Om mengatakan bahwa harus segera menikahi sang pacar karena telah berbadan dua. Setelah menikah Om akan tinggal di rumah mertua. Rumah tersebut cukup besar dan dekat dengan sekolah tempatnya mengajar. Karena itu, Om tidak memerlukan sepeda motor lagi.
Melihat mimik raut muka Om yang serius meminta dikasihani, kakek nenek pun meluluskan permintaannya. Jadilah motor yang kupakai belajar tersebut menjadi milikku. Alangkah senangnya hatiku! Memang sejak awal diajari bersepeda motor, aku membayangkan bahwa suatu saat motor itu akan menjadi milikku!
"Non, sepeda motor ini harus kamu rawat, ya! Hati-hati jangan pernah kehabisan oli dan bensin!" Â pesannya saat menyerahkan kepada kami.
Sayang sekali, ketika aku memutuskan minta kuliah, sepeda motor pun harus kurelakan dijual.
"Kamu pilih sepeda motor atau kuliah?" tantang Kakek.
Tentu saja aku memilih merelakan sepeda motor itu daripada cita-cita kuliah terbengkalai. Dalam hatiku mengatakan aku pasti bisa membeli lagi saat sudah lulus kuliah dan sudah bekerja nanti! Dan benar ... pada akhirnya, tahun 1980-an aku membeli sepeda motor baru secara kredit dengan potong gajiku sebagai PNS. Mimpi di tahun 1970-an terlaksana sepuluh tahun berikutnya!
***
Belajar Mengendarai Mobil
Tahun 1990. Saat itu aku sudah menikah, memiliki tiga putra tampan, sudah menjadi guru PNS salah sebuah sekolah swasta, dan bahkan sudah menjadi dosen honorer di salah satu perguruan tinggi swasta. Salah seorang saudara sepupu perempuanku juga mengajar di tempat yang sama. Bahkan, suami istri menjadi dosen di sana.
Setahun sesudah itu, saudara perempuanku tersebut memperoleh hadiah ulang tahun dari sang suami berupa mokas, mobil bekas. Setelah kakak perempuan sepupuku mampu mengendarai mobilnya, sering diajaknya aku berangkat dan pulang bersama-sama ketika jadwal mengajar kami bersamaan.
Nah, pada saat mendengar kakak sepupuku memperoleh hadiah ulang tahun itu, aku mengatakan di dalam hati.