Mother How Are You Today
Ninik Sirtufi Rahayu
Aku merasa sebagai seorang wanita mandiri. Yang kumaksud adalah aku lebih suka melakukan pekerjaan secara mandiri, misalnya ke mana pun aku melakukan mobilitas tanpa antar jemput oleh siapa pun. Sudah kualami bagaimana susahnya menunggu jemputan. Sangat tidak nyaman sebab pekerjaanku tidak tetap. Jam kepulangan pun tidak bisa ditentukan. Adakalanya maju, tetapi sering juga mundur dari jadwal yang ditentukan. Itulah sebabnya, jika aku diantar jemput oleh suami seringkali malah menjadi bahan pertengkaran. Oleh karena itulah, aku merasa lebih nyaman jika membawa kendaraan sendiri.
Jauh sebelum memiliki kendaraan roda empat pun, lebih nyaman aku bersepeda motor sendiri. Apalagi, kalau aku memperoleh jadwal malam di suatu bimbingan belajar tempatku berdinas usai sebagai PNS. Tempat sambilan itulah yang membuatku mudah menimbun dan menyimpan pundi-pundi tabungan. Hal itu karena sering terjadi siswa meminta tambahan belajar melebihi target.
Jadwal hingga jam 20.00, mereka masih minta tambahan lagi hingga kepulanganku pun jelas molor dari jam seharusnya. Rasanya merdeka banget. Bahkan, setelah memiliki kendaraan pribadi, dengan kendaraan roda empat yang menggunakan kaca film, tidak tampak dari luar kalau aku pulang sendiri jam 21.00 atau lebih. Lebih aman dan nyaman.
Maka, tatkala merasa hectic banget dengan aktivitas padat, antar jemput bukanlah suatu solusi cerdas! Belum lagi kalau mendengar omelan dan ocehannya mengapa aku selalu tidak tepat waktu. Makin pusing tujuh keliling, 'kan? Namun, aku sadar bahwa itulah effort yang harus kujalani!
Seperti biasa, aku melakukan aktivitas dengan mengendarai kendaraan mungil yang diizinkan-Nya kumiliki sejak sedasawarsa silam. Kali ini banyak sekali yang harus kulakukan. Rute pun harus kutata dan kupikirkan sedemikian rupa sehingga menghindari kesalahan arah dan kemacetan.
Selain membeli susu murni yang terkenal di kotaku, Susu Lioe di Pasar Oro-oro Dowo, transfer di BNI 46 Kayutangan, membeli Wishkas makanan si Oyen di pasar hewan, dan lain-lain. Membeli wortel, mentimun, apel, pir bahan jus harian, juga tentu saja jamu kunyit asem langganan di Pasar Klojen. Padat, bukan?
Saat sampai di perempatan Rampal, lampu merah menghentikan laju kendaraanku. Iseng kuputar radio mobil, dan langsung kudengar sayup dari radio mobilku lirik lagu menyentuh ini:
Mother, how are you today?
Here is a note from your daughter
With me everything is OK
Mother, how are you today?
Â
Mother, how are you today?
Mother, don't worry, I'm fine
Â
Tetiba tirta netra ini menguar tanpa kompromi. Ya, Allah ... sesak rasanya dada ini! Hingga lampu hijau menyala, sisa bait terakhir masih terngiang juga berkumandang lirih di gendang telinga ini. Lalu, tergambar lakonku masa lalu yang melintas bagai film di depan netra ...
***
Beberapa tahun silam, aku berkesempatan mengajar di perguruan tinggi swasta sebagai dosen honorer. Suatu saat, mantan pacarku -- teman sejurusan, tepatnya kakak tingkat terpaut dua tahun di atasku -- Â memintaku menggantikannya mengajar di luar kota karena alasan tertentu. Kebetulan mantan pacar memang satu kantor yayasan denganku.
Ya ... sudahlah, aku sanggup membantu walaupun harus menempuh perjalanan dua jam menggunakan bus umum. Tepatnya kampus itu berada di kota kelahiran kami. Aku menyanggupinya karena selain butuh pengalaman, aku sejujurnya juga butuh dana untuk kuliah sulungku.
Sampai di kampus itu, aku lumayan kebingungan. Bertanya sana-sini akhirnya aku menemukan kelas yang harus kugantikan mengajar. Sambil penjajagan, aku duduk di bangku paling belakang.
"Mbak, mahasiswi baru, ya?" sapa salah seorang mahasiswa dengan ramah sambil menjejeri dudukku.
Sebenarnya sulungku sudah berkuliah. Ya, aku menikah muda, saat usiaku masih sembilan belas tahun. Kuliah belum selesai, tetapi salah seorang dosen meminangku sehingga aku harus meninggalkan mantan pacar untuk menikah dengan sang dosen! Maka, tidak mengherankan jika mahasiswi tersebut mengira aku belum setua itu. Disapanya aku dengan panggilan 'Mbak' yang cukup aneh saja di telingaku. Aku sudah terbiasa dipanggil Bu karena statusku sebagai guru sekaligus dosen honorer di sore hingga malam hari.
Aku tidak menjawab, hanya mengangguk saja.
"Ini dosennya dari Malang, Mbak ... entahlah kok belum rawuh juga ...," lanjutnya.
"Biasanya belajar pukul berapa?" tanyaku menyelidik.
"Sebentar lagi, biasanya pukul 15.15. Mata kuliahnya cukup sulit, sih! Hingga pukul 16.45 jadwalnya!"
Beberapa teman mahasiswa berusia di atas mahasiswa standar atau umum. Maklum, karena perguruan tinggi swasta ini menampung para karyawan, juga guru yang ingin memperoleh ijazah strata satu. Jadi, tidak heran kalau pada umumnya sudah berumur.
Ketika sudah mendekati 15.15, aku permisi untuk berkenalan. Saat berkenalan itulah, aku katakan bahwa aku menggantikan dosen yang sedang berhalangan hadir. Tentu saja, semua yang awalnya mengira aku sebagai mahasiswa baru, sangat kaget dan terheran-heran.
"Wuah ... maaf, Bu! Tadi saya tidak tahu sehingga menyapa Ibu dengan sebutan Mbak!" sesal salah seorang mahasiswi.
"Tidak masalah, terasa lebih muda juga, 'kan?" selorohku sehingga semua terlihat gembira karena aku bersikap humble, care dan  friendly. Setelah menjelaskan materi selama sekitar 90 menit, aku pun mohon diri. Aku melaporkan kepada petugas administrasi sebagai dosen pengganti. Sebelum pulang, aku memperoleh amplop honor yang entah berapa aku tidak melihatnya. Langsung masuk ke dalam tas.
Pulang dari kampus, sepupu menjemputku dengan sepeda motor. Hal ini karena sebelum sampai kota kelahiran pagi tadi, aku sudah mengabarkannya lewat message.
"Mbak, kudengar Mbak Har sakit. Apa tidak sebaiknya kita mengunjunginya di rumah sakit?" ajaknya.
Aku pun setuju. Mbak Har itu sebenarnya adalah ibu kandung yang setelah melahirkan dan menitipkanku ke tangan nenek sambung, menikah lagi. Oleh karena itu, aku terbiasa dan dibiasakan untuk memanggilnya dengan sebutan 'Mbak' bukan Bu atau Ibu.
Aku memanggil nenek sambung dengan sapaan 'Ibu' dan kakek kandung dari pihak Ibuku sebagai 'Bapak'. Mereka berdualah yang mengasuhku sejak bayi merah hingga menikah, bahkan telah memiliki dua anak saat itu.
Mendengar berita ibu kandungku sakit di rumah sakit, jantungku berdetak kencang, dan segera aku mengiyakan. Kami berdua langsung menuju rumah sakit daerah tidak jauh dari kampus tempatku mengajar, tepatnya menggantikan mengajar.
Sesampai di rumah sakit, jam besuk sudah berakhir karena sudah melebihi pukul 17.00. Aku merengek dan menangis, memohon kepada petugas karena aku memang dari Malang dan pulang mengajar 16.45. Tentu saja sudah melewati batas besuk. Aku berjanji hanya cukup lima menit saja.
Bersyukur, dengan pengawalan, kami berdua diizinkan masuk ruang inap perawatan. Sekali lagi hanya diberi waktu lima menit. Aku langsung menangis. Teringat bahwa sampai seumur itu aku selalu memanggilnya 'Mbak' dan bukan 'Ibu'.
"Jangan menangis. Anakku sepuluh. Jangan menangis, dadaku panas," hanya itu yang diucapkannya. Aku bahkan tidak bisa berhenti menangis.
Karena sudah dikode, aku pun mengambil amplop yang tadi kuperoleh dari kampus. Kutinggalkan buat ibuku. Aku tidak boleh lama-lama. Aku pun pamit dan ibu tetap mengatakan yang sama.
"Jangan menangis!" dikatakannya berulang-ulang.
Aku teringat saat masih kecil ketika membutuhkan uang entah untuk apa aku lupa, ibuku mengambilkan uang simpanannya yang disisipkan di dinding bambu rumahnya untukku.
"Jangan bilang siapa-siapa. Gunakan uang ini untuk kebutuhanmu!" pertama dan terakhir kali aku menerima uang dari ibuku.
Aku pun memberikan amplop honor itu, ternyata pertama dan terakhir kalinya karena tidak sampai satu bulan kemudian, ibuku pulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Pengasih. Ibuku menderita sakit jantung. Padahal adik bungsuku masih belum lulus kuliah.
***
Mother, how are you today?
Mother, don't worry, I'm fine
masih tersisa bait lirik lagu yang mengusik relung hatiku itu ...
Air  netraku pun masih mengalir deras tak tertahankan, bahkan tanpa terasa aku sesenggukan. Aku memberi tanda sign kiri, kutepikan kendaraan di pinggir jalan, dan aku diam menata napas.
"Maafkan aku, Buk ... selama ini jangankan aku memberikan hatiku padamu, memanggilmu saja masih tetap dengan sebutan 'Mbak'. Maafkan aku yang seolah tidak mengakuimu sebagai ibuku. Padahal, aku yakin, di hatimu pasti ada namaku yang Ibuk sebut. Aku iri dengan kesembilan adikku yang bermanja denganmu, maafkan aku Buk!"
Beberapa saat aku menyelesaikan isakku di tepi jalan. Ketika hati sudah tertata, kulanjutkan perjalanan menyusuri jalanan di kotaku.
***
Saat ini, ketiga putraku sudah berada di tempat jauh. Mereka sudah berhasil meniti karier. Sudah mapan. Akan tetapi, karena kesibukannya, mereka sering melupakan aku. Sulung berada di luar pulau, si tengah berada di ibu kota, bahkan bungsu masih berada di luar negeri dalam rangka studi mengambil doktornya. Mereka memang dianugerahi intelegensi luar biasa sehingga beroleh beasiswa hingga mancanegara.
Tirta netra pun tak terhindarkan tumpah lagi kesekian kalinya hingga pandanganku kabur. Tidak adakah mereka mengingatku? Mungkin, karena ketiga mereka lelaki, tidak ada yang mengingatku sebagai ibunya. Padahal, tidak jarang aku merindukannya. Di  dalam hatiku selalu mendoakannya setiap saat. Bahkan, setiap embusan napasku!
Kemarin malam pun aku memimpikan si sulung. Mungkinkah karena rasa rinduku yang menggunung? Aku jadi teringat akan masa mudaku. Aku pun tidak pernah merindukan ibuku karena tidak pernah tinggal serumah dengannya. Lalu, kalau sekarang aku merasa tidak dirindukan oleh ketiga putraku, apakah ini sebagai karma? Aku tidak tahu. Aku pun tidak bisa memprotes mengapa Tuhan membuat masa kecilku tidak dekat sehingga tidak merasa dekat dengan ibuku.
***
Mungkin karena ini bulan Desember, ketika aku berhenti dan menepi kedua kalinya di pinggir jalan, dari radio terdengar lirik lagu dengan tema sama, ah ...
Kali ini Melly Guslaw mendendangkan lagu andalan bertajuk Bunda. Tepat bagian refrein ...
Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang
Â
Aku tidak percaya apakah masa kecilku dimanja dan ditimang oleh ibuku? Apakah nenekku yang kupanggil Ibuk dan sebagai sosok Ibu itu memanjakan dan menimangku? Aku tidak pernah ingat lagi. Tidak ada album biru yang mendokumentasikan masa kecilku. Tidak seperti aku yang walaupun sedikit masih menyimpan foto-foto masa kecil ketiga putraku.
Sungguh, aku tidak bisa protes dan complain mengapa masa kecilku kurasakan tidak indah dan tidak manis. Bahkan, masa remajaku pun sering merasa ditolak oleh calon mertua karena keadaan dan keberadaanku. Dikatakan bahwa aku anak haram. Calon mertua mengatakan bahwa bibit, bebed, dan bobot-ku tidak sesuai dengan kriteria mereka.
Apakah hal itu aku inginkan? Jelas tidak! Aku pun tidak bisa menyalahkan kedua orang tuaku dengan alasan mereka masing-masing mengapa harus memindahtangankan pengasuhanku kepada kakek nenek.
Ya, akhirnya ... aku harus tetap tegar. Walaupun aku tidak memiliki sosok ibu sebagai anutanku dan masalah itu menjadi noktah hitam di dalam kehidupanku, aku akan tetap tegar. Biarlah aku tidak pernah merasakan belai kasih sayang ibu, aku yakin Tuhan tetap menyayangiku. Kalau kini ketiga putraku pun tidak mengingatku sebagai ibunya, padahal saat mereka masih kecil aku begitu mengasihi, menyayangi, dan mengasuh mereka dengan sejuta cinta. Aku pun harus tetap tegar.
Meskipun tidak ada kabar yang menanyakan kepadaku "Mother, how are you today? Here is a note from your daughter"Â karena ketiga putraku lelaki semua, aku akan tetap tegar! Aku mengisi hidupku, tepatnya sisa hidupku ini dengan aktivitas yang berguna bagiku pribadi dan bagi sesama. Ya, aku menulis sebagai self healing agar semua rasa negatifku itu sirna.
***
Ketika malam ini sengaja kubuka Youtube dan kucari dua lagu di atas, kupuaskan dengan doa dan tangisku kepada Tuhan.
"Ampunilah hamba, jika masa kecil dan remaja hamba kurang menghargai sosok ibunda. Ampunilah ketiga putra hamba yang melupakan keberadaan hamba pula. Biarlah kebaikan, kesejahteraan, kesehatan, dan kesuksesan Tuhan limpahkan kepada mereka di mana pun mereka berada, amin."
Hanya terpaut beberapa jam, kejutan demi kejutan kudapatkan! Bersyukur, seolah seperti telepati, putra bungsuku tetiba mengirimkan pesan via WhatsApp menanyakan kabar dan hendak mengirimiku hadiah ulang tahun. Kejutan berikutnya pada hari yang sama ini, tidak kuduga, putra tengahku datang dari ibu kota menginap semalam karena mendapat tugas di Jawa Timur. Sungguh, betapa baiknya Tuhan. Apa yang tidak kupikirkan pun dianugerahkan-Nya!
Lalu sekali lagi kudengar siaran Radio Sangkakala yang menyiarkan lagu rohani bertajuk 'Di Doa Ibuku Namaku Disebut' terbayang pula pada netraku betapa ibu yang sebenarnya adalah nenek sambungku itu bertelut dan berdoa. Di dalam doa beliau tersebut jelas kudengar namaku disebut. Oleh karena itu, aku pun langsung melakukannya untuk ketiga pangeranku. Doa orang tua kepada putra-putrinya bagaikan pagar yang melingkupi agar putra-putri si buah hati dilindungi-Nya dengan luar biasa.
Kalau dulu zaman ketika aku hendak merantau untuk melanjutkan studi, Kakek mengajakku ke orang pintar untuk meminta azimat, yakni benda pusaka yang dipercaya bisa menolak bala, aku tidak melakukan hal yang sama. Aku hanya menyerahkan ke tangan Tuhan sang Pencipta yang Empunya Surga, sekalipun ketiga pangeran tampanku berpetualang berburu ilmu hingga ke Amerika Serikat, yang memberikan kepada mereka pagar. Pagar yang menyelamatkan hidup mereka. Pagar yang melindungi dari segala marabahaya dan bencana. Â Â
Inilah lirik lagu yang dilantunkan dengan suara emas oleh Natashia Nikita tersebut:Â
Di Doa Ibuku Namaku Disebut
Di waktu ku masih kecil, gembira dan senang
Tiada duka kukenal, tak kunjung mengerang
Di sore hari nan sepi, ibuku bertelut
Sujud berdoa kudengar namaku disebut
Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut
Seringlah kini kukenang, di masa yang berat
Di kala hidup mendesak dan nyaris kusesat
Melintas gambar ibuku, sewaktu bertelut
Kembali sayup kudengar, namaku disebut
Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut
Sekarang dia telah pergi ke rumah yang senang
Namun kasihnya padaku selalu kukenang
Kelak disana kami pun bersama bertelut
Memuji Tuhan yang dengar namaku disebut
Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibuku kudengar, ada namaku disebut
Di doa ibuku, namaku disebut
Di doa ibuku dengar, ada namaku disebut
Ada namaku disebut
Sumber: Musixmatch
Lagu yang jika diresapi sungguh-sungguh mampu membuat merinding. Sementara, dikatakan juga bahwa menyenandungkan lagu rohani itu pada hakikatnya berdoa juga. Soli deo Gloria ...
Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H