"Ya, Tuhan!" Lita tergugu.
Tepuk tangan riuh membersamai. Sungguh, kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
***
Sesosok pria dewasa dengan nama sama terlonjak dan terhenyak. Apalagi ketika disebutkan nama orang tua tunggalnya. Armelita Natali.
Seluruh sendi gemetar dan kaku. Lidahnya kelu. Netranya menatap sendu. Terbayang peristiwa seperempat abad lalu.
"Putraku? Hmmm, namaku ternyata diabadikan," bisiknya gemetar.
Hati lelaki paruh baya itu begitu galau.
"Pantaskah aku menjumpai mereka setelah hampir seperempat abad menyia-nyiakan? Akankah mereka menerima permintaan maafku? Namun, kalau tidak hari ini, kapan lagi?" senandikanya.
Air mata meluncur deras sehingga diam-diam meninggalkan tempat duduk berdalih hendak ke kamar kecil. Ditinggalkannya sejenak keluarganya untuk menjumpai sang perjaka istimewa yang sedang bersama ibundanya.Â
Menahan aneka rasa, disempatkan menemui ketika acara ramah-tamah. Lita terkesiap. Pria paruh baya itu mendekati saat Lita berdiri berdampingan dengan sang putra yang keheranan menatap kembarannya. Lita bergeming. Beruntung teman-teman dokternya berhasil mengalihkan perhatian si jejaka.
"Lita?" sapanya.