Mencegah deindustrialisasi dini adalah satu tugas presiden baru. Kebijakan yang mendorong reindustrialisasi menjadi sebuah keharusan. Ada beberapa tantangan yang dihadapi.Â
Pertama, lingkungan ekonomi global yang liberal. Keberhasilan industri di Asia Timur, seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan dimulai tahun 1970-an saat ideologi ekonomi merkantilis sangat kuat.Â
Bentuk nyatanya adalah kebijakan proteksionis yang kuat. Ketika itu industri mobil seperti Toyota, Honda, Suzuki di Jepang; Hyundai dan KIA di Korea diproteksi ketat dari pesaing asing.Â
Demikian juga, industri elektronik seperti Sony dan Toshiba milik Jepang; Samsung dan Lucky Gold Star (LG) di Korea. Hasilnya adalah mereka tumbuh kuat dalam negeri, baru kemudian melakukan ekspansi internasional.
Presiden baru tidak bisa mengadopsi kebijakan yang sama. Ideologi ekonomi global adalah neo-liberal dan Indonesia menjadi bagian di dalamnya.Â
Proteksi mengharuskan diskriminasi terhadap yang internasional untuk melindungi yang nasional. Sebagai anggota WTO, kebijakan perlakuan nasional yang diskriminatif akan melanggar perjanjian 'trade related to investment', yang mengharuskan perlakuan yang adil. Indonesia bisa digugat oleh negara-negara lain jika menerapkan proteksi. Negara lain juga bisa membalas dengan tindakan yang sama.
Kegagalan pengembangan mobil nasional adalah contoh bagaimana proteksi dan perlakuan khusus lain tidak bisa diterapkan dalam lingkungan ekonomi liberal.Â
Oleh karenanya, pada akhir kekuasaan Suharto, Indonesia mencoba membangun merek mobil nasional "Timor' dengan perlakuan khusus. Mobil diimpor secara utuh dari Korea dengan tarif rendah. Jepang mengancam menggugat kebijakan ini ke panel WTO.Â
Pemerintah akhirnya membatalkan proyek mobil nasional. Kasus Mobil Esemka yang digadang Jokowi saat mencalonkan diri sebagai presiden adalah kasus lain. Retorika mobil nasional sebenarnya lebih sebagai kampanye politik daripada sebuah kebijakan serius. Bagaimana Esemka bisa bersaing dengan Honda, Toyota, Ford dan yang lain kalau tidak ada proteksi dan perlakuan khusus.
Kedua, reindustrialisasi membutuhkan garis kebijakan yang utuh dan terkordinasi. Sistem politik yang terdesentralisasi secara vertikal dan horisontal menghasilkan koordinasi kebijakan yang panjang dan kompleks.Â
Perusahaan harus harus melewati banyak 'meja' di pusat, dan 'meja bertingkat' dari pusat ke daerah. Reformasi birokrasi perizinan nampaknya belum mengatasi persoalan ini.Â