***
Â
Menjelang ujian nasional, sudah Lita persiapkan baik-baik. Mental spiritual, bahkan les segala yang diinginkan dalam rangka mengejar cita-cita. Diiyakan dan dipantau sebagaimana mestinya.
Remaja 18 tahun itu kini tampak dewasa dan mandiri. Namun, tetap saja Lita masih protektif, bahkan cenderung overprotektif. Lita tidak ingin gagal, cita-cita si perjaka harus terwujud di genggaman.
Sejak duduk di kelas sepuluh, Lita sudah memintanya menata masa depan. Kondisi  masa lalu menyebabkan menjadi single parent ini memantik semangat sang bunda. Sudah kenyang mengalami perundungan, berharap si buah hati mengangkat derajat keluarga.
Setelah kedua ortu wafat karena laka lantas kala remaja, Lita ikut  bibi. Namun, baru saja lulus sarjana,  bibi mengembuskan napas terakhir. Sejak  itulah Lita tinggal sendiri.
Saat itu pula Lita berkenalan dengan pemuda pendiam, baik hati, dan baik budi pula. Namun, sayang, karena perbedaan keyakinan, orang tuanya tidak merestui hubungan mereka.
"Lita, aku sangat sayang padamu. Mana bisa aku hidup tanpamu?" kata sang kekasih suatu saat.
"Ta-tapi ... kedua orang tuamu tidak merestui, Mas! Lita bisa apa? Sementara, Lita butuh dukungan mereka sebab sudah tidak punya siapa-siapa lagi," keluhnya.
"Sttt, tenanglah. Aku punya cara!" lanjutnya.
Cara yang menurutnya ampuh adalah cara yang tidak biasa. Lelaki yang didambakan menjadi suami itu, mengajak berhubungan raga. Jika memiliki keturunan, dia yakin, orang tua akan luluh dan mendukung.