Setelah Mbak Clarissa datang, kami membawanya ke rumah sakit. Sebagai guru sekaligus adik, aku punya tanggung jawab untuk menemaninya.
Gwen langsung ditangani oleh dokter dan dirujuk perawatannya di ruang ICU.
Dari kaca jendela, aku melihat tubuh Gwen dipenuhi selang di beberapa tempat. Mbak Clarissa tampak menahan tangisnya.
"Sabar, ya, Ca. Kita serahkan semuanya pada Tuhan."Aku menghibur Mbak Clarissa yang akhirnya pecah tangisnya.
Aku membiarkan dia menangis dalam dekapanku. Sejak kecil kami selalu berbagi kesedihan. Aku tahu betapa terpukulnya kakakku karena kondisi Gwen yang terus menurun.
"Menangislah, Ca. Mungkin dengan menangis, mampu mengurangi sedikit dukamu," ujarku sambil mengelus bahu Mbak Clarissa yang tampak menahan tangisnya. Dia hanya sesegukan dalam dekapanku.
Saat kami saling menguatkan, aku teringat percakapan kami dengan dokter setahun yang lalu.
"Gwen didiagnosis kena kanker hati stadium empat. Harapan hidupnya kurang lebih setahun," jelas Dokter Patrick tanpa tedeng aling- aling kepada Mbak Clarissa di ruangan dokter.
 Aku menyesal juga mendengar penjelasan dokter tanpa melihat kondisi Mbak Clarissa. Serta merta wajah Mbak Clarissa memucat. Bibirnya kelu dan tubuhnya gemetar. Tak lama tubuhnya terhuyung dan ambruk ke lantai. Aku tak sempat menangkapnya.
Sejak itu, Gwen harus bolak-balik ke dokter. Obat-obatan yang diminumnya belum tampak hasilnya. Tubuh Gwen semakin kurus karena dia sulit makan. Jika makan perutnya menolak dan akhirnya keluar lagi.
"Aunty, tubuhku seperti kerangka yang ada di lab IPA, ya?" tanya Gwen sambil menunjukkan tangannya yang hanya terbalut kulitnya yang putih.