rasa apa pun. Aku jengkel, marah, sedih, malu, benci ... malas jadinya hendak berkomunikasi dengannya!"
"Ya, aku tahu ... lalu apa yang bisa kubantu, Lis?"
Aku hanya menggeleng keras, "Doakan saja semua berjalan sesuai kehendak-Nya!"