“Tapi kerjaan jadi keple itu nista toh pak De”
“Ukuran nista ki ono ne di tangan Gusti Allah, apa kamu kira selain yang kerjaannya jadi keple itu semuanya tidak nista? Siapa tahu saya yang buka bengkel tv ini dimatamu tidak nista, tapi dihadapan Gusti Allah lebih nista ketimbang keple?”
“Ya ora ngono pak De…”
“Ya wis mas kipli, kita ini sekedar manusia, nggak punya hak menilai orang lain. Banyak orang yang kita anggap kerjaannya nista lebih membuat Gusti Allah bisa tersenyum berkat air mata tulus pada sujud-sujud minta ampun mereka ketimbang kita yang karena merasa berakhlak maka tiap doanya hanya berisi permintaan agar bertambah sesak saja harta di saku celana…”
“Alhamdulillah Gusti, laris untuk hari pertama…” Parmin tersenyum, tak lupa berpikir jika besok-besok begini terus mau tidak mau harus menyebar kabar lowongan kerja buat cari sekretaris dan pakai dasi sesuai keinginannya. Dia tidak berhitung, pamali kata bapaknya dulu kalau menghitung uang malam-malam. “Biar saja itu urusan istri tercinta di rumah, saya hanya propesional, tidak menghitung laba tapi bekerja dengan bijak…” kata Parmin dalam hati.
Walau tak menghitung, di kepalanya telah tersekat ruang-ruang rejeki ini akan kemana, jangan sampai dia terlupa akan titipan rejeki yang juga milik orang lain, bukan karena tergiur akan laba yang semakin bertambah akibat bersedekah, tapi murni takut tidak bisa menjaga kepercayaan dari Gusti Allah.
Kotak kontrakannya begitu sepi, gerobak dimasukkannya dengan pelan agar tidak mengganggu yang sedang terlelap, Sejak dulu memang Parmin takut mengganggu siapapun. Parmin tersenyum, memang Parmin selalu tersenyum, entah sedang senang atau blangsak, membuat hatinya nyaman, itu alasan yang dia katakan kepada istrinya Atun.
Kotak sempit yang mewah… selalu wangi karena banyak cinta disini. Atun terlelap di sudut dipan sebab Sugeng anaknya yang berumur tiga tahun tidur menguasai dipan bak orang merdeka. Atun dalam lelapnya tersenyum, sebab ikhlas dia di sudut dipan demi anak semata wayangnya menikmati kemerdekaan. Sugeng, jangan ditanya… dengan mulut sedikit menganga seperti bapaknya jika tidur terlelap dalam damai.
“Gusti Allah, entah apa ukuran manusia tentang sukses tidak aku perdulikan, sukses itu rasa, dan matur nuwun sanget duh Gusti, aku sejak lama sudah sukses dengan kehadiran mereka berdua ini…” Parmin bergegas mengambil wudhu.
Parmin menangis dalam sujudnya yang panjang, dia menepati janjinya pada istri tercinta, dia sujud saat tidak ada yang memperhatikan kecuali Gusti Allah…
Yogyakarta, Juni 2009