Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Ambu Tiada

1 Januari 2025   13:56 Diperbarui: 1 Januari 2025   13:56 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dokumen pribadi by Canva

Suara petir menyambar keras seolah suaranya berada di ujung kepala Aisyah. Sejak semalam hujan mengguyur bumi tak berhenti, menghadirkan udara dingin yang menggigit kulit. Jarum jam menunjukkan angka dua. Aisyah bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan salat malam. Kebiasaan yang selalu dilakukannya bersama Ambu sejak SMP.

Sudah dua bulan kepergian Ambu, Aisyah tetap merasa jika ibunya tetap hadir bersama dengannya. Setiap sudut rumah seakan menyimpan jejak keberadaan Ambu. Wangi minyak kayu putih yang biasa Ambu gunakan masih samar tercium di kamar. Suara langkah pelan Ambu saat menuju dapur seperti menggema kembali di tengah malam. Bahkan, suara halusnya yang mengingatkan Aisyah untuk selalu menjaga salat, masih terdengar jelas di telinga.

Namun, semua itu hanya kenangan. Realitanya, Ambu telah tiada, dan rumah ini terasa jauh lebih sepi, lebih kosong tanpa canda tawa ibunya. Setiap kali Aisyah menyentuh kain selimut Ambu yang masih terlipat rapi di kamar, ada perasaan pedih yang menggigit hati. Seakan semua benda itu menjadi saksi bisu atas kasih sayang yang tak pernah surut, hingga detik-detik terakhir Ambu.

"Ambu... kenapa Kang Dana harus seperti ini?" gumam Aisyah seraya memeluk tasbih di tangannya erat-erat. "Bukankah keluarga seharusnya saling menjaga, bukan saling menghancurkan?"

Hamid, yang duduk di sudut ruangan, menatap Aisyah dengan pandangan sayu. Meski ia tidak mengucapkan sepatah kata, ia tahu luka yang dirasakan adiknya sama dengan apa yang dirasakannya. Hati mereka tercabik, bukan hanya oleh kepergian Ambu, tetapi oleh jurang yang kian lebar antara mereka dan Kang Dana.

Di tengah kesedihan itu, Aisyah berusaha menguatkan diri. Ia percaya, di balik setiap musibah pasti ada hikmah yang Allah titipkan. Tetapi, ketika ia menatap hamparan sertifikat tanah yang kini tersimpan di tangannya, Aisyah tahu, jalan menuju perdamaian dalam keluarga mereka masih panjang dan penuh liku.

Peristiwa yang terjadi dua minggu sebelum kepergian Ambu, berkelebat dalam memorinya, menyisakan lara yang tak bertepi untuk Aisyah dan Hamid.

"Aku ingin sertifikat tanah bapak yang satu hektar itu, Bu. Bapak sudah mewariskannya kepadaku," ujar Kang Dana seraya menatap ibu tajam.

"Anak bapak bukan hanya kamu . Ada Hamid dan Aisyah adikmu. Mereka juga harus dipikirkan . Lagi pula apakah ada bukti tertulis, almarhum bapak mewariskan semua  tanah itu padamu?" Ibu memandang lembut putra sulungnya.

"Ibu bilang Hamid dan Aisyah berhak atas warisan bapak? Mereka hanya anak angkat, Bu!" teriak Kang Dana tinggi.

"Maaf, Kang. Bisa tidak sopan saeutik. Ambu itu ibu kandung Akang," ujar Hamid yang sejak tadi diam melihat kelakuan Kang Dana yang tidak sopan pada Ambu.

"Diam kamu. Tong loba bacot!" Kang Dana membentak Hamid sambil menunjuk wajahnya," Kamu cuma anak angkat yang tak tahu diri."

Wajah Hamid tampak merah mendengar hinaan Kang Dana. Tangannya terkepal menahan amarah yang akan meledak. Aisyah tahu kalau Hamid akan mampu melawan Kang Dana, tetapi Hamid memilih untuk menahan emosinya.

"Sudah! Sudah, tidak pantas kalian bertengkar," lirih suara Ambu melerai kedua anaknya yang berseteru hebat gegara warisan.

Tangan Ambu tampak tremor, dan wajahnya pucat pasi. Tubuhnya terkulai lemas di kursi goyang peninggalan Abah Somad.

"Cukup! Sudah Kang Dana, A Hamid. Lihat keadaan Ambu," lerai Aisyah seraya memeluk Ambu.

"Ayo, kita istirahat di kamar Ambu," ajak Hamid sambil membantu Ambu berdiri. Pelan-pelan kami membawa Ambu ke kamar, meninggalkan Kang Dana yang masih berwajah seram gegara emosi.

Sejak itu kesehatan Ambu semakin menurun. Aisyah merawat dengan sabar dan telaten. Ambu  tidak mau dirawat di rumah sakit. Untunglah Hamid~anak angkat yang pandai dan sukses sebagai dokter~ bertugas di kota yang sama sehingga bisa merawat Ambu.

Namun, kesehatan Ambu semakin lama semakin mengkhawatirkan. Hingga malam itu, Ambu memberitahu Aisyah sertifikat tanah yang diinginkan Kang Dana.

"Ibu berharap kamu bisa menyimpan surat ini, Neng. Kalau ibu sudah tiada. Ambu harap kamu bisa jadi penengah buat Dana dan Hamid. Bagilah rata meskipun kalian bukan anak kandung kami."

"Ambu, jangan bicara begitu, atuh. Ambu harus semangat sembuh. Neng tidak mau ditinggal sama Ambu." Aisyah memeluk Ambu sambil menahan air mata yang akan menetes.

Suara hujan semakin deras, seakan menambah berat beban di dada Aisyah. Surat itu kini ada di tangannya. Sebuah tanggung jawab besar yang Ambu titipkan tepat sebelum kesehatannya memburuk. Aisyah memandang wajah Ambu yang tertidur lemah, napasnya tersengal-sengal seperti merangkai detik demi detik terakhir.

Pagi itu, Kang Dana datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Langkahnya berat, namun penuh dengan tekad. Hamid yang baru saja pulang dari rumah sakit menatapnya dengan tatapan dingin. Aisyah yang mendengar suara pintu dibuka kasar segera keluar dari kamar Ambu.

"Kang Dana, ada apa datang sepagi ini?" tanya Aisyah dengan suara tenang, meski dalam hatinya ada gelombang yang tak menentu.

"Aku mau ambil surat tanah itu sekarang!" jawab Kang Dana tanpa basa-basi, wajahnya penuh tekad.

Hamid menahan diri, tetapi kali ini amarahnya mulai memuncak. "Kang, Ambu belum..."

"Aku tidak peduli! Jangan sok suci di sini. Aku tahu kalian berdua hanya ingin mengambil hakku!" potong Kang Dana kasar.

Aisyah mencoba menengahi. "Kang, ini bukan saatnya bicara soal itu. Ambu..."

"Diam! Mana surat itu? Kalau kalian tidak mau kasih, aku akan cari sendiri!" Kang Dana melewati Aisyah dan menuju kamar Ambu.

"Berhenti, Kang!" Hamid menarik bahu Kang Dana, menghentikan langkahnya. Ketegangan di antara mereka seperti bom yang siap meledak.

Namun sebelum keributan itu membesar, terdengar suara Ambu dari dalam kamar, lirih tetapi jelas. "Dana... Hamid... Aisyah..."

Ketiganya segera masuk ke kamar. Ambu membuka matanya dengan susah payah. Napasnya terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk berbicara.

"Dana, nak... Ambu mohon... jangan bertengkar lagi," kata Ambu dengan suara parau. "Harta bukan segalanya... Kalian... keluarga..."

Air mata Aisyah tidak bisa lagi ditahan. "Ambu, istirahat saja. Jangan memaksakan diri," pintanya sambil menggenggam tangan Ambu yang semakin dingin.

Ambu menatap ketiga anaknya dengan penuh cinta. "Dana, Hamid, Aisyah... Ambu ingin kalian rukun. Jangan ada dendam... Jangan ada yang serakah... Ambu mohon..."

Kang Dana tampak terdiam, wajahnya menyiratkan rasa bersalah. Hamid menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir. Namun, saat itu pula napas Ambu terhenti. Mata Ambu menutup perlahan, meninggalkan keheningan yang begitu menusuk.

"Ambu!" teriak Aisyah, memeluk tubuh Ambu yang kini dingin. Hamid segera memeriksa denyut nadinya, tetapi ia hanya bisa menggelengkan kepala. "Ambu sudah tenang, Neng..."

Kesedihan menyelimuti ruangan itu. Kang Dana jatuh terduduk di sudut kamar, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Hujan di luar seperti menjadi saksi bisu kepergian Ambu, sementara di dalam hati masing-masing anaknya, ada rasa kehilangan yang tak tergantikan.

Aisyah memandang surat yang masih digenggamnya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Kita tidak akan membagi ini dengan kebencian, Kang. Kita akan melakukannya seperti yang Ambu inginkan... dengan cinta."

Namun, dalam hati Aisyah, ia tahu bahwa perjalanan untuk memenuhi keinginan Ambu akan penuh duri. Kang Dana mungkin masih sulit menerima kenyataan, tetapi Aisyah bertekad untuk menjaga amanah itu, meskipun kini ia harus melangkah tanpa Ambu di sisinya.

Hujan akhirnya berhenti, tetapi di hati Aisyah, badai itu masih bergemuruh, membawa kenangan tentang Ambu yang selalu menjadi cahaya dalam hidupnya.

Sejak kepergian Ambu, suasana rumah berubah dingin. Bukan karena hujan yang terus mengguyur, tetapi karena sikap Kang Dana yang semakin keras. Beberapa hari setelah pemakaman, Kang Dana mengumpulkan Aisyah dan Hamid di ruang tamu. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi.

"Saya sudah pikirkan baik-baik," ujar Kang Dana, membuka percakapan. "Mulai hari ini, kalian harus pergi dari rumah ini. Rumah ini milik bapak, dan bapak mewariskannya ke saya."

Aisyah tertegun. "Kang, apa maksud Akang? Rumah ini rumah kita bersama. Kita tinggal di sini sejak kecil, bareng Ambu dan Abah..."

"Ambu mungkin menerima kalian seperti anak sendiri, tapi kenyataannya kalian bukan darah daging bapak atau ibu!" suara Kang Dana meninggi. "Saya yang berhak atas rumah ini. Kalian tidak punya hak apa pun!"

Hamid berdiri, menatap kakaknya dengan mata penuh luka. "Kang, ini bukan soal darah. Ambu dan Abah sudah menjadikan kita keluarga. Jangan menghancurkan itu hanya karena harta."

"Cukup!" Kang Dana membentak, menunjuk pintu depan. "Kalau kalian tidak pergi sendiri, saya yang akan mengusir kalian!"

Aisyah menangis. Ia tidak pernah menyangka Kang Dana, yang dulu selalu melindungi mereka saat kecil, kini berubah menjadi orang yang begitu asing. Hamid, yang mencoba tetap tenang, menggenggam tangan Aisyah. "Kita pergi, Neng. Kalau ini yang Kang Dana mau, kita tidak akan memaksa."

Keduanya meninggalkan rumah itu dengan hati berat, hanya membawa beberapa pakaian dan barang yang bisa mereka bawa dalam satu tas. Di depan rumah, Aisyah menoleh sekali lagi, berharap Kang Dana akan berubah pikiran, tetapi pintu sudah tertutup rapat.

Mereka tinggal di rumah Hamid yang dicicilnya dari gajinya sebagai dokter. Beberapa minggu berlalu. Meski tidak besar, rumah itu dapat membuat mereka merasa lebih tenang. Namun, dalam hatinya, Aisyah tidak bisa melupakan perlakuan Kang Dana.

Sementara itu, Kang Dana tinggal bersama keluarganya di rumah peninggalan Abah. Ia merasa puas karena telah mengambil apa yang menurutnya adalah haknya. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Aisyah mendengar jika kebun seluas satu hektar itu pun sudah dijual Kang Dana.

Suatu malam, isterinya menemukan Kang Dana tergeletak di koridor dengan mata terbuka, menatap kosong ke arah kursi goyang yang kini bergoyang perlahan. Menurut isterinya,  ia mendengar Kang Dana berteriak-teriak dan memanggil nama Ambu.

Kabar kematian Kang Dana sampai ke telinga Aisyah dan Hamid. Meski luka di hati mereka belum sembuh, Aisyah tidak bisa menahan air matanya. "Kang Dana pergi dengan cara seperti ini... Mungkin ini hukuman atas apa yang ia lakukan."

Hamid hanya mengangguk pelan. Ia menatap langit yang mendung, memikirkan kenangan keluarga mereka yang pernah utuh. Dalam hatinya, ia berdoa agar Kang Dana menemukan kedamaian di tempat lain, meski di dunia ini ia meninggalkan luka yang dalam.

Setelah kematian Kang Dana, isteri dan anak-anaknya pindah ke rumah lama mereka. Kini, rumah itu kosong, hanya dihuni oleh bayang-bayang masa lalu. Hujan masih terus turun, seperti tangisan Ambu yang meratapi kehancuran keluarganya.

Catatan

Ambu: ibu

Tong loba bacot: Jangan banyak bicara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun