Malam semakin sunyi. Angka di jarum jam dindingku menunjukkan angka 12. Sesekali kudengar suara dentingan tiang listrik yang dipukul petugas ronda. Hujan pun mulai turun rintik-rintik menambah suasana malam ini semakin dingin.
 Seharusnya suasana seperti ini membuatku terlelap tidur dan dibuai mimpi-mimpi namun aku justru tak bisa memicingkan mata sekejap pun. Suara dekuran Ian terdengar sampai ke ruang tamu. Ian sahabat saat aku masih menjadi mahasiswa. Kami memang mengontrak sebuah rumah bersama.Rumah sederhana berkamar dua, satu ruang tamu, dapur dan kamar mandi.
 Aku menyaksikan tayangan  di salah satu televisi swasta yang sedang menayangkan film berjudul Code Name:Geronimo. Kisahnya cukup seru. Film yang bercerita tentang usaha pihak Amerika untuk menangkap pimpinan Al qaedah, Osama bin Laden. Berbagai intrik tergambar dalam kisah film itu.
Aku senang pada genre cerita yang berisi spionase dan action namun kali ini aku tidak fokus. Isi cerita kutangkap sepenggal-sepenggal. Entah mengapa ada yang mengganggu hatiku malam ini. Entah mengapa pula tiba-tiba aku merasa sendiri. Ada sesuatu lubang yang menganga di lubuk hatiku namun aku tak tahu apa.
"Kamu belum tidur, Vi," tanya Ardian yang tiba-tiba duduk di sampingku. Mungkin dia terbangun karena mendengar suara televisi yang cukup keras.
"Belum ngantuk,Ian. Lagipula filmnya bagus," jawabku berbohong. Kalau aku mengatakan yang sebenarnya pasti Ian akan menginterogasiku panjang lebar. Ya maklum dia bekerja sebagai seorang wartawan di media lokal.
"Benar tidak ya,Osama bin Laden itu sudah tewas?" tanya Ian sambil menunjukkan ending film yang menggambarkan tewasnya pimpin Al Qaeda itu pada saat penyerangan komplek pemukiman di Pakistan pada tanggal 11 September 2011.
"Dasar wartawan. Pertanyaanmu aneh-aneh saja," jawabku pendek,"Sudah jelas pemerintah Amerika saat itu mengumumkan dengan resmi peristiwa penyerangan itu."
"Siapa tahu itu hanya trik Amerika untuk mengelabui dunia," debat Ian penuh semangat.
"Ah..sudahlah,Ian. Kita obrolkan yang  ringan dan lucu saja. Pusing kepalaku bila berurusan dengan politik," ujarku sambil bangkit menuju dapur.
"Buatkan aku kopi sekalian,Vi," teriak Ian keras. Aku kembali dengan dua cangkir kopi hitam tanpa gula kesukaan kami berdua.
"Vi, besok tanggal 31 Januari. Itu kan ultah bundamu. Apa kamu tidak ingin pulang ke Sukabumi?" tanya Ian tiba-tiba.
Aku terdiam saat mendengarkan pertanyaan Ian. Ada sesuatu yang kurasakan di hatiku.
"Kalau kamu mau pulang ,aku mau titip kado buat bunda. Tadi siang aku sudah menyiapkannya," kata Ian sambil bangkit dan masuk ke kamarnya.
"Nih, kado buat bunda," ujarnya saat keluar seraya membawa sebungkus kado dan menyimpannya di meja.
Aku memandang Ian, Arifian tepatnya. Dia memang sangat perhatian kepada bundaku. Padahal dia baru bertemu dengan bunda baru lima kali namun dia sudah sangat dekat dengan bunda.
Ibunya Ian sudah meninggal sejak dia duduk di bangku SMP. Kemudian ayah Ian menikah lagi dengan seorang wanita yang usianya jauh lebih muda.
Saat itu Ian tidak setuju ayahnya menikah.lagi dan memilih tinggal dengan neneknya. Ian menemani neneknya yang hidup hanya dengan seorang asisten rumah tangga. Saat Ian duduk di kelas tiga SMA, neneknya meninggal.
Sejak itu Ian hanya tinggal sendirian di rumah neneknya yang meninggalkan harta yang cukup untuknya. Dengan peninggalan neneknya itulah, Ian mengambil kuliah di jurusan jurnalistik.
Pertemuanku dengan Ian pun tidak sengaja. Saat itu aku bekerja paruh waktu di sebuah cafe di bilangan utara Bandung. Malam itu aku sedang membersihkan kafe karena sudah tutup. Â Ian tampak ketakutan dan bergegas masuk ke cafe ku.
Dia mendekati aku yang sedang membersihkan cafe.
"Mas, tolong saya! Saya dikejar preman!" pintanya memelas,"Boleh saya sembunyi di sini?"
Tanpa mendapat persetujuanku ,dia.langsung lari ke ruang belakang.
Saat aku sedang membuang sampah, datanglah dua orang pria berbadan tegap dan berwajah sangar.
"Gue lihat ada cowok bawa kamera masuk ke kafe loe!" bentak si preman berjaket hitam.
"Tidak ada,Bang. Kafe kan sudah tutup jadi tidak ada siapa-siapa," ujarku tenang sambil berjaga-jaga.
"Jangan banyak bacot loe. Suruh dia keluar atau kafe loe, gue obrak-abrik!"bentak preman yang satu lagi sambil memegang grendel pintu kafe.
"Sabar,sabar,Bang. Beneran tidak ada siapa-siapa di sini," ujarku sambil menenangkan kedua preman itu.
Aku harus berhati-hati karena malam itu sudah tidak ada siapa-siapa di kafe. Pak Burhan dan ketiga temannya sudah pulang duluan.
"Jangan banyak bacot, loe!" teriak preman berjaket merah sambil melayangkan tinjunya kepadaku.
Aku segera menepiskan serangan dengan satu gerakan. Aku tidak mau berkelahi. Preman bercelana jeans juga ikut menyerangku. Wah, aku dikeroyok.
Aku membela diriku. Tak sia-sia aku memiliki ban hitam karate jadi bisa mempertahankan diri pada saat-saat genting begini. Serangan-serangan dari kedua preman itu berhasil aku tepiskan. Rasanya sedang bermain film action.
Tak lama kemudian datang mobil patroli polisi yang tiba di depan kafe. Saat mereka akan melarikan diri, aku melayangkan tendangan yang membuat kedua preman itu terkapar. Akhirnya kedua preman itu digelandang ke kantor polisi.
Kemudian aku masuk ke kafe dan memanggil pemuda penyusup tadi. Kami berdua duduk di bangku kafe.
"Ada urusan apa Anda dengan preman-preman itu?" tanyaku pada penyusup tadi.
"Kenalkan aku Ian, Arifian. Terima.kasih kamu sudah menolongku. Jika tidak aku bisa habis oleh mereka ," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Vildan Bramantyo," kataku sambil menyambut uluran tangan Ian,"Mengapa kamu dikejar preman-preman itu?"
"Aku mahasiswa jurnalistik di Unpad. Aku sedang mendapatkan tugas liputan untuk koran kampus. Aku sedang meliput sekaligus menyelidiki kebenaran berita tentang mahasiswa-mahasiswa yang dugem. Nah, tadi aku masuk ke salah satu diskotik dan mengambil beberapa gambar di sana. Rupanya di sana tidak boleh mengambil foto apalagi untuk liputan. Beberapa preman meminta kameraku. Untung saja aku bisa kabur dari sana meskipun akhirnya aku dikejar juga. Terima kasih sekali lagi ,ya," jelas Ian panjang lebar.
"Kamu berani juga lo tadi. Hebat! Kamu bisa melawan preman-preman itu," ujar Ian lagi," Maukah kamu melatihku bela diri?"
Sejak itu aku dan Ian bersahabat. Satu minggu sekali dia datang ke tempat kostku dan berlatih karate. Semangat dan kemauannya yang tinggi membuat Ian cepat menguasai beberap jurus yang aku ajarkan.
"Hai, Vildan! Mengapa kamu melamun? Kamu tidak mendengar pertanyaanku?" teriak Ian mengejutkan lamunanku.
"Entahlah,Ian. Aku sedang tidak mood membicarakan itu,' kataku sambil berlalu dan masuk ke dalam kamar. Aku mengunci kamar agar Ian tidak menggangguku.
Saat ada di kamar, aku membaringkan diri dan menatap langit-langit kamar. Di sana tergambar wajah seseorang yang sudah lama kurindukan. Wajah bunda yang tersenyum dengan lembutnya. Aku tahu mungkin sesuatu yang kurasakan itu adalah kerinduanku yang sudah menggunung kepada bunda. Sudah dua tahun aku tidak pulang ke kampung halamanku.
Aku masih ingat saat terakhir aku bertemu dengan bunda. Siang itu dua tahun lalu aku sengaja pulang ke Sukabumi. Aku ingin mengatakan hal yang penting kepada bunda.
"Apa? Kamu ingin berhenti kuliah?' tanya bunda dengan nada tinggi.
Saat itu aku mengutarakan keinginanku resign dari kuliah. Aku ingin bekerja dan memulai usaha. Ada gurat kekecewaan di wajahnya. Bunda berusaha untuk menaham emosinya saat itu.
Aku tahu selama ini aku adalah tumpuan harapan keluarga. Sebagai anak laki-laki pertama , aku memiliki tanggung jawab yang besar terhadap ibu dan adik perempuanku. Sejak ayah meninggal, ibulah yang menanggung beban untuk membiayai kami anak-anaknya. Hal itulah yang mendorongku untuk berhenti kuliah.. Aku ingin membantu keuangan keluarga.
"Bunda tidak mau kamu berhenti kuliah. Bunda ingin kamu berhasil dan sukses. Jika kamu tidak kuliah, apa yang dapat kamu andalkan?" tanya ibu menasehatiku.
" Vildan tidak mau merepotkan bunda. Bunda harus bekerja keras untuk membiayai kuliah Vildan. Mumpung baru tingkat pertama,Bun," ujarku bersikeras.
"Apa hanya itu alasan kamu berhenti kuliah?"tanya bunda kemudian. Aku hanya mengangguk pelan.
"Seandainya ayahmu masih hidup, dia pasti mempunyai cita-cita agar anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Dengan pendidikan seseorang itu akan dihargai oleh orang lain. Pendidikan yang bisa mendewasakan seseorang. Pendidikan juga yang bisa mengantarkan seseorang ke arah kesuksesan," panjang lebar bunda menasehatiku sambil memandangku lembut.
"Kesuksesan itu tidak hanya diperoleh dari pendidikan yang tinggi,Bun. Banyak orang yang tidak berpendidikan tinggi tapi mampu meraih kesuksesan," kataku sambil membalas pandangan bunda tajam.
"Betul kata-katamu itu, Dan. Â Bunda hanya ingin mengantarkan kalian untuk mendapat pendidikan yang memadai. Itu juga yang menjadi harapan dari almarhum ayahmu karena kami yakin pendidikan itu akan membawa berkah bukan hanya di dunia tapi juga di akherat kelak," kata bunda sambil memandang foto ayah yang tergantung di dinding.
Aku melihat ada gurat kesedihan dan kekecewaan di matanya. Sebagai seorang guru, Bunda menginginkan anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang setingi-tingginya. Oleh karena itu bunda bersedia untuk bekerja keras untuk membiayai sekolah aku dan adikku. Sepulang mengajar, bunda masih menyempatkan diri untuk mengajar di salah satu bimbel. Lumayan buat tambahan keuangan kata bunda saat aku melarangnya.
Aku bersikeras untuk tidak melanjutkan kuliahku semata-mata agar bunda tidak terbebani dengan biaya kuliah yang tidak sedikit. Apalagi aku tidak diterima di perguruan tinggi negeri karena kalah bersaing dengan peserta lain. Entah berapa banyak biaya yang harus bunda keluarkan untuk aku.
"Apa yang akan kamu lakukan setelah berhenti kuliah?" tanya bunda lagi.
"Aku akan bekerja, Bunda. Ada temanku yang mengajak aku mengelola kafe milik orang tuanya," ujarku pendek.
Aku melihat bunda menghela napas panjang. Aku tahu jika aku sudah mengecewakannya. Aku merasa inilah keputusan yang tepat untukku.
"Baiklah jika itu keputusanmu. Silakan kamu berhenti kuliah dan buktkan kepada bunda kamu bisa meraih kesuksesan tanpa memiliki gelar sarjana," ujar ibu pelan," Dan jangan pulang jika kamu belum sukses."
Kata-kata ibu terakhir membuat detak jantungku seolah berhenti. Kata-kata itu juga yang melecutku untuk bisa membuktikan kepadanya jika aku bisa meraih kesuksesan tanpa harus menjadi sarjana.
Keesokan harinya aku pulang ke Bandung dengan membawa satu keputusan. Aku berniat untuk mengambil cuti kuliah dulu selama satu tahun. Aku akan mengumpulkan uang untuk biaya kuliahku sendiri. Keputusan itu aku buat agar bunda tidak terlalu kecewa padauk.
Ibu tampaknya masih kecewa. Dia tidak mengantarkan aku ke depan pintu seperti biasanya. Ibu malah mengurung diri di kamar. Hanya adikku Via yang menyiapkan aku sarapan dan mengantarkan aku sampai ke pintu.
Sejak itu, aku bekerja di kaf Aldi temanku. Aku merasakan sulitnya mengelola kaf yang masih baru apalagi aku tidak tahu menahu tentang cara mengelola kafe. Diam-diam aku mengakui kebenaran ucapan bunda jika ilmu itu diperlukan bagi seseorang,
Selama satu tahun aku dan Aldi bekerja sama untuk memajukan kafe itu. Berbagai event diadakan agar pengunjung mau datang ke kafe ini. Sedikit demi sedikit orang mengenal kafe kami meskipun pengunjungnya masih belum terlalu ramai.
Satu tahun berlalu. Aku masih fokus pada pengembangan kafe itu sehingga tidak terpikirkan untuk kuliah. Selama satu tahun itu pula aku tidak pulang ke sukabumi. Kalau pun aku merindukan ibu dan adikku, aku hanya menelepon Via adikku. Aku masih belum memiliki keberanian untuk telepon ibu karena aku masih belum sukses.
Dert...dert..dert..hp ku berbunyi keras tanda ada panggilan masuk. Aku melihat siapa yang meneleponku. Rupanya Via sudah dua kali menelepon hanya tidak terdengar olehku. Mungkin aku asyik melamun.
"Kak, besok bunda ulang tahun. Aku harap kakak pulang. Kasihan ibu yang merindukan kakak," ujar Via mengabarkan keadaan ibu.
"Aku malu, Dik. Aku belum bisa dibanggakan oleh ibu. Aku belum sukses,"ujarku pelan. Aku masih ingat dengan kata-kata ibu tempo hari.
"Ibu sangat merindukan kakak. Ayolah, Kak! Pulang,ya!" pinta Via dengan suara memelas. Adikku memang paling bisa merayu.
"Tapi, Dik......" ujarku ragu, " Kakak akan pulang setelah sukses."
Aku segera mematikan hand phoneku meskipun Via belum selesai berbicara. Aku tidak mau terdengar sedih oleh adikku.
"Via, kakak juga sangat rindu pada bunda," batinku perih menahan kerinduanku.
Malam itu berlalu dengan kerinduan yang aku rasakan. Malam yang tak berbintang pun menambah kepedihan di relung hatiku. Maafkan aku bunda...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H