"Hehehe ... kamu cantik! Dengan rambut terurai begini ditambah bunga ini disisip di telinga kayak putri Bali. Cocok dengan pseudonym Ni Ayu!" lirihnya sambil membetulkan anak rambut dan poniku.
Jalanan sempit dan berkelok karena potong kompas semakin membuat kurang nyaman. Ya, kami memilih potong kompas yang menurut kami lebih dekat daripada di jalan memutar. Namun, kami lupa kalau hari sudah mulai malam.
"Jangan takut, Dik. 'Kan ada aku!" hiburnya sambil memegang tanganku; tepatnya agak menyeretku karena dia berada agak di depan.
Sesampai di indekos dengan ngos-ngosan tentu saja, aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Konon, pesan orang tua di desa kalau baru datang dari mana pun harus ke kamar mandi membersihkan diri.
"Masmu sudah langsung pergi, Nak!" ibu indekos memberitahukan bahwa Mas Yus tidak singgah, tetapi langsung menuju indekosnya setengah kilometer dari indekosku.
"Iya, Bu. Terima kasih," jawabku.
"Kok malam pulangnya?"
"Iya, jadwalnya mundur. Kami tadi lewat potong kompas, makanya ngos-ngosan," jawabku jujur.
"Pantesan. Kalau ada teman lewat jalan biasa sajalah, jangan potong kompas kalau jam segini! Nggak bagus!" pesan beliau.
Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Yang kami maksud potong kompas itu sebenarnya adalah jalan melewati pemakaman. Bagaimana pun masih termeterai mitos negatif pulang lewat makam sore menjelang malam. Akan tetapi, karena ada teman jadi kami berdua nekad saja. Ada keinginan segera sampai rumah untuk beristirahat.