Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Ambu Tiada

1 Januari 2025   13:56 Diperbarui: 1 Januari 2025   13:56 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dokumen pribadi by Canva

"Dana, nak... Ambu mohon... jangan bertengkar lagi," kata Ambu dengan suara parau. "Harta bukan segalanya... Kalian... keluarga..."

Air mata Aisyah tidak bisa lagi ditahan. "Ambu, istirahat saja. Jangan memaksakan diri," pintanya sambil menggenggam tangan Ambu yang semakin dingin.

Ambu menatap ketiga anaknya dengan penuh cinta. "Dana, Hamid, Aisyah... Ambu ingin kalian rukun. Jangan ada dendam... Jangan ada yang serakah... Ambu mohon..."

Kang Dana tampak terdiam, wajahnya menyiratkan rasa bersalah. Hamid menunduk, mencoba menahan air mata yang mulai mengalir. Namun, saat itu pula napas Ambu terhenti. Mata Ambu menutup perlahan, meninggalkan keheningan yang begitu menusuk.

"Ambu!" teriak Aisyah, memeluk tubuh Ambu yang kini dingin. Hamid segera memeriksa denyut nadinya, tetapi ia hanya bisa menggelengkan kepala. "Ambu sudah tenang, Neng..."

Kesedihan menyelimuti ruangan itu. Kang Dana jatuh terduduk di sudut kamar, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Hujan di luar seperti menjadi saksi bisu kepergian Ambu, sementara di dalam hati masing-masing anaknya, ada rasa kehilangan yang tak tergantikan.

Aisyah memandang surat yang masih digenggamnya. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Kita tidak akan membagi ini dengan kebencian, Kang. Kita akan melakukannya seperti yang Ambu inginkan... dengan cinta."

Namun, dalam hati Aisyah, ia tahu bahwa perjalanan untuk memenuhi keinginan Ambu akan penuh duri. Kang Dana mungkin masih sulit menerima kenyataan, tetapi Aisyah bertekad untuk menjaga amanah itu, meskipun kini ia harus melangkah tanpa Ambu di sisinya.

Hujan akhirnya berhenti, tetapi di hati Aisyah, badai itu masih bergemuruh, membawa kenangan tentang Ambu yang selalu menjadi cahaya dalam hidupnya.

Sejak kepergian Ambu, suasana rumah berubah dingin. Bukan karena hujan yang terus mengguyur, tetapi karena sikap Kang Dana yang semakin keras. Beberapa hari setelah pemakaman, Kang Dana mengumpulkan Aisyah dan Hamid di ruang tamu. Wajahnya dingin, tanpa ekspresi.

"Saya sudah pikirkan baik-baik," ujar Kang Dana, membuka percakapan. "Mulai hari ini, kalian harus pergi dari rumah ini. Rumah ini milik bapak, dan bapak mewariskannya ke saya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun