Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Pohon Kamboja

29 Maret 2024   17:14 Diperbarui: 29 Maret 2024   17:22 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Bawah Pohon Kamboja

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Pagi itu sangat terkejut ketika membaca di grup Facebook salah seorang teman guru yang kami comblangi menikah dengan sepupu suami, dirawat di rumah sakit. Namun, ketika kutanyakan kepada pengunggah di mana alamat rumah si sakit tidak ada jawaban. Empat hari setelah itu, ada yang mengirim WhatsAap memberitakan bahwa yang bersangkutan telah tutup usia.

"Tensiku 152 nih, Pa, aku nggak bisa ikut ke pemakaman," dalihku kepada suami.

"Iya, aku juga ada acara dengan grup. Sudah terlanjur janji mau ikut," jawabnya.

Akhirnya kami berdua tidak bisa mengantar jenazah ke peristirahatan terakhir. Bahkan, sorenya saat doa penghiburan pun kepalaku masih belum nyaman. Rasa berputar dan nyut-nyutan menyebabkan keinginan untuk merebahkan raga di kasur empuk. Daripada terjatuh malah berbahaya, bukan?

Mengingat  sebuah pemakaman, berputarlah memori masa silam. Pernak-pernik mozaik kenangan itu menari-nari bagai puzzle di kepala. Ya, potongan memori yang sangat membuat terkejut dan terharu melintas begitu saja. Maka, sambil rebahan melintaslah dengan jelas satu demi satu puzzle memori itu.

Suatu ketika, orang tua salah seorang teman tutup usia. Bersama  rombongan kantor, aku mengikuti prosesi pemakaman mulai awal hingga akhir. Hari itu bertepatan dengan kalender berwarna merah sehingga bebas tugas dinas.

Saat rombongan kami sampai di pemakaman, jenazah memang belum tiba. Jenazah diberangkatkan langsung dari Gotong Royong -- gedung transit jenazah -- tempat kemarin kami mengikuti ibadah tutup peti. Sementara, sorenya kami sudah ke sana sehingga siang ini kupikir baik kalau aku langsung menuju makam saja. Nah, karena langsung ke makam, mau tidak mau kami harus menunggu beberapa saat hingga upacara ibadah dilaksanakan. 

Apalagi para penggali kubur juga masih belum selesai melaksanakan tugas. Tampak beberapa teman yang sudah hadir ngerumpi berpencar di beberapa titik. Karena siang lumayan terik, masing-masing mencari tempat aman untuk berlindung dari sengat matahari.

Ada beberapa pohon peneduh, di antaranya yang khas adalah pohon kamboja. Mengapa pohon ini selalu ada di area makam? Konon  katanya guguran bunga kamboja segar ini mampu menetralisasi udara sehingga udara segar dipastikan diperoleh para peziarah.

'Menanti di Bawah Pohon Kamboja' judul lagu zaman dulu yang dinyanyikan oleh alm. Rahmad Kartolo sayup terngiang secara audible di telinga. Memori ingatanku pun kembali ke beberapa tahun silam. Lagu ini dulu sering dilantunkan seseorang yang spesial bagiku jika kami berdua sedang berjalan kaki dan melihat pohon atau bunga kamboja hias di perumahan elite menuju kampus. Suaranya yang merdu membuatku tersenyum sehingga perjalanan tidak terasa melelahkan. Ya, kami mencari tempat indekos agak jauh dari kampus dengan alasan lebih murah.

"Dik, kelak kalau aku lebih dulu dipanggil Tuhan, kamu kutunggu di bawah pohon kamboja, ya!" selorohnya suatu saat.

"Ih, nggak mau! Kalau aku ditunggu di bawah pohon kamboja, belum tentu itu ragamu, 'kan? Bagaimana kalau ...!"

"Iya, ya ... benar. Kita nggak mau menjadi hantu yang menghantui, 'kan ya!" potongnya.

"Lah, iya. Benar! Jadi, nggak usah ditunggu atau menunggu!" pintaku tegas.

 "Ih, sudah ah, jangan membahas yang horor!" lanjutku.

"Hehehe ... iya, apalagi ini malam Jumat!" serunya. "Harusnya ... kutunggu di gerbang surga saja, kan?"

"Mas, apa-apaan sih, ahh ...!" 

Tentu saja membuatku semakin mrinding karena saat itu kami berdua sedang berada di luar rumah. Tepatnya, kami sedang berjalan menuju pulang dari kampus ke arah indekos. Pada suatu senja temaram dan melintasi sebuah makam. Di tengah terdapat jalanan setapak yang digunakan masyarakat sebagai jalan lintas mempercepat tiba di rumah.

"Dik, tunggu!" Dipungutnya sekuntum kamboja segar di dekat kakinya lalu disematkan di telingaku.

"Ih, Mas! Apaan, sih! Ayo, cepat pulang!" tarikku.

"Hehehe ... kamu cantik! Dengan rambut terurai begini ditambah bunga ini disisip di telinga kayak putri Bali. Cocok dengan pseudonym Ni Ayu!" lirihnya sambil membetulkan anak rambut dan poniku.

Jalanan sempit dan berkelok karena potong kompas semakin membuat kurang nyaman. Ya, kami memilih potong kompas yang menurut kami lebih dekat daripada di jalan memutar. Namun, kami lupa kalau hari sudah mulai malam.

"Jangan takut, Dik. 'Kan ada aku!" hiburnya sambil memegang tanganku; tepatnya agak menyeretku karena dia berada agak di depan.

Sesampai di indekos dengan ngos-ngosan tentu saja, aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Konon, pesan orang tua di desa kalau baru datang dari mana pun harus ke kamar mandi membersihkan diri.

"Masmu sudah langsung pergi, Nak!" ibu indekos memberitahukan bahwa Mas Yus tidak singgah, tetapi langsung menuju indekosnya setengah kilometer dari indekosku.

"Iya, Bu. Terima kasih," jawabku.

"Kok malam pulangnya?"

"Iya, jadwalnya mundur. Kami tadi lewat potong kompas, makanya ngos-ngosan," jawabku jujur.

"Pantesan. Kalau ada teman lewat jalan biasa sajalah, jangan potong kompas kalau jam segini! Nggak bagus!" pesan beliau.

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

Yang kami maksud potong kompas itu sebenarnya adalah jalan melewati pemakaman. Bagaimana pun masih termeterai mitos negatif pulang lewat makam sore menjelang malam. Akan tetapi, karena ada teman jadi kami berdua nekad saja. Ada keinginan segera sampai rumah untuk beristirahat.

"Percayalah, aku tidak akan menghantuimu!" bisiknya.

Kenyataannya, kami berdua yang sudah berpacaran selama dua tahun ternyata harus berpisah karena kedua orang tuanya tidak menyetujui hubungan kami. Kisah muramku masa lalu menjadi alasan mengapa ibunya menolakku mentah-mentah.

Sementara, cinta kami sangat rapuh. Ketika kami berdua masih kuliah, Mas Yus tidak berani menentang keluarganya. Maka, daripada status dan nasibku menggantung, ketika ada seseorang yang meminangku, aku pun setuju. Karena itu, perpisahan kami bukan karena penolakan keluarganya, melainkan tepatnya karena aku melarikan diri menghindarinya. Lebih baik aku yang meninggalkannya, daripada ditinggalkan. Demikianlah, secara mendadak aku menikah dengan orang yang tidak kukenal sebelumnya.

Beberapa tahun aku mengarungi bahtera rumah tangga, Mas Yus masih belum bisa menerima alasanku. Belum bisa move on istilah zaman sekarang.

Dia masih sering mencari-cari aku di tempat-tempat yang didengarnya sebagai tempatku mengajar. Dia ingin mendengar langsung mengapa aku meninggalkannya begitu saja. Namun, kalau aku tahu sebelumnya, pasti sengaja mengelak. Aku tidak mau membangunkan harimau tidur.

"Dik, aku minta tolong. Gantikan aku mengajar di ...,"

"Aku tidak mau mencari gara-gara," potongku.

"Aku beri berapa pun yang kauminta asal gantikan tugasku ini, please. Ini demi reputasi agar aku tidak dipecat, please ...," rajuknya.

Bermula dari pertemuan di kantin kampus itulah, komunikasi yang beberapa tahun tersendat, bahkan terputus, menyambung kembali. Namun, aku sadar. Posisiku sebagai seorang istri dan ibu dua orang balita. Aku sangat menjaga diri sehingga hubungan itu sebatas rekan kerja karena kebetulan kami berada di satu yayasan suatu perguruan tinggi swasta.

Suatu saat ketika makan siang di kantin, dia mendekatiku. Dengan lancarnya dia menceritakan kehidupannya yang menurutku lucu juga. Karena didesak keluarganya agar segera menikah, dia pun menikahi salah seorang murid SMA-nya. Sejak menikah, speedometer sepeda motor miliknya terpaksa dilepas pasang karena sang istri menghitung kilometer sepeda motor tersebut setiap hari.

"Beruntung, aku bisa menyiasati dengan bongkar pasang," katanya sambil tersenyum.

Aku tidak berkomentar apa pun. Takut salah. Hanya, menjadi pelajaran buatku agar tidak membocorkan apa pun yang terjadi di dalam rumah tanggaku. Bukankah menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri? 

Tepat ketika beliau berulang tahun, dicegatnya aku di suatu sekolah tempatku mengabdi sebagai sambilan. Dimintanya aku langsung menuju ke suatu seafood resto. Aku yang membawa kendaraan roda empat mengikuti motornya. Ya, aku pun mengikuti dengan perasaan tanpa beban. Kalau pertemuan berdua di lesehan, kukira aman-aman saja, senyampang tidak menyalahi aturan. Aku menghindari pertemuan berdua di tempat sepi.

Setiba di resto, ia telah memesan ikan bakar, tumis kangkung, tahu, dan tempe goreng, serta jus alpukat. Dia tahu betul kesukaanku.

"Dik, aku menderita diabetes. Jadi, aku akan melihatmu makan. Nanti, kalau pesanan ini masih tersisa, boleh dibungkus untuk kaubawa pulang," pesannya sambil tersenyum.

"Loh, kukira sebanyak ini mau makan bersamaku," tanyaku.

"Iya, makan sajalah sekenyangnya. Aku hanya ingin menemanimu barang sejenak. Aku tahu betapa sulitnya mencari waktu seperti ini, 'kan? Banyak kendala!" keluhnya.

"Hmmm, iya kita harus tahu diri," lirihku.

"Hehe ... sejak dilarang berhubungan hingga saat ini, hati ini terpenjara," gerutunya lirih, nyaris tak terdengar.

"Ya, sudahlah. Nikmati hidupmu sebagaimana adanya. Jangan meminta lebih," hiburku.

"Tapi aku bersyukur, setidaknya masih bisa curhatan denganmu. Jangan lari-lari menghindariku lagi, ya," lanjutnya.

"Hmmm, ... mengalir sajalah, hidup sudah ada yang mengatur," kataku.

Sejak saat itu, setiap kukirim pesan di WA tidak pernah dibalas. Aku bukan chating hal lain. Kukirim pesan berupa kutipan firman Tuhan atau renungan harian yang kubuat sendiri. Paling-paling hanya dibalas dengan simbol jempol. Entah mengapa. Sejak pertemuan di seafood tersebut, kami tidak pernah bertemu lagi.

Beberapa bulan awal Covid-19 melanda, tetiba notifikasi gawaiku menunjukkan kiriman berita duka. Bagai disambar petir, sendiku menjadi layu, lidahku kelu. Tirta netra berhamburan tanpa mampu kukendalikan. Dia telah dipanggil pulang kembali ke surga.

Berita itu dikirim dari salah seorang alumni perguruan tinggi sejurusan dan seangkatan denganku. Aku dan Mas Yus  memang sejurusan, tetapi tidak seangkatan. Mas Yus kakak kelas, dua tingkat di atasku. Sementara, teman-teman mengetahui kisah percintaan kami yang kandas.

"Aku ngerti bagaimana perasaanmu, seberapa besar cinta kalian, tetapi yang paling baik saat ini, ya ikhlaskan kepergiannya," hibur kakak sepupu yang mengetahui perjalanan kisah cinta kami.

Kebetulan kakak sepupuku ini segereja dengan Mas Yus dan sering pula menjadi tempat curhatnya. Jadi, kakak sepupu tahu persis bagaimana perjuangan kami untuk saling menerima keadaan. Ya, tepatnya menerima pengaturan Tuhan untuk tidak hidup bersama di dalam ikatan rumah tangga. Bukankah ikatan percintaan tidak harus bermuara pada pernikahan kudus? 

"Masih manusiawi 'kan kalau tangis tak bisa kubendung?" pikirku yang hanya sesenggukan tanpa bisa berkata sepatah pun.

Sungguh, aku merasa nelangsa karena tidak bisa melihatnya saat terakhir kali. Hal yang sangat tidak mungkin bisa kulakukan. Apalagi, kondisi tanah air dilanda virus berbahaya.

***

Tetiba sirine ambulans pembawa jenazah tiba di area makam. Terdengar pula dari pelantang bahwa acara ibadah segera dilaksanakan. Beberapa teman mendekat ke pemakaman. Akan tetapi, netraku melihat nama di sebuah batu nisan tak jauh dari tempatku duduk. Dengan susah payah aku pun mendekati makam itu.

Kembali hati ini meleleh, sendiku melemah. Tanpa kusadari ternyata aku menemukan makamnya. Ya, makam Mas Yus! Ya, Tuhan! Secara tidak sengaja kubaca nama pada batu nisan itu. Persis berada di bawah pohon kamboja kuning dan merah muda. Maka, berbagai perasaan pun berkecamuk di rongga dada. Secara tidak sengaja, Tuhan menunjukkan tempat peristirahatannya seperti yang diinginkan jauh sebelum meninggal. Sebuah makam diteduhi pohon kamboja beraneka warna: putih, kuning, merah muda, dan pink!

(In memoriam, mengenang empat tahun kepulangannya ke surga.)

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun