Mohon tunggu...
Nina Sulistiati
Nina Sulistiati Mohon Tunggu... Guru - Belajar Sepanjang Hayat

Pengajar di SMP N 2 Cibadak Kabupaten Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Hati Sang Pencinta

13 Oktober 2022   08:57 Diperbarui: 13 Oktober 2022   09:01 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antologi Menapak Jejak Pengabdian. Sumber : Dok. Pri

Jejak Hati Sang Pencinta

Karya Nina Sulistiati

Cuaca yang tidak bersahabat ini membuatku kesal. Hujan deras datang dengan tiba-tiba, padahal tadi mentari membakar bumi dengan ganasnya. Aku harus berteduh karena tidak membawa jas hujan.

Aku menghentikan motorku di depan sebuah kafe dan masuk ke dalamnya. Aku mengambil tempat duduk di sudut kafe seraya memesan secangkir ekspresso.

"Wah, pasti aku terlambat," keluhku dalam hati sambil melihat jam di hand phone-ku. Ada waktu satu jam lagi untuk menunggu hujan reda. Semoga hujan deras ini tak berlangsung lama.

Aku harus mengajar di bimbel "Cerdas" siang ini. Setelah mengajar di SMP, aku mengajar juga di bimbel itu. Lumayan buat menambah uang saku dan membeli bensin.

Penyesalan datang karena aku memaksakan diri untuk membawa motor. Seandainya tadi naik angkot, pasti aku sudah sampai ke tempat bimbel. Aku memandang air hujan laksana ditumpahkan dari atas langit. Sesekali terdengar suara petir menyambar dan kilat memancarkan cahaya diiringi gemuruh.

"Maaf, Bu. Apakah Ibu bernama Ibu Listia?" sapa seseorang dari hadapanku. Aku memandang seorang pemuda yang berdiri di hadapaanku.

Baca juga: Pantun Pendidikan

Kupandangi pemuda itu dari ujung kepala sampai ke ujung sepatu. Pemuda itu menggunakan kemeja biru dan berjas biru tua matching dengan celana panjang yang dikenakannya. Di lehernya terdapat dasi garis-garis miring dengan warna dasar merah. Duh, ... gantengnya. Dia seumuran dengan anak sulungku, Adipati.

"Maaf, Bu. Benarkah Ibu ini Bu Listia. Guru di SMP 2 Cibadak?" Pertanyaan pemuda itu membuatku gelagapan.

"Iya, betul. Anda ini siapa? Kok mengenal saya?" tanyaku sambil memandangi kembali pemuda itu. Aku melihat pemuda itu mendekatiku dan mengulurkan tangannya.

"Assalamualaikum, Bu. Apa kabar?" Pemuda itu mengambil tanganku dan menciumnya. Kemudian dia duduk tepat di sampingku tanpa menunggu izin.

"Waalaikumussalam ...," jawabku ragu-ragu sambil bersikap waspada. Aku takut pemuda ini berniat jahat kepadaku.

"Ibu pasti lupa kepada saya. Saya Heru, murid Ibu di SMP." Pemuda itu menjelaskan jati dirinya, tetapi aku masih belum menangkap bayangan memori di benakku.

"Kamu alumni SMP N 2 Cibadak? Tahun berapa?" tanyaku belum yakin sambil tetap hati-hati.

"Tahun 2015, Bu. Ibu pernah menjadi wali kelas saya saat kelas dua. Saya siswa yang paling disayang ibu dan yang paling sering dikunjungi Ibu," jelas pemuda itu sambil mengharapkan aku dapat mengingatnya.

Wah, kalau sudah bicara anak yang paling disayangiku biasanya aku ingat. Artinya, siswa ini sering aku panggil karena sering berbuat ulah. Aku sering membahasakan anak-anak yang 'bandel' ini adalah anak kesayanganku karena sering aku panggil ke ruang BP. 

"Saya bahagia bisa bertemu dengan Ibu. Rencana saya akan datang ke sekolah dan mencari Ibu di sana siang ini. Untunglah saya bisa bertemu dengan Ibu di sini," ujar Heru senang.

"Ya, ... Ibu ingat sekarang. Heru yang pernah Ibu suruh menyanyikan lagu Indonesia Raya di lapangan gegara kamu sering bolos upacara, 'kan?' tanyaku meyakinkan.

"Nah, ... Ibu ingat juga akhirnya," cetus Heru sambil tertawa, "Saya senang melihat Ibu sehat."

"Alhamdulillah, Ru. Ibu sehat meski umur sudah semakin bertambah. Apa kabarmu sekarang? Bekerja di mana? Tinggal di mana?' Aku memberondong Heru dengan berbagai pertanyaan.

"Heru tinggal di Perth, Bu." Jawaban Heru yang singkat itu mampu membuatku terpana.

"Di Perth? Kok bisa?" tanyaku heran. Heru tersenyum tipis mendengar pertanyaanku yang seolah tidak percaya kepadanya. Aku tersadar dan meminta maaf pada Heru.

"Ibu minta maaf, Ru. Ibu heran saja kok kamu bisa tinggal di Perth. Bagaimana ceritanya?" Aku berkata sambil menatap Heru penuh penyesalan.

"Wajar saja jika Ibu tidak percaya. Dulu Heru memang sangat urakan dan sulit diatur. Heru selalu berulah sehingga membuat kesal para guru," tutur Heru lirih sambil memandangi taman kafe.

Aku ingat Heru memang sering membuatku pusing dengan berbagai ulah yang menjengkelkan. Sebagai wali kelas hampir setiap hari aku mendapat laporan tentang ulahnya. Kadang dia datang terlambat ke sekolah. Hari berikutnya dia ketahuan merokok di toilet siswa. Berikutnya lagi Heru kabur dari pagar belakang sekolah. Bahkan, dia terlibat tawuran dengan sekolah lain.

Sebenarnya Heru anak baik. Aku yakin sikapnya itu adalah wujud dari protes kepada kedua orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ibunya mempunyai usaha garmen yang sedang berkembang pesat. Ayahnya seorang pengusaha di bidang perminyakan dan berkantor di Singapura. Alasan yang klise dan sering terjadi. Heru broken home dan kurang perhatian.

Setiap hari Heru ditemani oleh Bi Minah, asisten rumah tangga yang selalu setia dan menuruti setiap keinginan. Mama dan Papa jarang bertemu dengannya. Untung saja Risa, adiknya memilih sekolah di pesantren sehingga dia tidak merasakan kesepian. Akhirnya Heru mencari perhatian dengan cara yang salah.

Aku mengetahui semua tentang Heru karena sering home visite ke rumahnya. Pastinya Bi Minah yang menerima kedatanganku.

"Ibu pasti sedang mengingat kembali kenakalanku, ya?" tanya Heru membuyarkan lamunanku.

 "Ya, Ibu mencoba mengingat kembali apa yang kamu lakukan dulu dan sempat membuat Ibu kehilangan akal juga. Namun saat itu, Ibu yakin kalau kamu anak yang baik." Aku memandang Heru dengan saksama.

"Ibu lihat kamu sudah berubah sekarang. Kamu sudah menjadi orang sukses rupanya," selaku sambil memegang bahu Heru.

"Alhamdulillah, Bu. Ada hal yang membuatku bisa seperti ini, yaitu kasih sayang dan perhatian Ibu saat mendidik saya. Ibu selalu menghadapi kenakalan saya dengan penuh kesabaran. Petuah Ibu menjadi suatu kekuatan buat saya."

Heru menjelaskan keadaan dirinya, "Ada satu hal yang membuat saya berpikir harus berubah. Ibu mungkin masih ingat?"

Aku mengernyitkan dahi untuk mengingat kejadian yang membuat Heru berubah drastis saat itu. Ya, ... aku ingat. Saat itu di kelas kami, Siska kehilangan uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. Uang itu akan dipakai untuk membeli buku. Rohman, ketua kelas, memberitahukan tentang peristiwa itu. Aku segera menuju kelas.

Saat itu aku berdiri di depan kelas dan kupandangi anak-anak di kelas itu untuk melihat bahasa tubuh mereka. Namun, aku tak melihat keganjilan di wajah mereka atau gerak-gerik tubuh mereka yang mencurigakan. Kemudian aku berbicara tentang kejujuran. Aku berharap hati mereka terketuk dan si pelaku mau jujur kepadaku. Kelas hening.

"Geledah saja, Bu!" ujar Rohman kepadaku, "Biar ada efek jera bagi mereka yang mengambil uang orang lain."

"Okelah! Sekarang semua berdiri di samping bangku kalian. Kemudian balikkan tubuh kalian ke arah tembok belakang dan pejamkan mata kalian. Jangan berani membuka mata kalian sebelum Ibu suruh," perintahku tegas.

Semua berdiri dan membalikkan badan sesuai perintahku. Mata mereka terpejam. Dengan cepat aku membuka tas anak-anak dan memeriksa kolong meja mereka. Hampir setengah kelas aku geledah, aku masih belum menemukan uang itu. Memang jarang anak-anak membawa uang sebesar itu, kecuali untuk membeli buku. Jadi, jika ada yang membawa uang sebesar itu pasti patut dicurigai.

Tibalah aku menggeledah tas Heru dan kolong mejanya. Di kolong meja tak kutemukan uang itu, tetapi di dalam tas aku menemukan amplop bertuliskan nama Siska dan di dalamnya ada uang sebesar seratus lima puluh ribu rupiah. Kemudian aku juga menemukan dompet Heru yang di dalamnya ada uang sebesar satu juta rupiah, kartu ATM atas namanya, dan kartu kredit. Mungkin memang orang tuanya membekali uang untuk memenuhi kebutuhan Heru. Akan tetapi, untuk apa Heru mengambil uang Siska? Mengapa ia mencuri uang itu? Perasaanku saat itu dipenuhi keraguan.

Aku melanjutkan pencarian di tas anak-anak lain dan tak kutemukan apa pun di tas mereka.

"Ya, silakan buka mata kalian, dan duduk kembali ke kursi kalian masing-masing. Sejenak kelas gaduh. Mereka berbisik dan bertanya-tanya tentang hasil penggeledahanku.

"Bagaimana hasilnya, Bu. Apakah ditemukan uang Siska di salah satu tas kami?" Rohman bertanya penuh selidik. Semua anak di kelas itu pun menuntut jawabanku kecuali Heru yang berpura-pura menuliskan sesuatu di bukunya.

"Ibu menemukan uang itu, tetapi bukan di salah satu tas kalian. Ibu menemukan amplop bertuliskan nama Siska dan di dalamnya ada uang di pojok lemari belakang. Tadi kamu membersihkan lemari itu, 'kan Siska?" tanyaku kepada Siska.

"O, iya, Bu. Tadi uang itu aku simpan di kantong saku. Mungkin jatuh, ya?" ujar Siska senang, "Alhamdulillah, uangku ketemu lagi."

Kemudian kelas kembali tenang. Aku menyuruh anak-anak untuk melanjutkan pelajaran berikutnya. Aku tidak memberitahukan hal itu kepada siapa pun. Aku juga tidak memanggil Heru untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Keesokan harinya Heru menungguku di rumah. Saat itu aku baru pulang dari tempat bimbel. Heru datang sendiri. Aku tahu, Heru pasti akan membicarakan perbuatannya. Aku mengajaknya duduk di teras rumah.

"Ada apa, Ru?" tanyaku pura-pura tidak tahu apa tujuannya datang ke rumahku.

"Maafkan Heru, Bu. Heru bersalah karena sudah mengambil uang Siska," ujarnya sambil merebut tanganku dan menciumnya.

"Ibu sudah tahu, Ru." Aku tersenyum kepada Heru dan menyuruhnya duduk.

"Mengapa Ibu tidak memberitahukan kepada anak-anak bahwa saya yang mengambilnya?" tanya Heru sambil menundukkan kepala.

"Ibu tahu Heru tidak membutuhkan uang itu karena orang tua Heru sudah memberikan uang yang banyak untukmu. Ibu tahu ada sesuatu yang akan Heru sampaikan kepada orang tua Heru dengan sikap itu. Benar?" Aku memandang Heru yang sedang menundukkan kepala.

"Iya, Bu. Heru hanya ingin Mama dan Papa memberikan perhatian kepada Heru. Heru berharap pihak sekolah memanggil mereka dan memberitahukan kenakalan Heru," jelas Heru pelan.

"Ibu yakin kamu anak yang baik. Ibu sengaja tidak memberitahukan hal itu kepada teman-temanmu. Ibu tidak mau mempermalukanmu di hadapan mereka. Ibu berharap hal ini menjadi renungan buatmu. Banyak cara untuk mendapatkan perhatian dari orang tua dan teman-teman, misalnya dengan prestasi belajarmu." Aku menasihati Heru dan memberikan pemahaman kepadanya.

Usahaku berhasil. Sejak Heru datang ke rumahku sore itu, sikapnya sedikit demi sedikit berubah. Semangat belajarnya pun meningkat. Pelajaran Bahasa Inggris dan IT adalah kegemarannya dan Heru berhasil menunjukkan prestasinya. Dia berhasil menjuarai Story Telling tingkat Kabupaten dan juara 3 merancang desain poster dengan menggunakan aplikasi tingkat provinsi.

Heru tidak memedulikan apakah mama dan papa memberikan waktu untuknya. Buatnya masa depan ditentukan oleh usahanya sendiri. Beberapa orang guru merasa heran dengan perubahan Heru. Saat mereka bertanya kepadaku aku hanya menjawab, "Allah Swt. yang membalik-balikkan hati manusia."

"Seandainya saja saat itu Ibu mempermalukan Heru, mungkin ceritanya akan berbeda ya, Bu?" tanya Heru membuyarkan lamunanku. Aku tersenyum memandang Heru.

Aku bahagia melihat kesuksesan Heru, anak didikku ini. Selepas SMP dia ikut dengan pamannya di Perth. Selanjutnya dia menghabiskan pendidikan SMA dan kuliahnya di sana. Sebagai seorang guru, aku ikut berbahagia dan bangga atas kesuksesan murid-muridku.

Sore itu Heru memberikan kebahagiaan itu. Cinta dan kasih sayang yang kugoreskan dalam kalbunya menjadi jejak cinta yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Aku berharap akan banyak lagi Heru-Heru lain yang dapat membuatku bahagia dan bangga.

Hujan mulai berhenti. Di ufuk timur tampak pelangi membias menemani lembayung jingga.

Cerpen ini sudah terbit dalam buku Menapak Jejak Pengabdian. Buku karya bersama teman-teman guru yang tergabung dalam komunitas MGMP Bahasa Indonesia Subrayon Cibadak Kabupaten Sukabumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun