Suara hujan semakin deras, seakan menambah berat beban di dada Aisyah. Surat itu kini ada di tangannya. Sebuah tanggung jawab besar yang Ambu titipkan tepat sebelum kesehatannya memburuk. Aisyah memandang wajah Ambu yang tertidur lemah, napasnya tersengal-sengal seperti merangkai detik demi detik terakhir.
Pagi itu, Kang Dana datang ke rumah tanpa pemberitahuan. Langkahnya berat, namun penuh dengan tekad. Hamid yang baru saja pulang dari rumah sakit menatapnya dengan tatapan dingin. Aisyah yang mendengar suara pintu dibuka kasar segera keluar dari kamar Ambu.
"Kang Dana, ada apa datang sepagi ini?" tanya Aisyah dengan suara tenang, meski dalam hatinya ada gelombang yang tak menentu.
"Aku mau ambil surat tanah itu sekarang!" jawab Kang Dana tanpa basa-basi, wajahnya penuh tekad.
Hamid menahan diri, tetapi kali ini amarahnya mulai memuncak. "Kang, Ambu belum..."
"Aku tidak peduli! Jangan sok suci di sini. Aku tahu kalian berdua hanya ingin mengambil hakku!" potong Kang Dana kasar.
Aisyah mencoba menengahi. "Kang, ini bukan saatnya bicara soal itu. Ambu..."
"Diam! Mana surat itu? Kalau kalian tidak mau kasih, aku akan cari sendiri!" Kang Dana melewati Aisyah dan menuju kamar Ambu.
"Berhenti, Kang!" Hamid menarik bahu Kang Dana, menghentikan langkahnya. Ketegangan di antara mereka seperti bom yang siap meledak.
Namun sebelum keributan itu membesar, terdengar suara Ambu dari dalam kamar, lirih tetapi jelas. "Dana... Hamid... Aisyah..."
Ketiganya segera masuk ke kamar. Ambu membuka matanya dengan susah payah. Napasnya terasa berat, tetapi ia memaksakan diri untuk berbicara.