Pertama. Liberalisasi ekonomi sejak kejatuhan Suharto membuat perusahaan-perusahaan yang tidak mampu bersaing menutup pabrik.Â
Kedua. Satu janji liberalisasi adalah lonjakan investasi baru, khususnya  di sektor manufaktur. Ini tidak terjadi karena negara-negara lain juga membuka luas ekonomi mereka bagi investasi asing. Keterbukaan ini didukung oleh insentif berlimpah, kemudahan perizinan, korupsi rendah.Â
Sebaliknya investor mengeluhkan iklim investasi yang tidak ramah dalam bentuk birokratisasi perizinan, pungutan liar dan biaya tambahan lain.Â
Reformasi rezim investasi yang dilakukan Jokowi nampaknya berhasil menghapus perilaku predatori di lembaga-lembaga yang mengurus investasi.
Kebijakan daerah dalam urusan lahan misalnya juga menciptakan disinsetif terhadap investasi baru di sektor manufaktur. Ungkapan bahwa 'ayam belum bertelur sudah dipajaki' menggambarkan gejala tersebut.Â
Kondisi ini terjadi di tengah perkembangan 'competition state' yakni negara-negara yang gencar berlomba memberikan kemudahan untuk 'membujuk' investasi global masuk ke negara mereka. Â
Fenomena 'footlose capital' juga menyumbang kemandegan pertumbuhan manufaktur. Pasar finansial sudah sangat liberal.Â
Investasi protofolio dalam bentuk saham, perdagangan berjangka, surat utang  jelas jauh lebih menarik dibandingkan dengan manufaktur yang memiliki resiko lebih besar, prosedur lebih panjang. Belum lagi hambatan-hambatan lain yang disebutkan sebelumnya.
Terakhir adalah loncatan ekonomi. Pada banyak negara, ekonomi berkembang dari tahap agraris, sektor pengolahan, sektor jasa dan kemudian industri 'leisure' (waktu luang) khususnya pariwisata. Ekonomi kita meloncat dari agraris ke 'industri jalan-jalan'.Â
Pariwisata mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ini bukan sesuatu yang buruk. Dorongan besar pemerintah terhadap pariwisata, melalui pengembangan destinasi wisata premium' membuat investor lebih tertarik masuk ke sektor ini, daripada mendirikan pabrik pengolahan baru.
Tantangan Presiden baru: reindustrialisasi