"Boleh aku duduk, Dik?" sapanya tersenyum tipis.
Aku masih tidak percaya dengan penglihatanku. Penampilannya jauh berbeda! Kulit hitamnya kian pekat, cambang dan berewok begitu lebat, seperti tentara berbulan-bulan berada di hutan. Rambutnya memang tidak segondrong beberapa bulan silam. Cenderung dipotong cepak semimiliter. Lumayan gagah, sih!
Dulu semasih denganku, akulah yang selalu cerewet dan bahkan membelikan guilet pencukur yang disukainya sehingga pipi tirus itu selalu tampak bersih dan perlente. Itulah mengapa aku sangat mencintainya. Selain sabar, berpenampilan kalem, tentu saja handsome! Daya pikat yang memabukkan para gadis!
Rupanya Mas Yus merasakan kekakuanku.
"Hai, Dik. Apa kabar?" sapanya lembut.
"Ba-baik ...."
"Sudah lama, ya ... kita tidak bersama-sama," ajuknya.
Aku hanya mengangguk perlahan.
"Aku ingin ... meski kita tidak bersama lagi, jangan ada di antara kita dendam atau pahit hati. Bagaimana pun kita tetap masih bersahabat, 'kan?" ditatapnya manik netraku dengan tatapan teduh.
Tatapan yang sedari dulu selalu berhasil memorakporandakan pertahananku.
"Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu. Namun, sauh tak mampu berlabuh di dermaga hatimu karena badai menghantam bidukku! Aku harus terseok menerima keputusan keluarga. Kuharap Adik bersedia memaafkan dan melupakan kebodohanku!" dipegang dan dielusnya punggung tangan kananku yang gemetaran.