Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Senang menulis, pembelajar, senang berbagi ilmu

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Ambu Tiada

1 Januari 2025   13:56 Diperbarui: 1 Januari 2025   13:56 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dokumen pribadi by Canva

Suara hujan semakin deras, seakan menambah berat beban di dada Aisyah. Surat itu kini ada di tangannya. Sebuah tanggung jawab besar yang Ambu titipkan tepat sebelum kesehatannya memburuk. Aisyah memandang wajah Ambu yang tertidur lemah, napasnya tersengal-sengal seperti merangkai detik demi detik terakhir.

Pagi itu, Kang Dana datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Langkahnya berat, namun penuh dengan tekad. Hamid yang baru saja pulang dari rumah sakit menatapnya dengan tatapan dingin. Aisyah yang mendengar suara pintu dibuka kasar segera keluar dari kamar Ambu.

"Kang Dana, ada apa datang sepagi ini?" tanya Aisyah dengan suara tenang, meski dalam hatinya ada gelombang yang tak menentu.

"Aku mau ambil surat tanah itu sekarang!" jawab Kang Dana tanpa basa-basi, wajahnya penuh tekad.

Hamid menahan diri, tetapi kali ini amarahnya mulai memuncak. "Kang, Ambu belum..."

"Aku tidak peduli! Jangan sok suci di sini. Aku tahu kalian berdua hanya ingin mengambil hakku!" potong Kang Dana kasar.

Aisyah mencoba menengahi. "Kang, ini bukan saatnya bicara soal itu. Ambu..."

"Diam! Mana surat itu? Kalau kalian tidak mau kasih, aku akan cari sendiri!" Kang Dana melewati Aisyah dan menuju kamar Ambu.

"Berhenti, Kang!" Hamid menarik bahu Kang Dana, menghentikan langkahnya. Ketegangan di antara mereka seperti bom yang siap meledak.

Namun sebelum keributan itu membesar, terdengar suara Ambu dari dalam kamar, lirih tetapi jelas. "Dana... Hamid... Aisyah..."

Ketiganya segera masuk ke kamar. Ambu membuka matanya dengan susah payah. Napasnya terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun