Hasil dari laba penjualan itu tidak pernah kuambil, tetapi kutitipkan pada Bu Rukmi sebagai tabungan masa depanku. Beruntung sekali beliau sangat baik kepadaku. Beliau paham kondisiku sesehari sehingga sangat pengertian kepadaku.
Aktivitasku itu tidak pernah kulaporkan kepada kedua orang tua sehingga mereka sama sekali tidak tahu-menahu kalau aku berjualan es lilin. Beruntung juga di jalanan aku tidak pernah berpapasan dengan Ayah atau Mas Bayu. Tuhan masih berpihak padaku sehingga rahasiaku aman!
Dengan aktivitasku tersebut, tentu saja aku harus berangkat ke sekolah agak lebih pagi dan pulang sekolah terlambat sekitar dua jam. Beruntung kedua orang tuaku yang dua-duanya bekerja itu tidak mengetahui jam berapa kepulanganku.
Ibuku bekerja di pabrik konveksi entah sebagai apa. Berangkat pagi pulang sore adalah kebiasaannya sehari-hari. Tidak ada hari libur baginya. Minggu pun digunakan untuk bekerja. Lembur katanya, dan upah lembur sangat menggiurkan!
Sementara ayah yang menjadi sekuriti di perumahan elite sekitar sepuluh kilometer dari rumah itu juga tidak pernah ongkang-ongkang. Selain menjadi petugas Satpam, ayah juga menjaga gudang tembakau pabrik rokok sehingga gaji ayah bisa doble.
Sedangkan Mas Bayu, kakak lelakiku satu-satunya itu bersekolah di sekolah kejuruan. Mas Bayu pendiam, bahkan sangat pendiam. Kami kakak beradik ini tidak pernah bertegur sapa, apalagi bercanda ria.
Di rumah, sepulang sekolah biasanya aku membantu bersih-bersih rumah. Kalau ibu belum sempat memasak untuk makan siang, aku akan membeli lauk di warung tidak jauh dari rumah. Memasak nasi bisa mendadak. Siapa pun bisa kalau sudah tahu takarannya. Selain itu, ada sejumlah uang yang disiapkan ibu di tempat tertentu. Bisa saja aku mengambil dengan catatan harus dituliskan untuk keperluan apa dan berapa jumlah yang diambil. Selanjutnya, sisanya harus dikembalikan ke tempatnya lagi.
***
Pada sore naas itu, katanya Ayah kehilangan uang sejumlah lima ratus ribu rupiah. Uang itu akan digunakan untuk keperluan tertentu. Karena hanya aku satu-satunya yang ada di rumah, Ayah menuduhku tanpa bukti.
"Ya, Allah ... sebenarnya siapa yang mengambil uang itu? Atau apakah Ayah lupa menaruh uangnya?" Â aku tak habis pikir.
"Ini sudah ketiga kalinya Ayah kehilangan uang dan selalu hanya kamu yang ada di rumah! Mengapa kamu mencuri? Siapa yang mengajarimu jadi maling, hah?" tuduh Ayah sambil melotot dan hampir melayangkan telapak tengannya kepadaku.