Maka menjadi wajar, bila BBT menjadi tumpuan asa para petani gurem dan buruh tani untuk memperoleh redistribusi lahan dalam kerangka reforma agraria. Bukankah fungsi BBT antara lain menciptakan dan memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya agraria.
Beberapa program dan kebijakan sudah dilaksanakan BBT. Misalnya, melaksanakan reforma agraria di Cianjur, Jawa Barat, tepatnya di Desa Batulawang dan Rawabelut. Di sana, masyarakat mendapat kepastian hak atas tanah dan pendampingan dalam rangka mendorong kemandirian ekonomi masyarakat. Selain itu, dijamin tak akan ada penggusuran terhadap tempat tinggal warga dan berada di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BBT. Artinya, rumah-rumah itu akan tetap berada di lokasi eksisting.
Lain lagi dengan yang dikerjakan di Poso, Sulawesi Tengah. Lahan HPL BBT di Lembah Napu diproyeksikan menjadi lokasi investasi pengembangan industri sapi perah terintegrasi.
Di sisi lain, BBT juga berkolaborasi dengan para pihak terkait dalam menyediakan perumahan layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Selain di Kendal, Jawa Tengah penyediaan perumahan layak bagi MBR juga sudah dilakukan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. BBT berperan menyediakan tanah yang menjadi lokasi pembangunan rumah. Diharapkan, kolaborasi ini bisa mengatasi krisis kebutuhan kepemilikan rumah (backlog) di Indonesia. Data Kementerian PUPR mengungkapkan, saat ini dibutuhkan 12,7 juta unit rumah untuk mewujudkan Indonesia zero backlog.
Sambil mengapresiasi kerja dan kinerja BBT, patutlah sejumlah hal berikut menjadi perhatian:
Pertama, BBT harus meningkatkan kinerja dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas. Transparansi bisa dilakukan melalui informasi rutin terkait kerja dan kebijakan yang disampaikan melalui situs resmi maupun kanal-kanal media sosial milik BBT. Misalnya tentang capaian perolehan lahan oleh BBT yang diperbarui secara berkala, hingga pemanfaatan lahan milik BBT baik melalui program, redistribusi lahan, kerja sama pemanfaatan lahan, pemberian kepastian kepemilihan tanah, dan rencana kerja pemanfaatan lahan di atas HPL BBT. Â Â
Kedua, ikut mendorong terciptanya regulasi yang lebih kokoh terkait pelaksanaan reforma agraria. Karena bisa dibilang, Undang-Undang tentang Pokok Agraria yang dilahirkan pada 1960 hanya mengatur prinsip mendasar atau mirip Do's & Don'ts. Misalnya, prinsip keadilan, kemanusiaan, kedaulatan bangsa, fungsi sosial atas tanah, anti-penelantaran tanah, anti-monopoli usaha swasta dan lainnya.
Ketiga, memiliki bank data agraria termasuk peta kerawanan konflik dan sengketa lahan yang up to date. Bank data ini juga berisi daftar potensi sumber lahan, dan daftar wilayah terbanyak kasus-kasus ketimpangan kepemilikan lahannya. Kenapa? Karena, selain bisa dijadikan panduan agar BBT tidak terlibat konflik maupun sengketa lahan, analisis bank data itu juga untuk memastikan bahwa legalitas sumber lahan yang (akan) menjadi milik BBT dapat dipertanggungjawabkan.
Keempat, kepentingan rakyat harus selalu menjadi prioritas dalam setiap implementasi tugas dan fungsi BBT. Pemanfaatan tanah di atas HPL BBT yang berorientasi keadilan sosial, pemerataan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat akan menghapus stigma yang mendiskreditkan BBT. Misalnya, menganggap BBT mendorong pasar tanah bebas untuk kebutuhan pengadaan tanah bagi proyek yang hanya mendatangkan cuan.