Aku tidak berkomentar apa pun. Takut salah. Hanya, menjadi pelajaran buatku agar tidak membocorkan apa pun yang terjadi di dalam rumah tanggaku. Bukankah menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri?Â
Tepat ketika beliau berulang tahun, dicegatnya aku di suatu sekolah tempatku mengabdi sebagai sambilan. Dimintanya aku langsung menuju ke suatu seafood resto. Aku yang membawa kendaraan roda empat mengikuti motornya. Ya, aku pun mengikuti dengan perasaan tanpa beban. Kalau pertemuan berdua di lesehan, kukira aman-aman saja, senyampang tidak menyalahi aturan. Aku menghindari pertemuan berdua di tempat sepi.
Setiba di resto, ia telah memesan ikan bakar, tumis kangkung, tahu, dan tempe goreng, serta jus alpukat. Dia tahu betul kesukaanku.
"Dik, aku menderita diabetes. Jadi, aku akan melihatmu makan. Nanti, kalau pesanan ini masih tersisa, boleh dibungkus untuk kaubawa pulang," pesannya sambil tersenyum.
"Loh, kukira sebanyak ini mau makan bersamaku," tanyaku.
"Iya, makan sajalah sekenyangnya. Aku hanya ingin menemanimu barang sejenak. Aku tahu betapa sulitnya mencari waktu seperti ini, 'kan? Banyak kendala!" keluhnya.
"Hmmm, iya kita harus tahu diri," lirihku.
"Hehe ... sejak dilarang berhubungan hingga saat ini, hati ini terpenjara," gerutunya lirih, nyaris tak terdengar.
"Ya, sudahlah. Nikmati hidupmu sebagaimana adanya. Jangan meminta lebih," hiburku.
"Tapi aku bersyukur, setidaknya masih bisa curhatan denganmu. Jangan lari-lari menghindariku lagi, ya," lanjutnya.
"Hmmm, ... mengalir sajalah, hidup sudah ada yang mengatur," kataku.