Mohon tunggu...
Niken AproditaRamadhanti
Niken AproditaRamadhanti Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar atau Siswa

Hoby : menulis, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jembatan Harapan Bu Maya

25 November 2024   07:43 Diperbarui: 25 November 2024   08:49 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tepi sungai, Bu Maya tersenyum memandang anak-anak yang asyik bermain sambil memunguti sampah. Tangannya memegang sebatang pohon kecil yang akan ia tanam bersama anak-anak.Dengan penuh keyakinan, Bu Maya menanam pohon kecil itu di dekat tepi sungai. 

Anak-anak disekitarnya, menyaksikan dengan penuh antusias setiap gerakan tangan yang memasukkan akar pohon kecil itu ke dalam tanah basah. Selesai menanam, ia berdiri dan menghadap anak-anak yang masih menatap."Nak," ucapnya lembut, "pohon ini akan tumbuh besar suatu hari nanti. Ia akan memberi kita oksigen untuk bernapas, buah untuk dimakan, dan naungan dari panas matahari. Namun, diam-diam, pohon ini hanya akan tumbuh jika kita merawatnya dengan sepenuh hati. Sama seperti kalian yang harus terus belajar dan berbuat baik untuk tumbuh menjadi manusia. 

Rina, yang tadi memegangi kaleng air untuk menyirami pohon itu, segera menuangkan air ke akar-akar kecilnya. "Aku berjanji, Bu Maya. Aku akan merawat pohon ini setiap hari!" katanya dengan semangat. Tono dan anak-anak lainnya ikut mengangguk penuh tekad.Oleh karena itu, suasana desa berubah menjadi lebih hidup.

Keceriaan anak-anak menular kepada para warga yang sibuk membantu menata lingkungan. Para orang tua tampak tersenyum melihat kebersamaan yang jarang terjadi sebelumnya. Di sudut halaman, kepala desa terlihat berbincang dengan beberapa pemuda, membahas rencana untuk memperluas program penghijauan ini ke seluruh desa.

Ketika hari mulai gelap, Bu Maya mengajak semua orang berkumpul di halaman sekolah. Ia berdiri di atas panggung kecil yang terbuat dari kayu, lalu mengucapkan kata-kata yang menyentuh hati. "Bapak, Ibu, dan anak-anak semua, hari ini kita sudah membuktikan bahwa kebersamaan dapat membawa perubahan besar. Apa yang kami lakukan bukan sekedar menanam pohon atau membersihkan sungai. Kita sedang membangun masa depan. Saya percaya, dengan semangat ini, desa kita bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain. Mari kita jaga semangat ini, untuk anak cucu kita." 

Sorak-sorai memenuhi udara, disambut oleh tepuk tangan dari semua yang hadir. Malam itu, sebuah perasaan baru di desa perasaan bahwa mereka bukan lagi sekelompok individu yang hidup terpisah, tetapi sebuah komunitas yang kuat dan peduli.

Hari-hari berlalu, dan semangat yang ditanam Bu Maya tak pernah pudar. Pohon-pohon yang mereka tanam mulai tumbuh subur, memberikan warna hijau segar pada desa. Sungai yang dulu keruh kini mengalir jernih, dihiasi oleh ikan-ikan kecil yang kembali bermunculan. 

Anak-anak semakin giat belajar, tidak hanya tentang pelajaran di sekolah, tetapi juga tentang pentingnya menjaga alam. Mereka mulai mengerti bahwa pendidikan bukan hanya soal angka dan huruf, tetapi juga bagaimana menghargai kehidupan di sekitar mereka. 

Pada suatu pagi, saat Bu Maya sedang mengajar di kelas, seorang tamu tak terduga datang. Seorang pria berpakaian rapi dengan kamera di tangannya mengetuk pintu kelas. "Selamat pagi, Bu Maya," sapanya. "Saya jurnalis dari kota. Kami mendengar tentang perubahan besar yang Anda mulai di desa ini, dan kami ingin meliput cerita inspiratif ini." Bu Maya tersenyum, agak terkejut tetapi merasa bangga. "Ah, ini bukan hanya tentang saya, Pak. Semua ini adalah kerja keras anak-anak dan warga desa," jawabnya sambil melirik murid-muridnya yang tampak penasaran.

Liputan itu membawa nama desa kecil mereka ke berita nasional. Banyak pihak dari luar desa mulai berdatangan, menawarkan bantuan untuk mendukung program lingkungan yang telah berjalan. Mereka menyumbangkan alat, bibit pohon, dan bahkan membangun perpustakaan kecil di sekolah. 

Anak-anak semakin bersemangat, dan desa itu kini menjadi simbol perubahan yang dimulai dari hal-hal kecil.Tahun demi tahun berlalu, dan perubahan besar terjadi. Desa yang dulu terpencil kini dikenal sebagai "Desa Hijau." Anak-anak yang dulu belajar di kelas sederhana itu kini banyak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun