Kemudian aku masuk ke kafe dan memanggil pemuda penyusup tadi. Kami berdua duduk di bangku kafe.
"Ada urusan apa Anda dengan preman-preman itu?" tanyaku pada penyusup tadi.
"Kenalkan aku Ian, Arifian. Terima.kasih kamu sudah menolongku. Jika tidak aku bisa habis oleh mereka ," ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Vildan Bramantyo," kataku sambil menyambut uluran tangan Ian,"Mengapa kamu dikejar preman-preman itu?"
"Aku mahasiswa jurnalistik di Unpad. Aku sedang mendapatkan tugas liputan untuk koran kampus. Aku sedang meliput sekaligus menyelidiki kebenaran berita tentang mahasiswa-mahasiswa yang dugem. Nah, tadi aku masuk ke salah satu diskotik dan mengambil beberapa gambar di sana. Rupanya di sana tidak boleh mengambil foto apalagi untuk liputan. Beberapa preman meminta kameraku. Untung saja aku bisa kabur dari sana meskipun akhirnya aku dikejar juga. Terima kasih sekali lagi ,ya," jelas Ian panjang lebar.
"Kamu berani juga lo tadi. Hebat! Kamu bisa melawan preman-preman itu," ujar Ian lagi," Maukah kamu melatihku bela diri?"
Sejak itu aku dan Ian bersahabat. Satu minggu sekali dia datang ke tempat kostku dan berlatih karate. Semangat dan kemauannya yang tinggi membuat Ian cepat menguasai beberap jurus yang aku ajarkan.
"Hai, Vildan! Mengapa kamu melamun? Kamu tidak mendengar pertanyaanku?" teriak Ian mengejutkan lamunanku.
"Entahlah,Ian. Aku sedang tidak mood membicarakan itu,' kataku sambil berlalu dan masuk ke dalam kamar. Aku mengunci kamar agar Ian tidak menggangguku.
Saat ada di kamar, aku membaringkan diri dan menatap langit-langit kamar. Di sana tergambar wajah seseorang yang sudah lama kurindukan. Wajah bunda yang tersenyum dengan lembutnya. Aku tahu mungkin sesuatu yang kurasakan itu adalah kerinduanku yang sudah menggunung kepada bunda. Sudah dua tahun aku tidak pulang ke kampung halamanku.
Aku masih ingat saat terakhir aku bertemu dengan bunda. Siang itu dua tahun lalu aku sengaja pulang ke Sukabumi. Aku ingin mengatakan hal yang penting kepada bunda.