Sebenarnya sulungku sudah berkuliah. Ya, aku menikah muda, saat usiaku masih sembilan belas tahun. Kuliah belum selesai, tetapi salah seorang dosen meminangku sehingga aku harus meninggalkan mantan pacar untuk menikah dengan sang dosen! Maka, tidak mengherankan jika mahasiswi tersebut mengira aku belum setua itu. Disapanya aku dengan panggilan 'Mbak' yang cukup aneh saja di telingaku. Aku sudah terbiasa dipanggil Bu karena statusku sebagai guru sekaligus dosen honorer di sore hingga malam hari.
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk saja.
"Ini dosennya dari Malang, Mbak ... entahlah kok belum rawuh juga ...," lanjutnya.
"Biasanya belajar pukul berapa?" tanyaku menyelidik.
"Sebentar lagi, biasanya pukul 15.15. Mata kuliahnya cukup sulit, sih! Hingga pukul 16.45 jadwalnya!"
Beberapa teman mahasiswa berusia di atas mahasiswa standar atau umum. Maklum, karena perguruan tinggi swasta ini menampung para karyawan, juga guru yang ingin memperoleh ijazah strata satu. Jadi, tidak heran kalau pada umumnya sudah berumur.
Ketika sudah mendekati 15.15, aku permisi untuk berkenalan. Saat berkenalan itulah, aku katakan bahwa aku menggantikan dosen yang sedang berhalangan hadir. Tentu saja, semua yang awalnya mengira aku sebagai mahasiswa baru, sangat kaget dan terheran-heran.
"Wuah ... maaf, Bu! Tadi saya tidak tahu sehingga menyapa Ibu dengan sebutan Mbak!" sesal salah seorang mahasiswi.
"Tidak masalah, terasa lebih muda juga, 'kan?" selorohku sehingga semua terlihat gembira karena aku bersikap humble, care dan  friendly. Setelah menjelaskan materi selama sekitar 90 menit, aku pun mohon diri. Aku melaporkan kepada petugas administrasi sebagai dosen pengganti. Sebelum pulang, aku memperoleh amplop honor yang entah berapa aku tidak melihatnya. Langsung masuk ke dalam tas.
Pulang dari kampus, sepupu menjemputku dengan sepeda motor. Hal ini karena sebelum sampai kota kelahiran pagi tadi, aku sudah mengabarkannya lewat message.
"Mbak, kudengar Mbak Har sakit. Apa tidak sebaiknya kita mengunjunginya di rumah sakit?" ajaknya.