Ternyata dia mengambil beberapa guguran mahkota kamboja. Dengan kepala basah terkena titik hujan, diserahkanlah bunga itu padaku.
"Coba, lihat! Barangkali ada yang genap. Kalau tak ada berarti bukan rezekiku!" sambil mengangsurkan beberapa kuntum kembang kamboja itu di kedua telapak tanganku.
"Oh, ... buat apa, Mas?"
"Buat ... begini!" jawabnya sambil memasangkan sekuntum terjepit di ketiak daun telingaku.
"Kamu kayak gadis Bali. Cocok banget dengan pseudonim-mu Ni Ayu, Dik. Kan mirip nama gadis Bali. Hehehe ... jegeg banget, Dik!" selorohnya sambil menata kuntum itu dibelainya rambut tergeraiku.
"Hehehe Ni Luh Sukreni, ya? Tokoh utama novel kesukaanmu, karya I Gusti Nyoman Panji Tisna, 'kan?"
"Iya, iya bener banget. Ingatanmu bagus banget. Kuakui aku tidak secerdas dirimu!" katanya merendah.
"Ngomong-omong, aku ingin ke Bali, loh Mas. Naik bus malam!"
"Oke, sepakat. Nanti aku ikut, ya!"
Tetiba ada saja tingkah anehnya yang lain. Dia menyanyikan penggalan lagu lawas, ... "Menanti di bawah pohon kamboja ... datangnya kekasih yang kucinta ...."
Suara merdunya sungguh indah, tetapi ... lanjutnya ....