Melaksanakan program reforma agraria guna menjamin kepastian hukum atas kepemilikan lahan dan menciptakan keadilan sosial merupakan salah satu tugas Badan Bank Tanah (BBT).
Yuk, kita ulas.
Kita awali dari Perang Jawa yang berkecamuk pada 1825-1830. Perang ini diakibatkan kesewenangan Belanda yang memasang patok tanah tanpa izin. Patok ini juga melintasi makam leluhur dan kediaman nenek Raden Mas Ontowirjo alias Pangeran Diponegoro.
Tak terima ulah Belanda memasang patok tanah dan merencanakan pembongkaran makam leluhurnya untuk pembangunan jalan serta rel kereta api, Pangeran Diponegoro menggelorakan peperangan. Perang Jawa atau Perang Diponegoro pun pecah di Jawa, termasuk Yogyakarta, Surakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Bukan hanya Perang Diponegoro yang dipicu penguasaan tanah oleh Belanda. Di Cikande, Banten, konflik pertanahan juga terjadi tahun 1830-an, hingga meletupkan gerakan perlawanan rakyat. Perlawanannya dipicu tidak tuntasnya legalitas pengalihan tanah di Cikande Udik dan Ilir dari perusahaan Inggris kepada masyarakat. Belanda pun mencuri untung dengan menguasai tanah tersebut. Menariknya, perlawanan rakyat ini dipimpin seorang perempuan, Nyimas Gamparan.
Dua perjuangan melawan Belanda itu menegaskan, konflik agraria sangat eksplosif. Bagaimana kondisi konflik agraria saat ini?
Catatan Akhir Tahun 2024 Ombudsman Republik Indonesia (ORI) bisa menjawab pertanyaan tersebut. Karena, dari 10 substansi laporan yang paling banyak diadukan masyarakat, terbanyak adalah masalah Agraria dengan 1.865 laporan (17,17 persen). Pada 2024, ORI menerima total 10.846 laporan masyarakat.
Untuk rincian konflik agrarianya, kita bisa mengulik Catatan Akhir Tahun 2024 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Tercatat, ada 295 konflik agraria yang mencakup tanah seluas 1.113.577,47 hektare. Konflik ini berdampak pada 67.436 keluarga di 349 desa.
Angka konflik agraria 2024 itu naik 21 persen dibandingkan tahun sebelumnya dengan 241 kasus. Sektor perkebunan menjadi penyumbang konflik agraria tertinggi dengan 111 kasus, sektor infrastruktur 79 kasus, dan sektor pertambangan 41 kasus.
Konflik agraria juga menyebabkan ratusan kasus kekerasan dan kriminalisasi. Selama 2024, ada 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi akibat keterlibatan aparat di wilayah konflik agraria.
Berdasarkan sebarannya, konflik agraria terjadi di 34 provinsi dari 38 provinsi. Sulawesi Selatan menempati posisi terbanyak dengan 37 kasus, Sumatra Utara (32), Kalimantan Timur (16), Jawa Barat (16), Jawa Timur (15), Sulawesi Tengah (13), Sumatra Barat (12), Sumatra Selatan (11), DKI Jakarta (11), dan Jambi (10).
Menariknya, KPA menemukan korelasi, provinsi yang banyak kasus konflik agrarianya semakin memperbanyak juga tingkat kemiskinan penduduknya.Â
Bila menyimak daftar Badan Pusat Statistik (BPS) tentang 20 Provinsi Termiskin di Indonesia per Maret 2024, tercantum Jawa Timur yang memiliki 3,9 juta penduduk miskin, Sumatra Utara (1,2 juta penduduk), Sumatra Selatan (984 ribu penduduk), DKI Jakarta (464 ribu penduduk), dan Sumatra Barat dengan 345 ribu penduduk miskin.
KPA pun menyerukan penyelesaian konflik agraria harus diarahkan dalam kerangka reforma agraria. Ini untuk memenuhi dan memulihkan hak atas tanah, serta mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.
Pemerintah sejatinya berkomitmen mewujudkan reforma agraria. Di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, program reforma agraria dilaksanakan dengan membentuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan menyelesaikan sengketa tanah di Indonesia.
Begitu pula di era Presiden Joko Widodo. Saat memimpin Rapat Terbatas tentang Reformasi Agraria pada Agustus 2016, Jokowi menyampaikan, "Semangat reforma agraria adalah terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, wilayah, dan sumber daya alam."
Kini, di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, reforma agraria bahkan dimasukkan kedalam delapan misi utama pemerintah atau Asta Cita kedua dibawah Program Swasembada Pangan. Kutipannya: "Menjalankan agenda reformasi agraria untuk memperbaiki kesejahteraan petani dalam arti luas sekaligus mendukung peningkatan produksi di sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan."
Dalam upaya melaksanakan reforma agraria juga, dibentuklah BBT pada 29 April 2021 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021. BBT dibentuk guna menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan sosial dan keadilan. Terkait reforma agraria, BBT berperan memberi kepastian hukum atas kepemilikan lahan.
Fungsi BBT lainnya adalah membantu pemerataan ekonomi, meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber daya agraria, dan menciptakan keadilan sosial.
Implementasinya? BBT diberi kewajiban mengalokasikan 30 persen aset lahannya untuk reforma agraria atau penggunaan sumber daya agraria demi kepentingan rakyat.
Hingga penghujung 2024, total aset lahan BBT mencapai 33.115,6 hektare yang tersebar di 45 kabupaten/kota. Tahun ini, BBT menargetkan penambahan aset lahan seluas 140.000 hektare.
Aset lahan BBT diperoleh dari tanah telantar, tanah bekas hak, tanah bekas tambang, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya, hingga tanah pelepasan hutan.
Di satu kesempatan, Kepala BBT Parman Nataatmadja mengungkapkan, sebanyak 59 persen lahan (di luar kawasan hutan) di Indonesia dikuasai oleh satu persen penduduk. Mereka ini biasa disebut orang ultra kaya atau konglomerat.
Fenomena ini turut menjadi dasar pemerintah membentuk BBT sebagai Badan Hukum Indonesia yang bersifat sui generis untuk menyediakan dan mengelola tanah negara. "Jangan sampai anak cucu kita nanti, tinggal di lahan-lahan konglomerat. Tinggal tentunya di lahan-lahan mereka sendiri yaitu melalui reforma agraria," ujar Parman.
Ketimpangan lahan memang menjadi target yang harus dientaskan melalui reforma agraria dan redistribusi lahan. Harus! Karena, banyaknya jumlah konflik lahan terbukti ikut mendorong angka penduduk miskin.
Kondisi ebaliknya, terjadi dengan redistribusi lahan. Hasil riset Jefri Adriansyah dan Yohanna M Lidya Gultom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI yang dimuat Jurnal Agraria dan Pertanahan BHUMI, November 2022 menyimpulkan, redistribusi lahan lebih dari 0,5 hektare akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena, hal ini bertalian erat dengan mata pencaharian yang pengaruhnya signifikan terhadap tingkat pengeluaran rumah tangga.
Masalahnya? Balik lagi pada ketimpangan lahan! Sumber-sumber agraria beserta isinya, terutama tanah, air dan hutan kini dikuasai segelintir orang saja.
Data KPA menunjukkan, hingga kini 25 juta hektare tanah dikuasai pengusaha sawit, 10 juta hektare tanah dikuasai pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektare tanah dikuasai pengusaha kayu.
Sementara itu, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. BPS mencatat, dari jumlah penduduk bekerja di Indonesia yang mencapai 139,85 juta orang pada Agustus 2023, sebanyak 28,21 persen bekerja di sektor pertanian. Dari angka itu, jumlah petani gurem di Indonesia mencapai 24,12 persen atau 17,25 juta petani. Mereka ini hanya menguasai tanah kurang dari 0,1 sampai dengan 0,5 hektare, sisanya buruh tani dan tidak memiliki tanah.
Maka menjadi wajar, bila BBT menjadi tumpuan asa para petani gurem dan buruh tani untuk memperoleh redistribusi lahan dalam kerangka reforma agraria. Bukankah fungsi BBT antara lain menciptakan dan memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya agraria.
Beberapa program dan kebijakan sudah dilaksanakan BBT. Misalnya, melaksanakan reforma agraria di Cianjur, Jawa Barat, tepatnya di Desa Batulawang dan Rawabelut. Di sana, masyarakat mendapat kepastian hak atas tanah dan pendampingan dalam rangka mendorong kemandirian ekonomi masyarakat. Selain itu, dijamin tak akan ada penggusuran terhadap tempat tinggal warga dan berada di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BBT. Artinya, rumah-rumah itu akan tetap berada di lokasi eksisting.
Lain lagi dengan yang dikerjakan di Poso, Sulawesi Tengah. Lahan HPL BBT di Lembah Napu diproyeksikan menjadi lokasi investasi pengembangan industri sapi perah terintegrasi.
Di sisi lain, BBT juga berkolaborasi dengan para pihak terkait dalam menyediakan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain di Kendal, Jawa Tengah penyediaan perumahan layak bagi MBR juga sudah dilakukan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. BBT berperan menyediakan tanah yang menjadi lokasi pembangunan rumah. Diharapkan, kolaborasi ini bisa mengatasi krisis kebutuhan kepemilikan rumah (backlog) di Indonesia. Data Kementerian PUPR mengungkapkan, saat ini dibutuhkan 12,7 juta unit rumah untuk mewujudkan Indonesia zero backlog.
Sambil mengapresiasi kerja dan kinerja BBT, patutlah sejumlah hal berikut menjadi perhatian:
Pertama, BBT harus meningkatkan kinerja dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Transparansi bisa dilakukan melalui informasi rutin terkait kerja dan kebijakan yang disampaikan melalui situs resmi maupun kanal-kanal media sosial milik BBT. Misalnya tentang capaian perolehan lahan oleh BBT yang diperbarui secara berkala, hingga pemanfaatan lahan milik BBT baik melalui program, redistribusi lahan, kerja sama pemanfaatan lahan, pemberian kepastian kepemilihan tanah, dan rencana kerja pemanfaatan lahan di atas HPL BBT. Â Â
Kedua, ikut mendorong terciptanya regulasi yang lebih kokoh terkait pelaksanaan reforma agraria. Karena bisa dibilang, Undang-Undang tentang Pokok Agraria yang dilahirkan pada 1960 hanya mengatur prinsip mendasar atau mirip Do's & Don'ts. Misalnya, prinsip keadilan, kemanusiaan, kedaulatan bangsa, fungsi sosial atas tanah, anti-penelantaran tanah, anti-monopoli usaha swasta dan lainnya.
Ketiga, memiliki bank data agraria termasuk peta kerawanan konflik dan sengketa lahan yang up to date. Bank data ini juga berisi daftar potensi sumber lahan, dan daftar wilayah terbanyak kasus-kasus ketimpangan kepemilikan lahannya. Kenapa? Karena, selain bisa dijadikan panduan agar BBT tidak terlibat konflik maupun sengketa lahan, analisis bank data itu juga untuk memastikan bahwa legalitas sumber lahan yang (akan) menjadi milik BBT dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat, kepentingan rakyat harus selalu menjadi prioritas dalam setiap implementasi tugas dan fungsi BBT. Pemanfaatan tanah di atas HPL BBT yang berorientasi keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat akan menghapus stigma yang mendiskreditkan BBT. Misalnya, menganggap BBT mendorong pasar tanah bebas untuk kebutuhan pengadaan tanah bagi proyek yang hanya mendatangkan cuan.
Poin keempat penting diingatkan, karena BBT menjalankan program kerja sama pemanfaatan lahan dengan pihak lain melalui Jual Beli; Sewa; Kerja Sama Usaha; Hibah; Tukar menukar; dan Bentuk lain yang disepakati.
Kelima, dalam setiap pekerjaan "memperoleh, memiliki, dan mendistribusikan lahan" BBT juga harus berbasis Hak Asasi Manusia. Apalagi bila akhirnya terjadi sengketa lahan. Maka tak patut ada pelanggaran HAM.
Maju terus Badan Bank Tanah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI