------
Kini aku tengah menyamar sebagai orang biasa yang berkeliling di pusat perbelanjaan. Aku tengah mengenakan pakaian sederhana dan sebuah kain yang membebat separuh dari wajahku. Hanya kedua mata elangku yang masih terlihat. Puluhan wanita yang kulewati berusaha menggodaku entah apakah karena tubuhku yang kekar dan tegap hingga mereka menjadi kewalahan menahan birahi.
Aku sering melakukan penyamaran seperti ini hanya untuk sekedar berkeliling melihat beberapa kelakuan licik dan liar beberapa penduduk kerajaan. Ayahanda selalu menanamkan pada benakku jika keadilan terkadang tidak tersampaikan kepada seluruh ujung jari setiap orang. Jadi semenjak aku remaja, aku selalu melakukan kegiatanku ini. Hanya aku dan ayahanda yang mengetahui.
Mataku beralih pada sebuah kedai yang menjual berbagai perhiasan rambut. Ku raih salah satu sisir cantik berhiaskan berlian dan terbuat dari bahan emas. Sungguh Samahita pasti akan merasa sangat gembira jika aku hadiahkan barang secantik ini.
Aku mengambil sisir dan menukarnya dengan sekantong emas. Penjual itu tergopoh dan bersujud di kakiku setelah mendapat kantong berisi kepingan emas itu. Aku langsung berjalan meninggalkan tempat itu, merasa takut jika menarik banyak perhatian.
Langkahku terhenti ketika telingaku menangkap lengkingan manja yang terdengar tidak asing di pojok kedai kosong tidak jauh dari tempat aku berdiri. Mataku mencelos mendapati Samahita sedang bercumbu dan bergelayut manja pada badan cungkring pria yang berada di hadapannya.
Dan demi Tuhan!
Pria itu adalah Tanwira. Sahabatku sendiri yang dengan beraninya mengenggam pinggang ramping Samahita. Aku meremat kencang sisir cantik tang tengah aku genggam sedari tadi. Darah berkucuran dari telapak tangan. Kulemparkan sembarang sisir itu dengan segenap emosi yang aku miliki. Dengan napas yang memburu, kukendarai kudaku dengan kencang.
Sesampainya di kerajaan, aku melepaskan kain yang menutupi separuh wajahku. Aku tidak peduli dengan pandangan dari para pembersih aula istana.
Aku menghadap di hadapan ayahanda dengan hati yang hancur lebur. Ayahanda turun dari singgasana tempat beliau duduk. Ayahanda menenangkanku dengan pelukan hangat kepadaku yang menangis meraung-raung merasakan patah hati. Memeluk putra semata wayangnya yang tengah dirundung kekelaman.
Sungguh aku menyadari telah dua purnama aku jarang menemui Samahita karena kesibukanku menyiapkan persiapan untuk penyambutan dari kunjungan negeri seberang. Namun kacaunya aku sekarang sebab ternyata Samahita yang begitu sabar dan tenang menungguku hanya karena dia juga telah memiliki pria lain di hidupnya.