"Kalau enggak mau dikubur berdampingan, ya sudah. Kelak ... kalau aku dipanggil duluan, kamu kunanti di bawah pohon kamboja, ya!"
"Haduuhhhh! Ini apa lagi, sih, Mas. Kamu kian ngelantur, deh! Kita pulang saja meski menerobos hujan!"
"Maaf ... Dik. Maafkan aku. Soalnya melihat pohon kamboja, jadi teringat lagu itu. Maaf!" sambil mengatupkan kedua telapak tangan di dada.
"Lagian, kalau wafat duluan, ngapain harus menghantuiku, Mas! Malah mau menungguiku di kuburan segala, loh! Iiiihh!" protesku sambil memukuli lengannya.
"Hehehe ... bercanda, Dik!" sahutnya melucu.
"Nggak lucu!"
Akhirnya, aku benar-benar bisa ke Bali seperti keinginan. Berangkat sendiri dan ternyata dia menyusulku hingga kami pulang bersama. Di bus malam itulah, dia menorehkan kenangan yang tak pernah kulupa. Ya, kala bus di mode mati lampu, tetiba dia menciumku untuk yang pertama kalinya. Hmm, nakal juga ternyata. Kukira dia yang begitu calm dan charm itu tidak berani neko-neko. Ah, hatiku makin melekat padanya saja. Hahaha ... dasar anak desa yang baru mengenal cinta! Bucin banget, kan?
Hingga beberapa bulan setelahnya ....
"Kamu pacaran? Dengan anak nggak jelas itu? Kamu kira kami nggak tahu siapa dia? Ada yang memberitahu kami silsilah keluarganya, Le!"
'Le' biasa digunakan oleh suku Jawa, sapaan sayang sang bunda buat anak kedua, tetapi lelaki pertamanya itu. Untuk gadis biasa dipanggil dengan istilah 'Nduk' semacam Nak dalam bahasa Indonesia.
"Lagi pula, menikah itu harus melihat bibit, bebed, dan bobot si calon lebih dulu! Bibit itu silsilah keluarganya. Dari keluarga baik-baik atau berantakan. Bebed itu semacam innerbeauty, skill, dan kebisaan yang dimilikinya, lalu bobot itu kualitas dan kondisi keluarganya. Apakah dari segi harta mapan? Pendidikan pun memadai? Nah, begitu-begitu. Enggak grusa-grusu, waton ayu saja! Bukan hanya berdasar paras elok saja!" tegas sang ibunda.