"Vi, besok tanggal 31 Januari. Itu kan ultah bundamu. Apa kamu tidak ingin pulang ke Sukabumi?" tanya Ian tiba-tiba.
Aku terdiam saat mendengarkan pertanyaan Ian. Ada sesuatu yang kurasakan di hatiku.
"Kalau kamu mau pulang ,aku mau titip kado buat bunda. Tadi siang aku sudah menyiapkannya," kata Ian sambil bangkit dan masuk ke kamarnya.
"Nih, kado buat bunda," ujarnya saat keluar seraya membawa sebungkus kado dan menyimpannya di meja.
Aku memandang Ian, Arifian tepatnya. Dia memang sangat perhatian kepada bundaku. Padahal dia baru bertemu dengan bunda baru lima kali namun dia sudah sangat dekat dengan bunda.
Ibunya Ian sudah meninggal sejak dia duduk di bangku SMP. Kemudian ayah Ian menikah lagi dengan seorang wanita yang usianya jauh lebih muda.
Saat itu Ian tidak setuju ayahnya menikah.lagi dan memilih tinggal dengan neneknya. Ian menemani neneknya yang hidup hanya dengan seorang asisten rumah tangga. Saat Ian duduk di kelas tiga SMA, neneknya meninggal.
Sejak itu Ian hanya tinggal sendirian di rumah neneknya yang meninggalkan harta yang cukup untuknya. Dengan peninggalan neneknya itulah, Ian mengambil kuliah di jurusan jurnalistik.
Pertemuanku dengan Ian pun tidak sengaja. Saat itu aku bekerja paruh waktu di sebuah cafe di bilangan utara Bandung. Malam itu aku sedang membersihkan kafe karena sudah tutup. Â Ian tampak ketakutan dan bergegas masuk ke cafe ku.
Dia mendekati aku yang sedang membersihkan cafe.
"Mas, tolong saya! Saya dikejar preman!" pintanya memelas,"Boleh saya sembunyi di sini?"