Implementasinya? BBT diberi kewajiban mengalokasikan 30 persen aset lahannya untuk reforma agraria atau penggunaan sumber daya agraria demi kepentingan rakyat.
Hingga penghujung 2024, total aset lahan BBT mencapai 33.115,6 hektare yang tersebar di 45 kabupaten/kota. Tahun ini, BBT menargetkan penambahan aset lahan seluas 140.000 hektare.
Aset lahan BBT diperoleh dari tanah telantar, tanah bekas hak, tanah bekas tambang, tanah timbul, tanah hasil reklamasi, tanah pulau-pulau kecil, tanah yang terkena kebijakan perubahan tata ruang, tanah yang tidak ada penguasaan di atasnya, hingga tanah pelepasan hutan.
Di satu kesempatan, Kepala BBT Parman Nataatmadja mengungkapkan, sebanyak 59 persen lahan (di luar kawasan hutan) di Indonesia dikuasai oleh satu persen penduduk. Mereka ini biasa disebut orang ultra kaya atau konglomerat.
Fenomena ini turut menjadi dasar pemerintah membentuk BBT sebagai Badan Hukum Indonesia yang bersifat sui generis untuk menyediakan dan mengelola tanah negara. "Jangan sampai anak cucu kita nanti, tinggal di lahan-lahan konglomerat. Tinggal tentunya di lahan-lahan mereka sendiri yaitu melalui reforma agraria," ujar Parman.
Ketimpangan lahan memang menjadi target yang harus dientaskan melalui reforma agraria dan redistribusi lahan. Harus! Karena, banyaknya jumlah konflik lahan terbukti ikut mendorong angka penduduk miskin.
Kondisi ebaliknya, terjadi dengan redistribusi lahan. Hasil riset Jefri Adriansyah dan Yohanna M Lidya Gultom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI yang dimuat Jurnal Agraria dan Pertanahan BHUMI, November 2022 menyimpulkan, redistribusi lahan lebih dari 0,5 hektare akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena, hal ini bertalian erat dengan mata pencaharian yang pengaruhnya signifikan terhadap tingkat pengeluaran rumah tangga.
Masalahnya? Balik lagi pada ketimpangan lahan! Sumber-sumber agraria beserta isinya, terutama tanah, air dan hutan kini dikuasai segelintir orang saja.
Data KPA menunjukkan, hingga kini 25 juta hektare tanah dikuasai pengusaha sawit, 10 juta hektare tanah dikuasai pengusaha tambang, dan 11,3 juta hektare tanah dikuasai pengusaha kayu.
Sementara itu, berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2023, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. BPS mencatat, dari jumlah penduduk bekerja di Indonesia yang mencapai 139,85 juta orang pada Agustus 2023, sebanyak 28,21 persen bekerja di sektor pertanian. Dari angka itu, jumlah petani gurem di Indonesia mencapai 24,12 persen atau 17,25 juta petani. Mereka ini hanya menguasai tanah kurang dari 0,1 sampai dengan 0,5 hektare, sisanya buruh tani dan tidak memiliki tanah.