"Kami saling mencintai, Bu!" kilahnya.
"Apa? Cinta katamu? Apakah berumah tangga hanya berdasar dan bermodal cinta? Nonsense!" gertak sang bunda.
Kalimat menohok itu terpaksa kudengar ketika aku diajaknya singgah ke rumah orang tuanya sebelum mengantarku pulang ke desa. Ya, kami berkuliah di Malang. Sama-sama berasal dari Tulungagung, sekitar seribu kilometer dari kota tempat menempa diri di bangku kuliah. Kalau dia tinggal di kota, tempat tinggalku masih sekitar tujuh kilometer masuk ke pelosok barat lagi.
Setelah turun dari kereta, dia ajak aku berbecak menuju rumahnya. Hatiku sudah merasa tak nyaman, tetapi dia ngotot hingga aku tak berani membantah. Apalagi dikatakan nanti akan diantarnya aku ke desa bersepeda motor. Kebetulan ayahnya memperoleh fasilitas sepeda motor plat merah. Kalau sore sepulang sang ayah, sepeda motor bisa digunakan mengantarku.
Ternyata kalimat-kalimat menghunjam jantung itulah yang menyambutku. Aura sinis dengan bibir mencemooh kuperoleh sejak menjejak di depan teras itu. Ya, sang ibunda langsung ngibrit dengan auto cuek ke ruang belakang. Tanpa menghiraukanku, bahkan telapak tanganku hendak bersalam pun ditepisnya.
"Kalau kamu pacaran, pasti uangmu habis untuk ini itu. demikian pula kalau menikah muda dengannya. Tidak! Aku tidak setuju! Kamu harus bekerja dulu dan membantu kami membiayai pendidikan lima adikmu!" urai sang ibu sengaja diperbesar volume agar aku mendengarnya.
Jelas tak ada restu dan rida dari sang ibu. Apakah aku siap melanjutkan dengan risiko tidak disukai mertua? Hmmm, harus kupikir ulang seribu kali lagi. Cinta tidak bisa menjadi modal untuk berumah tangga. Buktinya, nenek moyang zaman dulu menikah dijodohkan pun bisa. Jadi, cinta datang belakangan. Witing tresna jalaran saka kulina.
Singkat cerita, kami memang tak berjodoh. Mau tak mau aku harus melupakan dia. Melupakan cinta tulusku padanya. Adapun sosok penggantinya adalah orang yang sama sekali tidak kukenal. Usia kami terpaut lima belas tahun pula.
Saat berkuliah inilah aku mengenal cinta, ya cinta tulus yang tidak berjalan mulus. Kedua orang tua pacar tidak merestui hubungan kami, hanya karena masalah bibit, bebed, dan bobot. Aku yang terlahir sebagai 'anak haram' karena ayah bundaku tidak terikat pernikahan, membuatku sebagai gadis broken home. Beruntung tidak broken heart pula oleh penolakan camer, calon mertua. Aku hadapi dengan pasrah diri saja. Kalau Tuhan menciptakanku, pasti memberiku jodoh sepadan.
Ketika semester lima, mata kuliahku sudah habis sehingga semester enam tinggal persiapan menulis skripsi. Namun, ada seseorang yang mengajakku menikah dengan cara ajaib. Ya, sangat ajaib karena aku tidak mengenal sebelumnya.
Akhir semester itu aku selesai melaksanakan PPL (Praktik Pengalaman Lapangan) di Kepanjen. Harus naik bus dan angkot. Namun, aku lupa tidak memiliki dana cukup. Paginya, aku harus membayar uang makan si dia di warung langganan sehingga uangku untuk ongkos bus pulang ke Malang tidak mencukupi. Oleh guru pamong aku dititipkan guru yang bersepeda motor ke Malang. Nah, tepat sesampai di depan indekos, dia melihat aku dibonceng seorang lelaki. Padahal, beliau guru SMP Kepanjen yang berkenan memboncengku hingga sampai indekos. Beliau mengizinkanku menumpang atas desakan guru pamong.