"Maaf, Kang. Bisa tidak sopan saeutik. Ambu itu ibu kandung Akang," ujar Hamid yang sejak tadi diam melihat kelakuan Kang Dana yang tidak sopan pada Ambu.
"Diam kamu. Tong loba bacot!" Kang Dana membentak Hamid sambil menunjuk wajahnya," Kamu cuma anak angkat yang tak tahu diri."
Wajah Hamid tampak merah mendengar hinaan Kang Dana. Tangannya terkepal menahan amarah yang akan meledak. Aisyah tahu kalau Hamid akan mampu melawan Kang Dana, tetapi Hamid memilih untuk menahan emosinya.
"Sudah! Sudah, tidak pantas kalian bertengkar," lirih suara Ambu melerai kedua anaknya yang berseteru hebat gegara warisan.
Tangan Ambu tampak tremor, dan wajahnya pucat pasi. Tubuhnya terkulai lemas di kursi goyang peninggalan Abah Somad.
"Cukup! Sudah Kang Dana, A Hamid. Lihat keadaan Ambu," lerai Aisyah seraya memeluk Ambu.
"Ayo, kita istirahat di kamar Ambu," ajak Hamid sambil membantu Ambu berdiri. Pelan-pelan kami membawa Ambu ke kamar, meninggalkan Kang Dana yang masih berwajah seram gegara emosi.
Sejak itu kesehatan Ambu semakin menurun. Aisyah merawat dengan sabar dan telaten. Ambu  tidak mau dirawat di rumah sakit. Untunglah Hamid~anak angkat yang pandai dan sukses sebagai dokter~ bertugas di kota yang sama sehingga bisa merawat Ambu.
Namun, kesehatan Ambu semakin lama semakin mengkhawatirkan. Hingga malam itu, Ambu memberitahu Aisyah sertifikat tanah yang diinginkan Kang Dana.
"Ibu berharap kamu bisa menyimpan surat ini, Neng. Kalau ibu sudah tiada. Ambu harap kamu bisa jadi penengah buat Dana dan Hamid. Bagilah rata meskipun kalian bukan anak kandung kami."
"Ambu, jangan bicara begitu, atuh. Ambu harus semangat sembuh. Neng tidak mau ditinggal sama Ambu." Aisyah memeluk Ambu sambil menahan air mata yang akan menetes.