Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Pohon Kamboja

29 Maret 2024   17:14 Diperbarui: 29 Maret 2024   17:22 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saat itu, setiap kukirim pesan di WA tidak pernah dibalas. Aku bukan chating hal lain. Kukirim pesan berupa kutipan firman Tuhan atau renungan harian yang kubuat sendiri. Paling-paling hanya dibalas dengan simbol jempol. Entah mengapa. Sejak pertemuan di seafood tersebut, kami tidak pernah bertemu lagi.

Beberapa bulan awal Covid-19 melanda, tetiba notifikasi gawaiku menunjukkan kiriman berita duka. Bagai disambar petir, sendiku menjadi layu, lidahku kelu. Tirta netra berhamburan tanpa mampu kukendalikan. Dia telah dipanggil pulang kembali ke surga.

Berita itu dikirim dari salah seorang alumni perguruan tinggi sejurusan dan seangkatan denganku. Aku dan Mas Yus  memang sejurusan, tetapi tidak seangkatan. Mas Yus kakak kelas, dua tingkat di atasku. Sementara, teman-teman mengetahui kisah percintaan kami yang kandas.

"Aku ngerti bagaimana perasaanmu, seberapa besar cinta kalian, tetapi yang paling baik saat ini, ya ikhlaskan kepergiannya," hibur kakak sepupu yang mengetahui perjalanan kisah cinta kami.

Kebetulan kakak sepupuku ini segereja dengan Mas Yus dan sering pula menjadi tempat curhatnya. Jadi, kakak sepupu tahu persis bagaimana perjuangan kami untuk saling menerima keadaan. Ya, tepatnya menerima pengaturan Tuhan untuk tidak hidup bersama di dalam ikatan rumah tangga. Bukankah ikatan percintaan tidak harus bermuara pada pernikahan kudus? 

"Masih manusiawi 'kan kalau tangis tak bisa kubendung?" pikirku yang hanya sesenggukan tanpa bisa berkata sepatah pun.

Sungguh, aku merasa nelangsa karena tidak bisa melihatnya saat terakhir kali. Hal yang sangat tidak mungkin bisa kulakukan. Apalagi, kondisi tanah air dilanda virus berbahaya.

***

Tetiba sirine ambulans pembawa jenazah tiba di area makam. Terdengar pula dari pelantang bahwa acara ibadah segera dilaksanakan. Beberapa teman mendekat ke pemakaman. Akan tetapi, netraku melihat nama di sebuah batu nisan tak jauh dari tempatku duduk. Dengan susah payah aku pun mendekati makam itu.

Kembali hati ini meleleh, sendiku melemah. Tanpa kusadari ternyata aku menemukan makamnya. Ya, makam Mas Yus! Ya, Tuhan! Secara tidak sengaja kubaca nama pada batu nisan itu. Persis berada di bawah pohon kamboja kuning dan merah muda. Maka, berbagai perasaan pun berkecamuk di rongga dada. Secara tidak sengaja, Tuhan menunjukkan tempat peristirahatannya seperti yang diinginkan jauh sebelum meninggal. Sebuah makam diteduhi pohon kamboja beraneka warna: putih, kuning, merah muda, dan pink!

(In memoriam, mengenang empat tahun kepulangannya ke surga.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun