'Menanti di Bawah Pohon Kamboja' judul lagu zaman dulu yang dinyanyikan oleh alm. Rahmad Kartolo sayup terngiang secara audible di telinga. Memori ingatanku pun kembali ke beberapa tahun silam. Lagu ini dulu sering dilantunkan seseorang yang spesial bagiku jika kami berdua sedang berjalan kaki dan melihat pohon atau bunga kamboja hias di perumahan elite menuju kampus. Suaranya yang merdu membuatku tersenyum sehingga perjalanan tidak terasa melelahkan. Ya, kami mencari tempat indekos agak jauh dari kampus dengan alasan lebih murah.
"Dik, kelak kalau aku lebih dulu dipanggil Tuhan, kamu kutunggu di bawah pohon kamboja, ya!" selorohnya suatu saat.
"Ih, nggak mau! Kalau aku ditunggu di bawah pohon kamboja, belum tentu itu ragamu, 'kan? Bagaimana kalau ...!"
"Iya, ya ... benar. Kita nggak mau menjadi hantu yang menghantui, 'kan ya!" potongnya.
"Lah, iya. Benar! Jadi, nggak usah ditunggu atau menunggu!" pintaku tegas.
 "Ih, sudah ah, jangan membahas yang horor!" lanjutku.
"Hehehe ... iya, apalagi ini malam Jumat!" serunya. "Harusnya ... kutunggu di gerbang surga saja, kan?"
"Mas, apa-apaan sih, ahh ...!"Â
Tentu saja membuatku semakin mrinding karena saat itu kami berdua sedang berada di luar rumah. Tepatnya, kami sedang berjalan menuju pulang dari kampus ke arah indekos. Pada suatu senja temaram dan melintasi sebuah makam. Di tengah terdapat jalanan setapak yang digunakan masyarakat sebagai jalan lintas mempercepat tiba di rumah.
"Dik, tunggu!" Dipungutnya sekuntum kamboja segar di dekat kakinya lalu disematkan di telingaku.
"Ih, Mas! Apaan, sih! Ayo, cepat pulang!" tarikku.