Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Matahariku

31 Mei 2024   21:09 Diperbarui: 31 Mei 2024   21:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak berpikir untuk mencari bantuan sebab kepergianku memang mendadak dan entah pikiran apa yang menyebabkanku tiba-tiba memilih tujuan ini. Maka tidak seorang pun anggota keluargaku yang mengetahui peristiwa ini  sengaja kuhubungi.  Aku justru tidak menyentuh gawaiku sebab kupikir esok hari sesampai di tempat tujuan aku akan segera mengganti semua nomor gawaiku. Sama dengan bunuh diri jika aku menghubungi siapa pun, bukan? Bukan minggat namanya!

Pukul delapan pagi, akhirnya bantuan datang. Medan sulit, kondisi hujan menyebabkan bantuan tidak bisa secepatnya datang.

***
Kembali aku teringat beberapa saat sebelum berangkat kemarin.

"Kamu jangan pergi, Rumi. Besok adikmu menikah, mengapa kamu harus pergi?" bujuk Bundaku di kamar sesaat sebelum aku bersiap berangkat.

"Tidak Bunda. Mana kuat aku melihat Rima bersanding dengan kekasihku yang telah menodainya? Sebagai wanita tentu Bunda tahu bagaimana hatiku. Mana ada wanita kuat diperlakukan seperti itu, Bun? Dikhianati oleh dua orang sekaligus? Lebih baik Rumi pergi membuang diri, Bun! Entah sampai kapan Rumi akan kembali pada Bunda lagi!"

Bunda menangis sesenggukan menahan langkah kakiku, tetapi tekadku sudah bulat, "Aku harus pergi membawa dan menyelamatkan hatiku yang terluka ini!" senandikaku.

***
Seminggu lalu, pada saat makan malam bersama Rima melapor bahwa kondisinya sedang berbadan dua dan harus segera menikah untuk menyelamatkan bayi dan nama keluarga besar. Dengan berbelit akhirnya Rima mengakui bahwa orang yang telah menodainya tak lain dan tak bukan ternyata calon kakak iparnya, Mas Handi, tunanganku. 

Bagaimana aku bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas secepat kilat? Aku toh bukan malaikat! Lunglai seluruh sendiku. Langsung aku kabur ke kamar tanpa menyentuh makan malamku. Menangis! Itu yang mampu kulakukan.

***
Sedari kecil antara aku dan adikku Rima yang terpaut tiga tahunan selalu bertengkar berebut apa saja. Karena sebagai anak sulung, jika kami bertengkar memperebutkan sesuatu, aku diharuskan mengalah.

"Demi adik yang masih kecil, Nak!" ujar Bundaku sambil membelai rambut panjangku menenangkanku. 

Apalagi kondisi Rima sakit-sakitan sejak kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun