Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dua Matahariku

31 Mei 2024   21:09 Diperbarui: 31 Mei 2024   21:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

DUA MATAHARIKU
Ninik Sirtufi Rahayu

Sejak hari itu, aku memang tidak pernah pergi jauh darinya. Bukan suatu kebetulan jika Baskoro pun mengalami nasib yang mirip denganku. Tunangannya bulan lalu pergi meninggalkan dia entah ke mana.

Setelah saling mengemukakan dan mengetahui kondisi masing-masing, kami pun tersenyum. 

"Inilah pertemuan jodoh itu rupanya. Mari aku yang akan menggantikan posisi tunanganmu untuk menjadi suamimu, kamu siap?" katanya mantap.

Aku hanya mengangguk. Lalu saat itu kami pun melanjutkan perjalanan darat, setelah Baskoro memperoleh kiriman kendaraan dan sopirnya diminta naik angkutan umum. Kami hanya berdua di dalam kendaraan, seolah  sedang melakukan bulan madu.  

Baskoro, yang berarti matahari itu sekaligus menjadi pahlawan penyelamatku,  bukan hanya memberikan bantuan saat bus kami mengalami musibah, melainkan  juga menyelamatkanku dari penderitaan psikis karena pengkhianatan tunangan dan adik kandungku.

Setelah tepat setahun sejak pertemuan pertama, Baskoro kini telah menjadi seorang ayah bagi bayi mungil yang kami namai Mentari Swastamita karena lahir di senja hari yang indah. Mentari, artinya juga sama dengan arti nama ayahnya, matahari. Nah, Baskoro, sang ayah dan putri cantiknya ini benar-benar menjadi matahari bagiku. Matahari yang berhasil mengusir galau, luka, dan dukaku. Dua matahari yang selalu ada dan bersinar untukku! Sumber energi dan inspirasi dalam hidup dan kehidupanku.

***

Sedikit flash back dulu. 

Di perjalanan kala itu sungguh hatiku tak tenang. Apa yang telah terjadi muncul sebagaimana film tayang ulang di hadapan mataku. Air mata selalu merembes tak mau ditahan. Ada perasaan ingin marah, tetapi tak kutahu harus marah kepada siapa!

Tiba-tiba suara benturan keras mengagetkan kami. Semua penumpang otomatis menjerit histeris. Tengah malam itu, yang tertidur pulas pun mendadak terbangun. Semua ketakutan. Beberapa orang pun terluka oleh benturan mahadahsyat itu.

 "Semua tenang! Tidak perlu panik!" teriak seseorang lantang mengatasi keadaan saat itu. 

"Dengarkan komando saya! Jangan histeris! Kita atasi dengan tenang!" lanjutnya.

Telinga sadarku mendengar komando dari dalam bus, tetapi hatiku masih bergejolak mengingat peristiwa yang kualami sebelumnya. Aku jadi teringat sebelum berangkat tadi. Betapa aku telah menorehkan luka pada hati bundaku. 

"Ya, Allah.. ampunilah  segala dosa kesalahanku," keluhku dalam hati. 

Mungkin ini yang harus kuhadapi karena kepergianku tanpa restu Bunda.

"Yang punya ponsel segera cari bantuan! Tetap tenang. Hubungi siapa pun yang bisa. Kalau bisa yang di dekat kota ini!" suaranya lagi.

Bus dalam keadaan miring berhenti di sisi kiri jalan, kedua pintu keluar tertutup. Berada persis di pinggir tebing sehingga tidak seorang pun bisa keluar dari kendaraan. Depan kiri bus menabrak batu besar yang menonjol, sementara ban bus terperosok ke parit tepi tebing sehingga tidak bisa dikuasai pengemudi. Mesin bus masih hidup, tetapi kendaraan tidak bisa bergerak sama sekali. Hanya bersandar di tebing.  

"Jangan matikan mesin, tetap nyalakan AC! Anda harus tenang!" teriaknya. 

Rupanya dia berpengalaman menangani kondisi panik seperti ini. Hampir semua penumpang histeris saat terjadi kecelakaan ini karena lebih dari 75% penumpang perempuan.

Kondisi kenek yang berada di kursi terdepan kiri pengemudi terluka parah karena bagian tersebut penyok menabrak batu besar menonjol di sisi kiri jalan menikung itu. Posisi bus konon berada di perbukitan. Jalan lika-liku melingkari bukit. Turunan dan tanjakan berganti-ganti dengan kondisi jalan sempit pula. 

Sepi. Tak sebuah kendaraan pun lewat. Hujan deras masih mengguyur di malam itu.

"Adakah penumpang yang berprofesi sebagai dokter atau paramedis?" teriak lantangnya. 

"Ayo segera bantu! Singsingkan lenganmu untuk kita semua!" 

Aku masih terhenyak kaget dan bingung dengan apa yang mesti kulakukan. Pikiranku masih kacau mengingat kejadian-kejadian yang menimpa diri belakangan ini.

Aku katakan dalam hatiku, "Aku harus kuat!" maka aku pun berdoa dan berdoa.

"Pir, izin pecahkan kaca, ya! Sebelah mana, depan atau samping?" tanyanya kepada sopir.  

"Ada palu atau alat apa?" seorang lelaki perkasa tiba-tiba maju ke arah depan.

"Apa yang bisa saya bantu?" tanyanya.

"Kita pecahkan kaca, kita keluarkan penumpang satu per satu!"

"Di luar masih hujan, Pak!"

"Terpaksa. Hanya jalan itu. Kita jangan terjebak di dalam!"

"Ada yang sakit? Ada yang hamil?" teriaknya lagi. "Kita harus turun. Harus keluar dari kendaraan, semua siap?"

"Ada ibu sepuh di sini!" teriak seseorang yang di belakang.

"Ya, Allah semoga segera ada bantuan datang!" seru seorang ibu.

Akhirnya seseorang berhasil dilemparkan keluar melalui kaca depan yang telah dipecahkan. Kebetulan dari jauh tampak lampu kendaraan. 

"Semoga berkenan menolong kami!" harap semua penumpang yang masih di dalam.

"Jangan mikir bagasi, aman! Pikir bagaimana kita keluar dari kendaraan. Barang bawaan ringan silakan bawa!" komandonya lagi.

Satu demi satu lelaki di dalam sudah berhasil keluar dari kendaraan. Hujan pun mulai reda. Sopir menghubungi kantor biro perjalanan untuk melaporkan kondisi keneknya dan minta bantuan sesegera mungkin. Hari pukul dua dini hari, wajar kalau telepon-telepon yang dihubungi pada umumnya tak terjawab.

 "Sekarang giliran wanita. Ayo, siapkan dirimu meluncur ketinggian dua meter!" ujar pemberi komando yang tak kukenal, tetapi sigap membantu proses evakuasi.

Tiga jam di malam itu sangat menegangkan. Ketika ufuk timur mulai merekah, satu dua kendaraan sudah mulai lewat berpapasan dengan kami. Kami titip kabar untuk pihak kepolisian. Satu dua telepon kami kepada keluarga sudah terjawab. Tinggal menunggu bantuan datang. 

Setiap kendaraan lewat yang searah dititipi berita untuk rumah sakit terdekat agar berkoordinasi mengirimkan bantuan.Untunglah tidak ada yang cedera parah dan mengkhawatirkan kecuali sang kenek yang masih berlumuran darah di kursi depan. 

"Semoga pertolongan cepat datang dan sang kenek tertolong!"

Pukul tujuh pagi, di dalam kendaraan masih ada beberapa penumpang yang belum diturunkan menunggu bantuan, yakni mereka yang sudah sepuh, hamil, dan yang kondisinya sakit atau mabuk.

Aku tidak berpikir untuk mencari bantuan sebab kepergianku memang mendadak dan entah pikiran apa yang menyebabkanku tiba-tiba memilih tujuan ini. Maka tidak seorang pun anggota keluargaku yang mengetahui peristiwa ini  sengaja kuhubungi.  Aku justru tidak menyentuh gawaiku sebab kupikir esok hari sesampai di tempat tujuan aku akan segera mengganti semua nomor gawaiku. Sama dengan bunuh diri jika aku menghubungi siapa pun, bukan? Bukan minggat namanya!

Pukul delapan pagi, akhirnya bantuan datang. Medan sulit, kondisi hujan menyebabkan bantuan tidak bisa secepatnya datang.

***
Kembali aku teringat beberapa saat sebelum berangkat kemarin.

"Kamu jangan pergi, Rumi. Besok adikmu menikah, mengapa kamu harus pergi?" bujuk Bundaku di kamar sesaat sebelum aku bersiap berangkat.

"Tidak Bunda. Mana kuat aku melihat Rima bersanding dengan kekasihku yang telah menodainya? Sebagai wanita tentu Bunda tahu bagaimana hatiku. Mana ada wanita kuat diperlakukan seperti itu, Bun? Dikhianati oleh dua orang sekaligus? Lebih baik Rumi pergi membuang diri, Bun! Entah sampai kapan Rumi akan kembali pada Bunda lagi!"

Bunda menangis sesenggukan menahan langkah kakiku, tetapi tekadku sudah bulat, "Aku harus pergi membawa dan menyelamatkan hatiku yang terluka ini!" senandikaku.

***
Seminggu lalu, pada saat makan malam bersama Rima melapor bahwa kondisinya sedang berbadan dua dan harus segera menikah untuk menyelamatkan bayi dan nama keluarga besar. Dengan berbelit akhirnya Rima mengakui bahwa orang yang telah menodainya tak lain dan tak bukan ternyata calon kakak iparnya, Mas Handi, tunanganku. 

Bagaimana aku bisa menerima kenyataan ini dengan ikhlas secepat kilat? Aku toh bukan malaikat! Lunglai seluruh sendiku. Langsung aku kabur ke kamar tanpa menyentuh makan malamku. Menangis! Itu yang mampu kulakukan.

***
Sedari kecil antara aku dan adikku Rima yang terpaut tiga tahunan selalu bertengkar berebut apa saja. Karena sebagai anak sulung, jika kami bertengkar memperebutkan sesuatu, aku diharuskan mengalah.

"Demi adik yang masih kecil, Nak!" ujar Bundaku sambil membelai rambut panjangku menenangkanku. 

Apalagi kondisi Rima sakit-sakitan sejak kecil.

Kalau urusan boneka, bando, kalung, atau benda apa pun aku bisa mengalah, lah ini yang direbutnya bukan benda mati, melainkan tunangan dan calon suamiku! Bagaimana aku bisa mengalah begitu saja? Karena itu aku memutuskan untuk pergi. Pergi sebelum melihat wajah tunanganku berbahagia di sisi adikku di pelaminan!

***

Maka kemarin aku pergi tanpa memberitahukan ke mana tujuanku. Jangan  heran bila semua penumpang memberi kabar kepada keluarga mereka, sementara aku sama sekali tidak menyentuh gawaiku. Aku justru berusaha membantu para penumpang yang harus dievakuasi. Untunglah sejak bersekolah di bangku SD aku sudah ikut Dokter Kecil, PMR, dan Pramuka sehingga cukup cekatan juga membantu mereka.

Kenek lebih dahulu dievakuasi oleh ambulans yang paling dulu datang. Entah dikirim ke mana. Ibu sepuh, dua wanita hamil, dan dua ibu yang mengalami trauma dan pusing karena mabuk juga sudah dijemput oleh ambulans yang lain.

Pagi itu dengan muka kuyu, aku tetap stay di bus tanpa beranjak. Aku tidak akan pergi sebelum dapat mengambil dua koporku di bagasi. Maka ketika ditanya aku pun menjawab seperti itu.

Bapak-bapak yang sejak dini hari mengomando itu ternyata belum setua yang kukira. Gagah, sigap, dan handsome juga ternyata. Sekadar  berbasa-basi, aku mengulurkan tanganku untuk berterima kasih kepadanya. Dengan senyum manis beliau menanyakan ke mana arah tujuanku, dan entah mengapa aku menjawab spontan, "Belum tahu!"

Tentu saja beliau heran dan terkaget-kaget. Dengan alis mata mengkerut, diajaknya aku menjauh dari kerumunan.

"Sini, Mbak!" ditariknya tanganku sehingga aku tak berdaya.

"Ada masalahkah?" aku cuma mengangguk.

"Oke, kita bisa sharing  selepas ini. Tunggu aku menyelesaikan dulu urusan ini. Selanjutnya urusan Mbak. Perkenalkan, namaku Baskoro. Panggil saja, Bas!"

Kulihat dan kudengar melalui gawainya beliau meminta dikirim satu kendaraan untuk menuju lokasi kami.

Satu demi satu penumpang sudah dievakuasi. Ada yang dijemput keluarganya, dan ada pula yang menggunakan armada bantuan dari pihak pengusaha bus. Namun, seperti janjiku pada Baskoro, aku tetap stay  menunggu dua kopor yang masih di bagasi.

Aku tersenyum. "Aku tidak akan pergi karena aku tidak tahu ke mana aku harus pergi!"

***

Itu kisah pertemuan dan perkenalanku dengan suamiku. Sungguh, meskipun kami tidak berkenalan lama, tidak memiliki waktu untuk saling mengenal, kini kami merasa sangat mencintai satu sama lain. Kegagalan yang kami alami menjadi guru terbaik bagi kami bagaimana harus memelihara komunikasi setiap hari. Aku sangat bersyukur dipertemukan dengannya dan berharap kami meniti jalan hidup bersama-sama dan menua bersama-sama pula.

( Selesai )

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun