Â
Aku melipat tangan didada. Menahan dingin. Hujan yang sejak sore turun, seolah enggan reda. Duh, mana perut keroncongan lagi. Aku menggigit bibir, tak tahu mesti gimana. Satu-satunya uang disaku tinggal lima ribu. Â Â Â Â
" Hey, mundur dikit. Nanti kamu sakit " seru seseorang. Perhatian.
Aku menoleh. Seorang cowoq melambai tak jauh dariku. Ups. Seraut wajah dengan rambut dikucir tersenyum. Cakep sih. Tapi matanya dingin.
" Gak usah takut, aku udah jinak koq. Liat khan, aku dah gak dirantai lagi ! " selorohnya memecah suasana.
Aku tersenyum kecil.
" Kamu, kog. Kabur ya dari rumah ? " imbuhnya. Matanya meneliti seragam sekolahku. Aku terdiam. Bingung. Gimana mau jelasin. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Mendadak wajah papa, mama juga Bry adikku melintas. Membawaku pada peristiwa kelabu tadi pagi.
Papa menjadi pemarah, sejak kena pehaka setahun lalu. Sedang kami sekeluarga butuh makan. Beliau sering uring-uringan untuk hal sekecil sekalipun. Bisa dimaklumi, barangkali merasa malu, lantaran biaya hidup praktis ditanggung mama. Juga disubsidi Om Wisnu sesekali. Akibatnya aku dan Bry, jadi sasaran kemarahannya. Pelampias kecewanya. Lebih-lebih ketika memergoki mama, pulang diantar bosnya. Kecemburuannya meluap. Dan pagi tadi mengklimaks.
" Brakk ..." sebuah asbak melayang kearahku. Untung gak kena.
" Mau kemana. Sekolah ? Haah! untuk apa? Apa kamu gak malu, mama kamu tuh perempuan gak bener. Â Hostes. Tahu?Apa kata teman-teman kamu, kalo tahu siapa mama kamu ...?pikir,. Pikir ...! " tukas papa berapi-api.
" Kamu juga Bry, gak usah sekolah! " Bry, yang baru kelas lima esde itu menurut. Dilepaskannya segera seragam sekolahnya.
Wajahnya menegang menahan takut.
" Bry, " aku mencoba memeluknya. Namun ..." Plakkk " tamparan keras papa mengenai pipiku. Aku memekik, menahan perih.
" Dengar San. Sekarang juga cari mama kamu. Dan jangan pernah pulang sebelum ketemu. Ngerti ! " ujarnya penuh emosi.
Pandanganku nanar. Ku tinggalkan rumah dengan sekian kecamuk. Sempat kulihat tatapan Bry, seolah tak rela.
( Lalu seharian, aku duduk ditaman kota. Sengaja hari ini aku bolos. Tapi cuaca bener-bener gak kompromi. Ketika menjelang sore, hujan turun deras. Tak ada pilihan. Terpaksa aku berteduh , didepan rumah berpagar putih ). Entah milik siapa.
" Hey, hallo. Koq malah nangis sih ? " tepuknya lembut. Memutus lamunanku.
" Em ... em aku tergagap " buru-buru kuhapus airmataku.
" Sorry "
" Elang" Ia mengulurkan tangan.
" Santi " sambutku.
" By the way, kamu kenapa? "
" Gak papa. Â Makasih" tolakku. tak mungkin kuceritakan, masalah ini pada orang yang baru kukenal. Riskan. Elang tersenyum. Gingsulnya menyembul. Perlahan, aku sudah mulai melupakan kesedihanku.
Beberapa pasang mata sesekali melihat ke arah kami. Bahkan tangannya menunjuk-nunjuk.
"Lang, boleh nanya? "
" Ya boleh donk. Apalagi yang nanya seimut kamu. Mo nanya apa sih ?
Deg. Aku tercekat. Beruntung tempat itu gak ada lampu. Jadi Elang gak akan lihat bagaimana rona mukaku.
" Ngrayu nich? "
" Dikit "
" Yeeee." tinjuku mampir dipundaknya. Tawa kami berderai.
Orang-orang menoleh lagi. Pandangannya aneh. ... Entahlah.
" Lang "
Elang  meletakkan telunjuknya dibibir.
" Abis kamu lucu  "
Elang nyengir.
" Emm, dada kamu kenapa sih?. Dari  tadi ngeluarin darah, emang gak sakit ? "
" Santii, luka dada ini tidaklah seberapa. Dibanding apa yang kamu alami. Jangan nangis lagi ya" hiburnya. Vokalnya yang lembut, membuat jantungku berdebar hangat.
Tiba-tiba. " Bry " ( seorang anak kecil melintas, mengingatkanku pada adikku ). Kamu baik-baik aja khan, Bry ? batinku. Air mataku menitik lagi.
" Kamu inget adikmu, San? " Elang rupanya membaca jalan pikiranku.
Aku terdiam, kebisuan sejenak mewarnai. Hanya deru motor yang lalu lalang tak jauh dari tempat kami. Suara hujanpun perlahan terhenti.
"Lang, mo kemana ? tunggu ... "
Tiba-tiba ia beranjak, seiring sorot lampu mernyilaukan.
****
Samar-samar kudengar suara disekelilingku. Kepalaku terasa berat.
" Lang. Elang .... "
" Kamu udah sadar , Sayang ? " . Mama disampingku. Wajahnya sembab, mungkin kurang tidur. Aku mengedarkan mata. Kanan-kiri-atas putih.
" Â Aku dimana, ma? "
" Dirumah sakit, sayang. Semalam kamu ditemukan pingsan, dirumah kosong berpagar putih diujung jalan sana " jelasnya.
" Apa ? aku pingsan ? " ulangku. Setengah tak percaya.
Anggukan mama makin menambah bingungku. Padahal semalam aku bersama ... . Elang.
" Elang mana , ma? " aku celingukkan.
" Yang tadi malam sama aku? "
" Â El ... " Â diejanya. Sesaat mama keluar. Sebentar kemudian, seorang perempuan setengah baya masuk. Mama terlihat ngobrol serius.
" Tante ini yang membawamu kesini, sayang ,,, " mama menjelaskan. Aku baru ingat, kalo tante itu adalah pemilik toko sebelah. Dekat rumah berpagar putih, dimana aku bertemu Elang.
" Elang, tante "
" Elang? kamu gak salah . Coba inget ... "
" Betul. Elang tante. Rambutnya agak gondrong. Tinggi seperti dokter itu ". Terangku.
Sesaat dia menarik nafas. Kerutan keningnya melukiskan ada sesuatu yang disembunyikan. Wajahnya semburat murung.
" Dia sudah meninggal setahun lalu, nak. Kecelakaan. Sayang anak sebaik dia harus pergi dengan cara mengenaskan. Dan sejak itu keluarganya pindah ke Surabaya. Rumah itu dibiarkan kosong sampai sekarang. "
" Haa... " mulutku ternganga. Serasa ribuan batu menimpuki tubuhku.
" Iya , Elang sudah meninggal, sayang." papa nimbrung.
Aku tercekat. Bagaimana mungkin. Jadi yang menemaniku semalam itu, arwah. Kepalaku makin berdenyut.
" Santi pingsan lagi, bu ..." entah suara siapa. Â Â
*Tamat*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H