Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Untuk Sebuah Nama

30 Maret 2024   18:13 Diperbarui: 30 Maret 2024   18:13 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Untuk Sebuah Nama

Ninik Sirtufi Rahayu

Rutinitas menyiapkan dana kuliah sang putra, siang itu Lita pulang dari tempat mengajar mengendarai mobil pribadi seperti biasa. Sebelum lanjut ke bimbel tempatnya menyambil, harus cari makan siang dulu di depot langganan. Iseng  dinyalakan radio sambil menunggu antrean traffic light di simpang lima. Terdengar syair lagu Pance Pondaag

Untuk sebuah nama, rindu tak pernah pudar

Oh, mimpi di mana dia dambaan hati

 

Biarlah hanya di dalam mimpi

Kita saling melepaskan rindu

Biarlah hanya di dalam mimpi ...

Senyum kecut menghias bibir mungilnya sambil menunggu lampu hijau di simpang tersibuk kotanya. Lekas ditepis nostalgia yang melintas sekilas.

"Tidak penting!" sergahnya. Nostalgia menyakitkan yang sering mengganggu di dalam kehidupannya.

***

 

Menjelang ujian nasional, sudah Lita persiapkan baik-baik. Mental spiritual, bahkan les segala yang diinginkan dalam rangka mengejar cita-cita. Diiyakan dan dipantau sebagaimana mestinya.

Remaja 18 tahun itu kini tampak dewasa dan mandiri. Namun, tetap saja Lita masih protektif, bahkan cenderung overprotektif. Lita tidak ingin gagal, cita-cita si perjaka harus terwujud di genggaman.

Sejak duduk di kelas sepuluh, Lita sudah memintanya menata masa depan. Kondisi  masa lalu menyebabkan menjadi single parent ini memantik semangat sang bunda. Sudah kenyang mengalami perundungan, berharap si buah hati mengangkat derajat keluarga.

Setelah kedua ortu wafat karena laka lantas kala remaja, Lita ikut  bibi. Namun, baru saja lulus sarjana,  bibi mengembuskan napas terakhir. Sejak  itulah Lita tinggal sendiri.

Saat itu pula Lita berkenalan dengan pemuda pendiam, baik hati, dan baik budi pula. Namun, sayang, karena perbedaan keyakinan, orang tuanya tidak merestui hubungan mereka.

"Lita, aku sangat sayang padamu. Mana bisa aku hidup tanpamu?" kata sang kekasih suatu saat.

"Ta-tapi ... kedua orang tuamu tidak merestui, Mas! Lita bisa apa? Sementara, Lita butuh dukungan mereka sebab sudah tidak punya siapa-siapa lagi," keluhnya.

"Sttt, tenanglah. Aku punya cara!" lanjutnya.

Cara yang menurutnya ampuh adalah cara yang tidak biasa. Lelaki yang didambakan menjadi suami itu, mengajak berhubungan raga. Jika memiliki keturunan, dia yakin, orang tua akan luluh dan mendukung.

Entahlah, Lita pun menurut saja saat itu. Mungkin juga terobsesi untuk menjadi istrinya. Padahal, hidup, jodoh, rezeki, dan mati seluruhnya ada pada otoritas Tuhan. Lita khilaf!

Apa yang mereka lakukan berdampak luar biasa. Lita benar-benar hamil. Sayangnya, justru di saat hamil, fitnah keji diterima dengan tidak semena-mena. Keluarga pria itu mengemukakan bahwa Lita bukan wanita baik-baik karena tidak bisa menjaga kehormatan diri. Singkat kata Lita memperoleh cap wanita murahan dan gampangan! Dengan demikian, penolakanlah yang diterima dari keluarga lelaki yang berjanji manis itu. Apalagi  dia pun tidak berkutik dan tidak memperjuangkan nasib di hadapan keluarga. Padahal, ide untuk memiliki keturunan itu seratus persen berasal darinya!

Dunia seolah runtuh, Lita benar-benar terpuruk. Diam-diam semua harta peninggalan orang tua dijual. Lita pindah ke kota lain berupaya menata diri. Dia datang ke salah satu panti asuhan menjumpai kepala yayasan. Diceritakanlah semua kondisi, berharap bisa diterima sebagaimana adanya. Yang penting, dia butuh teman dan perlindungan. Beruntung sekali, Suster Kepala Yayasan memahami, menerima, dan merangkul sebagai bagian dari misi mereka.

"Baiklah, Lita. Kami menerimamu di sini. Yang penting sekarang kamu harus jaga kondisi kesehatan hingga janinmu sehat. Apakah menurutmu lebih baik tinggal di dalam atau di luar panti?"

 "Terima kasih, Suster. Saya pasrah. Izinkan saya memohon perlindungan agar tidak jatuh pada dosa aborsi!"

Seiring perjalanan waktu, masa persalinan pun tiba. Bersyukur kepada-Nya, Lita melahirkan dengan pertolongan bidan seiman yang sangat sabar dan telaten. Lahirlah handsome baby boy menggemaskan.

Sejak saat itu, Lita bekerja sebagai single parent tanpa memikirkan untuk berumah tangga. Prioritasnya hanyalah putra semata wayang. Beruntung tidak rewel, pintar, dan tidak pernah pula menanyakan siapa ayah biologisnya. Ada pernah bertanya, tetapi melihat air mata Lita bercucuran, diam pula. Mungkin suatu saat Lita memang harus menceritakannya, tetapi tidak sekarang!

   Satu hal yang sangat mencengangkan adalah segala sesuatu yang dilakukan si buah hati persis sama dengan kelakuan sang ayah. Kesukaan mengenakan model dan warna pakaian, bahkan postur tubuhnya. Persis. Jadi, Lita benar-benar melihat fotokopinya!

***

Si perjaka menyelesaikan kuliah empat tahun ditambah koas selama dua tahun dengan sukacita. Tiba saat agenda Sumpah Dokter. Lita menerima undangan menghadiri moment langka dan luar biasa dengan bangga.

"Peraih Indeks Prestasi Kumulatif tertinggi adalah dr. Himawan Pramudita, putra semata wayang Ibu Armelita Natali. Mohon kesediaan Ibu untuk membersamai sang putra naik podium!" suara pelantang menggema di seluruh gedung.

"Ya, Tuhan!" Lita tergugu.

Tepuk tangan riuh membersamai. Sungguh, kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.

***

Sesosok pria dewasa dengan nama sama terlonjak dan terhenyak. Apalagi ketika disebutkan nama orang tua tunggalnya. Armelita Natali.

Seluruh sendi gemetar dan kaku. Lidahnya kelu. Netranya menatap sendu. Terbayang peristiwa seperempat abad lalu.

"Putraku? Hmmm, namaku ternyata diabadikan," bisiknya gemetar.

Hati lelaki paruh baya itu begitu galau.

"Pantaskah aku menjumpai mereka setelah hampir seperempat abad menyia-nyiakan? Akankah mereka menerima permintaan maafku? Namun, kalau tidak hari ini, kapan lagi?" senandikanya.

Air mata meluncur deras sehingga diam-diam meninggalkan tempat duduk berdalih hendak ke kamar kecil. Ditinggalkannya sejenak keluarganya untuk menjumpai sang perjaka istimewa yang sedang bersama ibundanya. 

Menahan aneka rasa, disempatkan menemui ketika acara ramah-tamah. Lita terkesiap. Pria paruh baya itu mendekati saat Lita berdiri berdampingan dengan sang putra yang keheranan menatap kembarannya. Lita bergeming. Beruntung teman-teman dokternya berhasil mengalihkan perhatian si jejaka.

"Lita?" sapanya.

Lita tersenyum selintas.

"Putra kita?" selidiknya.

Sekali lagi tersenyum santun,  "Maaf, mungkin Anda salah orang." Dikatupkannya telapak tangan pamit undur diri.

"Biarlah yang lalu berlalu," pikir Lita beranjak menjauh.

Pria paruh baya itu paham. Dia tahu bagaimana goresan rasa dan luka yang ditinggalkan di sanubari Lita. Rasa yang kini hinggap menyergap hatinya. Namanya yang disematkan untuk sang putra menjadi warisan tak terlupa.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun