Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Denting Hujan di Kebun Kopi

4 Mei 2024   06:55 Diperbarui: 4 Mei 2024   09:34 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Denting Hujan di Kebun Kopi

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Hujan masih deras. Bulan Januari adalah bulan yang identik dengan bulan hujan. Kata orang, bulan Januari, yang di "keratabasa" hujan sehari-hari, disebut-sebut sebagai bulan hujan setiap hari. Karena itu, bulan hujan ini juga identik dengan bulan-bulan longsor dan banjir.

Meskipun hujan sehari-hari, karena memasuki bulan kedua masa purnatugasku, aku masih tetap enjoy. Menikmati titik-titik hujan dengan suara dentingnya yang jatuh pada atap seng merupakan sensasi tersendiri.

Biasanya, tatkala masih aktif bekerja, tidak ada waktu lagi untuk menikmati hal-hal kecil seperti ini. Yang ada hanyalah setumpuk kesibukan. Berkutat dengan tugas siswa yang harus dikoreksi dengan deadline tertentu. Membuat soal-soal, menciptakan power point untuk materi pengayaan kelas sembilan, dan se-abreg tugas yang lain. Jangankan refreshing, kadang makan pun sambil memelototi isi laptop. Maka, masa purnatugas ini, jujur, sangat membahagiakanku.

Tiba-tiba ... ggrrt ... grrrtttt ... gawaiku yang kusetel getar menyiratkan adanya panggilan.

"Ohh, dari si bungsu yang tinggal di rumah barat!" senandikaku, maka bergegas kuangkat agar tidak mengecewakannya.

"Ma, mau ikut pelayanan ke Bangelan gak? Sekalian refreshing-lah. Mumpung ada kesempatan kunjungan begini!" ajaknya berapi-api.

"Kapan?" tanyaku.

"Minggu, jam 08.00 stand by di rumah. Kujemput dengan mobil jemputan. Gak perlu bawa mobil sendiri, kok!" lanjutnya.

"Ok, siap!" jawabku.

Sebelum mengikuti pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan oleh bungsuku dengan timnya, aku pun iseng-iseng mencari tahu dengan menggunakan jasa Google. Yah, dengan searching dan googling seperti ini, paling tidak sudah membuka wawasanku mengenai tempat yang akan aku kunjungi.

Disebutkan bahwa Bangelan adalah perkebunan kopi yang telah mengekspor ke mancanegara.

"Wahh, asyik nih!" senandikaku.

Kebun itu terletak di Desa Bangelan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang. Selain kebun milik perusahaan PTPN XII, ada juga kebun milik rakyat yang jika digabungkan totalnya mencapai 917 hektar. Luar biasa, bukan?

Saat kuikuti rute yang menuju lokasi itu ternyata melewati Kromengan. Melalui jalur jalan utama Malang menuju ke arah Blitar, sesampai di Talangagung berbelok ke kanan. Aku semakin penasaran, sebab seumur-umur hanya mendengar kata Kromengan, tetapi belum pernah ke sana.

Adapun pohon kopi yang ditanam di lokasi tersebut sebagian besar adalah kopi jenis robusta dan kopi arabika dengan jumlah lebih sedikit. Untuk menjaga kualitas produknya, masyarakat meminimalisasi penggunaan pestisida dan pupuk kimia dengan cara alami.

Selain menanam pohon kopi, masyarakat juga menanam pohon sengon, teh, cengkeh, dan sebagainya. Di samping berkebun, masyarakat juga beternak kambing jenis buer dan ettawa. Bahkan, sempat menjadi sentra produksi susu kambing, loh! Susu yang konon dipercaya sangat berkhasiat untuk kesehatan dengan peringkat berada di atas susu sapi perah!

"Wuaahhh, ... ini nih yang kusuka!" teriakku.

Dedaunan dari pelbagai tetanaman yang ada di area tersebut, oleh masyarakat setempat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dua jenis kambing yang dibudidayakan.

Selanjutnya, kotoran kambing yang dihasilkan pun akan dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Nah, benar-benar proses yang alami untuk pertumbuhkembangan tanaman kopi yang ada. Karena itu, kopi yang diproduksi benar-benar kopi unggulan yang layak diapresiasi.

"Pantas, Kabupaten Malang terkenal dengan hasil kopi unggulannya!" bisikku bangga membaca laporan yang demikian.

Produksi kopi dari Kebun Bangelan ini berhasil disertifikasi oleh lembaga pengawas kopi dunia, UTZ Certified yang berpusat di Finlandia. Sisi baik produksi, yaitu dengan meminimalisasi penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang telah kuungkap di atas.

Selain unggul dan alami dalam tahap budi daya tersebut serta ditambah proses pascapanen yang sedemikian rupa sehingga mampu menghasilkan mutu kopi yang memenuhi standar dunia dan memiliki harga jual yang cukup tinggi. Karena bagusnya proses produksi yang dilakukan, kebun Bangelan mampu menyumbang kopi robusta 650 ha per tahun pada kondisi cuaca normal. Sementara pasar internasional yang mampu ditembus adalah Jepang, Amerika, dan Eropa.

"Wuahh, ... aku setidaknya sudah memiliki referensi cukup lengkap untuk menyongsong kepergianku sehari ke desa tersebut!" bisikku sambil menunggu waktu keberangkatan.

Nah, sampailah hari itu. Hari di mana aku pertama kali pergi ke PTPN XII Bangelan meski beberapa tahun silam ada juga muridku yang berasal dari daerah ini. Padahal, saat itu dia pun mempromosikan desanya dengan gencar. Namun, aku tidak memiliki kesempatan sama sekali. Ahh, ....

"Bu, di sana ada sumber air alaminya, loh! Apa Ibu tidak ingin bermain air, berkecipak dengan semburan air di desa hening di tempat kami tinggal? Ayolah! Ibu bisa menginap di rumah dinas Ayah, loh!" ajaknya sebelum perpisahan. Diceritakan bahwa ayahnya pejabat di sana.

"Ingin sekalilah!" jawabku antusias.

Namun, ternyata aku tidak pernah memiliki kesempatan karena kesibukanku yang luar biasa.

Setelah bertahun tahun kemudian, aku beroleh kesempatan. Maka kesempatan kali ini tidak kusia-siakan.

Kami berangkat agak molor, pukul 08.30 dengan menggunakan tiga mobil. Aku dengan rombongan sendiri terdiri atas tiga orang dari majelis penyelenggara sebagai pengamat kegiatan, dengan satu sopir yang setia melayani kami. Rombongan kedua ditumpangi oleh para dokter dan mahasiswa kedokteran yang akan bertugas memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada masyarakat desa, dan satu mobil lagi mengangkut alat-alat kesehatan, obat-obatan, makanan, dan sembako untuk masyarakat di tempat tersebut.

Tiga mobil ini berangkat masing-masing dan tidak berkumpul di satu titik. Mobil khusus dokter dan mahasiswa kedokteran, sang sopir menjemput mereka satu per satu dari tempat masing-masing. Ada juga yang berkumpul di satu tempat sama. Ada lima dokter, dan tujuh mahasiswa kedokteran yang bekerja sama saat itu. Ada spesialis THT, ada spesialis mata, ada dokter umum, dan ada juga dokter kandungan. Sedangkan para mahasiswa ada yang masih duduk di semester 3, 5, dan 7 masing-masing memperoleh tugas yang berbeda satu dengan yang lain.

Seperti biasa sesampai di tempat tujuan, kami disambut oleh petugas dari masyarakat yang telah dihubungi jauh-jauh hari. Ada aparat desa, perwakilan dari dinas kesehatan, dan para pasien yang telah didaftar sebelumnya. Kami ditempatkan di sebuah rumah yang cukup besar. Secepat kilat para petugas menyulap tempat itu menjadi bilik-bilik meskipun hanya disekat dengan gerai, kelambu, atau korden yang beberapa disiapkan juga dari Malang. Meja, kursi, dipan atau ranjang untuk memeriksa pasien juga disiapkan dengan superkilat. Dalam waktu satu jam, tempat itu disulap menjadi klinik dadakan.

Para pasien yang terdaftar sekitar tujuh puluhan. Ada yang bisa datang ke tempat tersebut, dan ada juga yang harus ditangani secara kunjungan. Salah satu dokter menjadi dokter terbang dengan diantar oleh sepeda motor yang telah disiapkan sebelumnya.

Sementara para dokter melayani pasien dengan gratis, aku pun meluangkan waktu untuk berjalan-jalan di seputaran area. Sayang hujan masih mengguyur meski dengan titik-titik tipisnya. Ya, rinai itu mengurungkan niatku untuk berjalan menuju telaga seperti direkomendasikan mantan muridku beberapa tahun silam. Aku cuma berkutat di seputaran rumah besar itu.

Rupanya rumah ini semacam pendopo pada zaman dulu. Ruang tamunya sangat luas dengan empat pilar yang menyangga atap, dengan sebutan sokoguru. Namun, bentuk ruang sudah direnovasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi seluas sebelumnya. Sudah ada bilik-bilik dan bilik-bilik itulah yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang pemeriksaan.

Di depan beranda rumah besar kulihat ada seekor monyet yang diikat rantai, beberapa pohon buah seperti jambu monyet, jambu darsono, jambu biji.

Juga ada beberapa pohon pinang yang menjulang tinggi. Pohon ini menjadi primadona karena pinangnya, batangnya, dan bunganya. Tahu, kan? Batang pinang selalu dihadirkan saat lomba panjat pinang agustusan, atau untuk titian dipasang melintang yang menjembatani dua daerah sebagai jembatan penyeberangan. Bunganya sangat berguna untuk acara pernikahan, pelengkap kembar mayang pengantin adat Jawa, dan buahnya sebagai pelengkap makan sirih. Di desa masih ada saja orang tua yang terbiasa makan sirih, loh!

Di sebelah sayap kanan ada tanaman labu siam yang merambat dan diatur sedemikian rupa dengan buah bergelantungan. Agak menjorok kulihat ada pohon langsat yang sedang berbuah, namun masih hijau. Juga beberapa pohon pepaya dengan buahnya yang ranum dan masak pohon dan dimangsa codot. Sayang sekali, pohonnya terlalu tinggi!

Lalu tampak jauh di pohon mangga bagian atas ada tertempel sekumpulan anggrek bulan dan anggrek merpati. Namun, sayang, bunganya sedang tidak muncul.

Tiba-tiba entah dari mana ada seorang anak kecil berusia sekitar enam tahunan yang melewati jalan setapak dari arah belakang rumah. Di belakang rumah tersebut memang terdapat jalur bersambung dengan kebun kopi yang pohonnya sedang berbunga dan berbuah lebat. Di sela-sela kebun kopi itu memang terdapat jalanan setapak menuju arah kampung sebelah. Bahkan, ada jalan pintas menuju telaga, tempat masyarakat mengambil air jika musim kering tiba.

Sementara itu ada saluran pipa PDAM khusus menyalurkan air sumber ke rumah-rumah penduduk desa sebagai hasil dari proyek KKN mahasiswa. Khusus untuk keperluan air minum dan memasak saja.

"Lho, ... Nak, kamu dari mana, mencari siapa?" tanyaku. Namun, anak kecil tadi rupanya takut sehingga berlari menjauhiku.

Namun malang, kakinya terantuk akar pohon sehingga ia jatuh terjerembab. Aku berteriak meminta tolong pengantar pasien yang bisa menggendong anak tersebut untuk sekalian diobati oleh mahasiswa kedokteran yang bertugas di bagian obat-obatan.

Ya, para mahasiswa yang diajak dalam pengabdian masyarakat tersebut ada yang masih duduk di semester 3, 5, dan 7. Di antara mereka ada yang bertugas mencatat dan mendata pasien, ada yang memandu dan bertugas untuk mengukur tensi, berat badan, dan tinggi badan pasien. Ada pula yang melayani di bidang obat-obatan sesuai resep dokter.

Anak kecil yang terjatuh tadi, ternyata lututnya berdarah dan terluka robek terkena batu runcing sehingga harus dijahit oleh dokter yang siap di tempat ini. Teriakan dan tangisnya mengalahkan suara angsa yang dari tadi berkeliaran di halaman sambil mencari sasaran betis orang-orang yang lewat. Tidak seorang pun di antara pengunjung atau pengantar pasien yang berani membantu mengandangkannya, apalagi mendung putih masih setia menjatuhkaan airnya dari langit. Kata orang, mendung yang begini benar-benar membuat hujan sangat awet! Takkunjung reda.

Niatku untuk berjalan-jalan di kebun kopi sambil memetik dan menikmati buah kopi masak pohon pun tak kesampaian. Sedih ... Hanya mendengar denting hujan di lebatnya area perkebunan kopi rakyat..

Tatkala arlojiku menunjukkan angka 13.30 selesailah sudah acara pengobatan gratis di desa itu. Tinggal menunggu bungsuku yang mendapat tugas mobilitas berkunjung ke rumah-rumah pasien yang tidak dapat datang, seperti mereka yang menderita stroke, sudah sangat sepuh, penglihatannya terganggu, dan pasien parah yang lain.

Para petugas mengemasi semua peralatan yang telah dimanfaatkan. Setelah pengemasan selesai, bungsuku pun tiba dengan basah kuyup. Untunglah dia telah mempersiapkan baju dari rumah sehingga bisa berganti pakaian kering.

Namun, sekilas kulihat senyum mengembang di bibirnya yang nyigar jambe. Bibir dengan cekungan yang menambah manis senyumnya. Ada kepuasan tersendiri karena tugas menjelang keberangkatannya ke Texas lumayan berhasil. Di akhir pertemuan dia berpamit dan mohon restu agar tugasnya di luar negeri beres sehingga bisa melanjutkan pelayanan pengobatan gratis kembali ....

Pukul 14.00 kami makan siang bersama. Sudah agak lewat sih, tetapi justru makan saat lapar itu menjadi nikmat. Tuan rumah menambahkan menu kami dengan menu ala desa: nasi jagung, oseng daun dan bunga pepaya, serta bothok daun katuk. Nah, ada yang spesialkah? Tentu ada, yaitu daging menthog dimasak bumbu pedas.

Semua mengisi perut dengan lahap apalagi manakala dihidangkan kopi hangat.

"Wuaahh, ... ini dia yang ditunggu-tunggu! Minum kopi di perkebunan kopi saat hujan turun tidak berhenti!" teriak salah seorang dokter yang penyuka kopi.

Semua tertawa. Lelah selama berpraktik dalam pengabdian dan pelayanan gratis hari ini pun sirna karena secangkir kopi hangat yang membuarkan aroma khas!

"Lah, ... kok kita nggak pesan susu kambing etawwa, ya!" kata salah seorang dokter yang lain.

"Ohh, ... iya, kita lupa!" kata panitia.

"Oh, ... gini aja, kapan ada pelayanan lagi, Dok! Nanti kami siapkan susu kambingnya, dengan catatan jika ada yang pesan! Karena tidak semua suka susu kambing, kan?" kata perangkat desa memberikan solusi cerdasnya.

"Sayang, ya Pak. Hujan takkunjung reda. Padahal saya pingin melihat-lihat kebun kopinya!" kata saya sebelum berpamitan pulang.

"Iya, Bu. Jika ke sini sekitar bulan Juni Juli gitu loh, Bu! Nanti bisa berjalan-jalan atau barangkali membantu memetik kopi!" kata aparat desa mempromosikan wilayahnya.

Kami hanya manggut-manggut mendengar uraiannya.

"Jalanan yang menanjak berliku, tanah basah oleh hujan, dan aroma wangi kembang kopi pasti akan membuat hati rindu datang kembali, Bu!" ujar si pemilik rumah pula.

"Nasi jagung dan bothok katuknya juga ngangenin kok, Bu!" ujar dokter Trisulo yang rupanya kesengsem dengan bothok daun katuk.

"Boleh diasto Pak, Buk ... kagem oleh-oleh!" katanya bersemangat.

Nah, kami masing-masing memperoleh sebungkus nasi jagung dan bothok daun katuk untuk buah tangan.

"Wuaahh, ... luar biasa. Terima kasih, Bu!" sahut kami hampir berbarengan.

"Menu istimewa! Tetapi tidak mengalahkan rasa istimewa kopi robustanya!" teriak salah satu dari kami.

"Nah, ayooo ... kapan lagi kita ke sini!" ajak bungsu sebelum berpamitan.

Nah, berjam-jam menunggu aktivitas para dokter yang sedang melakukan pengabdian dengan pengobatan cuma-cuma, memberikan kesempatan bagiku untuk menyalurkan hobiku. Apalagi jika tidak menulis puisi. Bukankah denting-denting air yang menerpa daun tersebut merupakan melodi indah bagi jiwa kita? Aku mojok di sudut beranda, dan sesekali berpindah ke bangunan semacam pos satpam di depan gerbang untuk menuliskan di gawaiku:

 

Hujan

Saat hadirmu basahkan muka persada

Bersyukur karena kaubawa serta

Aneka guna yang kami damba

Tanah subur gembur

Cacing tanah pun bekerja lembur

Hingga akar mencari makan ke segala arah sampai lembah

Bunga-bunga kopi bermekaran menebar aroma wangi

Mengundang kupu lebah dan aneka serangga

Meminang menjadikannya buah istimewa

Robusta pun pergi melanglang buana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun