Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Ambu Tiada

1 Januari 2025   13:56 Diperbarui: 1 Januari 2025   13:56 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dokumen pribadi by Canva

Aisyah tertegun. "Kang, apa maksud Akang? Rumah ini rumah kita bersama. Kita tinggal di sini sejak kecil, bareng Ambu dan Abah..."

"Ambu mungkin menerima kalian seperti anak sendiri, tapi kenyataannya kalian bukan darah daging bapak atau ibu!" suara Kang Dana meninggi. "Saya yang berhak atas rumah ini. Kalian tidak punya hak apa pun!"

Hamid berdiri, menatap kakaknya dengan mata penuh luka. "Kang, ini bukan soal darah. Ambu dan Abah sudah menjadikan kita keluarga. Jangan menghancurkan itu hanya karena harta."

"Cukup!" Kang Dana membentak, menunjuk pintu depan. "Kalau kalian tidak pergi sendiri, saya yang akan mengusir kalian!"

Aisyah menangis. Ia tidak pernah menyangka Kang Dana, yang dulu selalu melindungi mereka saat kecil, kini berubah menjadi orang yang begitu asing. Hamid, yang mencoba tetap tenang, menggenggam tangan Aisyah. "Kita pergi, Neng. Kalau ini yang Kang Dana mau, kita tidak akan memaksa."

Keduanya meninggalkan rumah itu dengan hati berat, hanya membawa beberapa pakaian dan barang yang bisa mereka bawa dalam satu tas. Di depan rumah, Aisyah menoleh sekali lagi, berharap Kang Dana akan berubah pikiran, tetapi pintu sudah tertutup rapat.

Mereka tinggal di rumah Hamid yang dicicilnya dari gajinya sebagai dokter. Beberapa minggu berlalu. Meski tidak besar, rumah itu dapat membuat mereka merasa lebih tenang. Namun, dalam hatinya, Aisyah tidak bisa melupakan perlakuan Kang Dana.

Sementara itu, Kang Dana tinggal bersama keluarganya di rumah peninggalan Abah. Ia merasa puas karena telah mengambil apa yang menurutnya adalah haknya. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Aisyah mendengar jika kebun seluas satu hektar itu pun sudah dijual Kang Dana.

Suatu malam, isterinya menemukan Kang Dana tergeletak di koridor dengan mata terbuka, menatap kosong ke arah kursi goyang yang kini bergoyang perlahan. Menurut isterinya,  ia mendengar Kang Dana berteriak-teriak dan memanggil nama Ambu.

Kabar kematian Kang Dana sampai ke telinga Aisyah dan Hamid. Meski luka di hati mereka belum sembuh, Aisyah tidak bisa menahan air matanya. "Kang Dana pergi dengan cara seperti ini... Mungkin ini hukuman atas apa yang ia lakukan."

Hamid hanya mengangguk pelan. Ia menatap langit yang mendung, memikirkan kenangan keluarga mereka yang pernah utuh. Dalam hatinya, ia berdoa agar Kang Dana menemukan kedamaian di tempat lain, meski di dunia ini ia meninggalkan luka yang dalam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun