Salah satu visi pasangan Prabowo Gibran adalah melanjutkan hilirisasi dan industrialisasi. Satu tantangan yang dihadapi presiden baru adalah gejala deinsutrialisasi dalam ekonomi Indonesia.Â
Jika hendak mempertahankan petumbuhan ekonomi dan menyediakan lapangan kerja, pertumbuhan industri menjadi instrumen kunci.Â
Di tengah lingkungan ekonomi global yang makin kompetitif, meningkatkan kembali pertumbuhan industri harus menjadi prioritas Prabowo Subianto jika dilantik sebagai presiden baru.
Deindustriliasasi, secara sederhana, dimaknai sebagai penurunan pertumbuhan industri dalam sebuah kawasan atau negara.Â
Penurunan itu ditandai dengan berkurangnya kontribusi sektor industri dalam produk domestik bruto sebuah negara. Tanda lain adalah menurunnya persentase industri dalam total ekspor sebuah negara.Â
Dampak deindustrialisasi ekstrim adalah penurunan persediaan lapangan kerja. Karena tidak ada industri baru yang bertumbuh atau bahkan pertumbuhan minus, jenis pekerjaan baru tidak bertambah.
Sebab deindustrialisiasi berbeda dari satu kasus ke kasus lain. Di negara-negara industri maju, seperti AS, deindustrialisasi terjadi baik karena relokasi industri atau globalisasi  produksi.Â
Jadi, yang pertama terjadi ketika perusahaan memindahkan pabrik ke lokasi produksi ke luar dari negara asal, misalnya dari AS. Yang kedua perusahaan tidak lagi membuat semua komponen, tetapi melakukan produksi dengan menggabungkan komponen yang diproduksi dalam jaringan produksi global.
Pemindahan ini didorong oleh beberapa faktor seperti naiknya upah buruh di negara asal, keinginan untuk mendekati pasar, sumber bahan mentah dan  upah buruh murah di negara tujuan.Â
Kebijakan insentif menguntungkan yang ditawarkan pemerintah negara tujuan juga ikut mendorong relokasi. Insentif tax holiday dan upah buruh murah, misalnya mendorong perpindahan perusahaan-perusahaan Jepang dan  AS ke Vietnam atau ke Indonesia.
Penyebab lain adalah penutupan industri akibat liberalisasi pasar domestik. Industri yang sebelumnya hidup dalam pasar yang diproteksi, tidak mampu bertahan menghadapi jenis industri baru yang lebih efisien, masuk berkat liberalisasi impor dan investasi.Â
Infant Industry (industri lokal yang masih bayi) telah hidup dengan proteksi ketat pemerintah. Ketika proteksi dihapus, mereka tidak mampu bersaing dengan pemain baru dalam pasar domestik.
Di Indonesia, menghilangnya beberapa produk eletronik dan rumah tangga seperti Maspion pasca kebijakan liberalisasi mulai 1998, adalah contoh kasusnya.Â
Demikian juga penutupan industri truk Texmaco yang sempat menghasilkan truk-truk militer bagi TNI. Di AS, mulai tahun 1980-an, masuknya mobil-mobil Jepang yang lebih irit bahan bakar dan lebih murah membua Ford harus mereorganisasi jaringan produksinya.
Globalisasi produksi adalah faktor lain. Kompetisi ketat dalam pasar global membuat perusahaan mencari produksi yang lain efisien dan mendatangkan keuntungan.Â
Upaya ini dilakukan dengan mengembangkan jaringan produksi global. Sebelumnya 1980-an, sebuah produk dibuat di negara asal, lalu diekspor ke negara lain.Â
Kemudian, di tahun mulai 1980-an berkembang 'off shore production'. Dalam model ini, perusahaan memindahkan pabrik keluar negeri atau mengembangkan sistem sub-kontrak ke perusahaan di negara-negara lain. Model sub-kontrak, misalnya, diterapkan dalam industri pakaian jadi dan alas kaki seperti sepatu Nike.
Saat ini model produksi, khususnyA di sektor industri berteknologi tinggi, Â berubah total. Di sektor industri otomotif, produksi mobil dilakukan dalam jaringan global yang memfokuskan diri pada level produksi berbeda. Sebuah mobil Toyota, misalnya, dihasilkan dari kurang lebih 3000 ribu komponen.Â
Bagian-bagian mobil tidak lagi dibuat di negara asal merek, tetapi diserahkan pada cabang pabrik atau pabrik pemasok di negara berbeda.Â
Oleh karena itu, yang dikejar adalah rantai nilai. Untuk pasar Asia, misalnya, Toyota menggabungkan Chasis, karet, panel kopkit, ban, mesin, kursi yang dibuat di lokasi berbeda. Yang dikejar adalah efisiensi dan nilai tambah.
Indonesia: Gejala Deindustrialisasi
Proses deindustrialisasi dalam ekonomi Indonesia masih menjadi perdebatan. Sebagian analis berpendapat bahwa Pertumbuhan sektor lain, seperti jasa keuangan,teknologi informasi menurunkan besaran kontribusi industri dalam PDB. Â
Maka, di tengah globalisasi sektor jasa, khususnya, keuangan dan teknologi informasi, investasi di kedua sektor ini jauh lebih cepat balik modal.Â
Margin keuntungan juga tinggi Sementara industri manufaktur membutuhkan proses investasi yang lebih panjang. Karena itu, perusahaan cenderung masuk ke sektor jasa dan informasi, yang kemudian terekam dalam naiknya kontribusi kedua sektor ini dalam pertumbuhan ekonomi nasional.
 Beberapa data mengindikasikan tanda-tanda awal deindustrialisasi.  BPS melaporkan bahwa kontribusi industri pengolahan dalam PDB terus menurun.Â
Tahun 2014, industri pengolahan menyumbang 21,6 % dalam GPD, tetapi tersisa  18.34 % tahun 2022 (https://www.cnbcindonesia.com). Sumbangan industri dalam PBD naik sejak 1961 dan mencapai puncak sebesar 26 % di 1997, tetapi terus menurun sampai saat ini (https://datanesia.id/).  Industri manufaktur juga mengalami penurunan pertumbuhan dari 4,61 % di 2014, menjadi 4,27 % di 2018.     Â
Sementara pertumbuhan industri pengolahan menurun, kontribusi ekspor manufaktur dalam ekspor dilaporkan mengalami kenaikan. Misalnya pada tahun 2021, ekspor manufaktur melonjak di atas 50 % dari total ekspor Indonesia.Â
Kenaikan perlu diperiksa secara historical dalam rentang waktu, misalnya, apakah selama 10 tahun terakhir trend ekspor manufaktur terus mengalami kenaikan atau sebaliknya. Sangat mungkin kenaikan disumbang terbesar oleh ekspor minyak nabati dan produk-produk olah berbasis pertanian seperti CPO dan Kopi olahan.
 Kecenderungan deindustrialiasi diindikasikan juga oleh pertumbuhan  sektor informal.  BPS melaporkan bahwa tahun 2020, sektor formal mempekerjakan 43,36 %, sektor informal56,64 %.Â
Tahun 2021, pekerja formal turun jadi 40,38 %, sedangkan pekerja informal naik jadi 59,62 % (ekonomi.bisnis.com). Penurunan pekerja di sektor formal terjadi karena tidak ada ekspansi ekonomi formal, di mana industri manufaktur merupakan komponen penting.
 Untuk amannya, bisa dikatakan Indonesia sedang mengalami gejala deindutrialisasi dini. Apa penyebabnya? Ada beberapa kemungkinan jawaban.Â
Pertama. Liberalisasi ekonomi sejak kejatuhan Suharto membuat perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bersaing menutup pabrik.Â
Kedua. Satu janji liberalisasi adalah lonjakan investasi baru, khususnya  di sektor manufaktur. Ini tidak terjadi karena negara-negara lain juga membuka luas ekonomi mereka bagi investasi asing. Keterbukaan ini didukung oleh insentif berlimpah, kemudahan perizinan, korupsi rendah.Â
Sebaliknya investor mengeluhkan iklim investasi yang tidak ramah dalam bentuk birokratisasi perizinan, pungutan liar dan biaya tambahan lain.Â
Reformasi rezim investasi yang dilakukan Jokowi nampaknya berhasil menghapus perilaku predatori di lembaga-lembaga yang mengurus investasi.
Kebijakan daerah dalam urusan lahan misalnya juga menciptakan disinsetif terhadap investasi baru di sektor manufaktur. Ungkapan bahwa 'ayam belum bertelur sudah dipajaki' menggambarkan gejala tersebut.Â
Kondisi ini terjadi di tengah perkembangan 'competition state' yakni negara-negara yang gencar berlomba memberikan kemudahan untuk 'membujuk' investasi global masuk ke negara mereka. Â
Fenomena 'footlose capital' juga menyumbang kemandegan pertumbuhan manufaktur. Pasar finansial sudah sangat liberal.Â
Investasi protofolio dalam bentuk saham, perdagangan berjangka, surat utang  jelas jauh lebih menarik dibandingkan dengan manufaktur yang memiliki resiko lebih besar, prosedur lebih panjang. Belum lagi hambatan-hambatan lain yang disebutkan sebelumnya.
Terakhir adalah loncatan ekonomi. Pada banyak negara, ekonomi berkembang dari tahap agraris, sektor pengolahan, sektor jasa dan kemudian industri 'leisure' (waktu luang) khususnya pariwisata. Ekonomi kita meloncat dari agraris ke 'industri jalan-jalan'.Â
Pariwisata mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ini bukan sesuatu yang buruk. Dorongan besar pemerintah terhadap pariwisata, melalui pengembangan destinasi wisata premium' membuat investor lebih tertarik masuk ke sektor ini, daripada mendirikan pabrik pengolahan baru.
Tantangan Presiden baru: reindustrialisasi
Mencegah deindustrialisasi dini adalah satu tugas presiden baru. Kebijakan yang mendorong reindustrialisasi menjadi sebuah keharusan. Ada beberapa tantangan yang dihadapi.Â
Pertama, lingkungan ekonomi global yang liberal. Keberhasilan industri di Asia Timur, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan dimulai tahun 1970-an saat ideologi ekonomi merkantilis sangat kuat.Â
Bentuk nyatanya adalah kebijakan proteksionis yang kuat. Ketika itu industri mobil seperti Toyota, Honda, Suzuki di Jepang; Hyundai dan KIA di Korea diproteksi ketat dari pesaing asing.Â
Demikian juga, industri elektronik seperti Sony dan Toshiba milik Jepang; Samsung dan Lucky Gold Star (LG) di Korea. Hasilnya adalah mereka tumbuh kuat dalam negeri, baru kemudian melakukan ekspansi internasional.
Presiden baru tidak bisa mengadopsi kebijakan yang sama. Ideologi ekonomi global adalah neo-liberal dan Indonesia menjadi bagian di dalamnya.Â
Proteksi mengharuskan diskriminasi terhadap yang internasional untuk melindungi yang nasional. Sebagai anggota WTO, kebijakan perlakuan nasional yang diskriminatif akan melanggar perjanjian 'trade related to investment', yang mengharuskan perlakuan yang adil. Indonesia bisa digugat oleh negara-negara lain jika menerapkan proteksi. Negara lain juga bisa membalas dengan tindakan yang sama.
Kegagalan pengembangan mobil nasional adalah contoh bagaimana proteksi dan perlakuan khusus lain tidak bisa diterapkan dalam lingkungan ekonomi liberal.Â
Oleh karenanya, pada akhir kekuasaan Suharto, Indonesia mencoba membangun merek mobil nasional "Timor' dengan perlakuan khusus. Mobil diimpor secara utuh dari Korea dengan tarif rendah. Jepang mengancam menggugat kebijakan ini ke panel WTO.Â
Pemerintah akhirnya membatalkan proyek mobil nasional. Kasus Mobil Esemka yang digadang Jokowi saat mencalonkan diri sebagai presiden adalah kasus lain. Retorika mobil nasional sebenarnya lebih sebagai kampanye politik daripada sebuah kebijakan serius. Bagaimana Esemka bisa bersaing dengan Honda, Toyota, Ford dan yang lain kalau tidak ada proteksi dan perlakuan khusus.
Kedua, reindustrialisasi membutuhkan garis kebijakan yang utuh dan terkordinasi. Sistem politik yang terdesentralisasi secara vertikal dan horisontal menghasilkan koordinasi kebijakan yang panjang dan kompleks.Â
Perusahaan harus harus melewati banyak 'meja' di pusat, dan 'meja bertingkat' dari pusat ke daerah. Reformasi birokrasi perizinan nampaknya belum mengatasi persoalan ini.Â
Tindakan pemerintah menarik kembali beberapa perizinan ke pusat mewakili rasa frustrasi Presiden Jokowi menghadapi hambatan birokrasi terhadap investasi baru.Â
Belum lagi, sistem politik yang terfragmentasi melahirkan lobi dan tekanan kelompok kepentingan yang sangat beragam. Presiden baru harus 'mendayung' di antara berbagai kelompok kepentingan tersebut.
Penutup
Reindustrialisasi menjadi kebutuhan. Tanpa upaya ini, ekonomi Indonesia akan terkunci kembali ke sektor ekstraktif seperti batubara dan migas. Selain dampak  lingkungan yang ditimbulkan, dua sumber ini perlu dihemat untuk keamanan energi dalam jangka panjang.Â
Potensi sketor pertanian besar, tetapi harga komoditas pertanian memiliki nilai tambah rnedah dan harganya di pasar internasional sangat fluktuatif.Â
Dengan demikian, reindustrialisasi mesti jadi 'jalan utama', bukan 'jalan setapak' ekonomi Indonesia agar menjadi 'macan Asia', seperti janji Prabowo di pemilu 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H