"Bapaknya sendiri? Bapak kandung? Suaminya ibu?" tanyaku mencari kepastian.
"Iya. Suami saya. Bapak kandungnya dia,"
Aku mengangguk. Meski sedikit heran. Aku tadi bertanya seperti itu karena kukira bukan bapak kandung. Kalau tertekan pada bapak tiri wajarlah. Tapi kalau pada orang tua kandung kan jadi heran juga aku? Kok bisa?
"Suami saya orangnya kasar. Suka main tangan. Sering saya dipukulinya. Dulu waktu anak saya ini masih kecil dan belum saya sapih, sewaktu saya susui, bapaknya lagi kesal sama saya. Terus saya dipukulin. Sampai anak saya yang tadi itu jatuh dari gendongan. Sejak itu dia kalau lihat bapaknya sendiri suka takut,"
Aku cuma bisa menelan ludah mendengar ceritanya.
"Memang anak yang ini nggak pinter di pelajaran sekolah. Tapi dia pinter memahami perasaan saya. Fisiknya kan kuat, dia menawarkan diri ke tetangga-tetangga yang mau beli air, dia mau jadi jasa pikulnya. Jadi kalau ada tetangga beli air di gerobak gitu, anak saya yang tadi yang membelikannya di agen air bersih. Nanti dia yang ngangkat jerigen-jerigen air itu. Lumayan dapat uang dua ribu rupiah setiap satu gerobak air isi 8 jerigen,"
Aku menghembuskan nafas panjang mendengar kelanjutan cerita ibu itu.
"Uangnya dikasih ke saya. Katanya, ibuk ini buat belanja. Aku kasih dua ribu saja buat jajan di hari Sabtu nanti,"
Deg! Ada keharuan menyergap hatiku.
"Dia tahu kalau bapaknya suka marah-marah kalau saya mintain uang belanja,"
"Aah, ini sungguh menyesakan hati kisahnya," batinku.