"Ohh," Linca tampak melongo.
"Tentu saja ada. Nanti, kalau di perpustakaan Bibi Hunta tidak ada, kita bisa cari di toko buku. Nenek akan tunjukkan berbagai macam buku. Sekarang, kamu bisa membaca buku-buku yang tipis ini dulu. Nanti, makin lama kamu akan terbiasa dan senang membaca buku cerita yang lebih tebal. Kalau kamu suka membaca, kamu tak akan merasa jemu ataupun bosan! Justru akan merasa ketagihan!Â
Kalau toko buku tutup, kita bisa mencari secara online!" ujar sang nenek sambil mengelus anak rambut cucunya.
"Bermain dengan kawan memang suatu hal yang baik, tetapi kebiasaan membaca juga perlu dipupuk. Nanti kalau kamu menjadi mahasiswi seperti Kak Linci, kamu sudah terbiasa membaca buku pelajaran yang tebal-tebal!" kata Nenek.
"Huuuu! Apa? Kak Linci aja nggak pernah pegang buku!" sindirnya kepada sang kakak.
"Sembarangan kamu! Sok tahu! Kakak membacanya di perpustakaan kampus, Linca!" seru sang kakak menimpali dengan jengkel.
"Oh, gitu. Kenapa nggak baca di rumah?"
"Buku yang dipinjam terbatas, Linca! Kalau nggak tahu jangan sembarangan. Itu namanya fitnah. Fitnah itu lebih kejam daripada membunuh!" sang kakak meradang.
"Sudah, sudah!" lerai Nenek bijak. "Kamu mengalah sikit, kenapa sih Linciii!" sang nenek membelalak kepada Linci.
Linci memberengut kesal, "Ah, Nenek. Mulai deh pilih kasih!"
Sang nenek hanya menggeleng-gelang sambil menutup mulut dengan jari telunjuk agar Linci diam.