Mohon tunggu...
Niken AproditaRamadhanti
Niken AproditaRamadhanti Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar atau Siswa

Hoby : menulis, mendengarkan musik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jembatan Harapan Bu Maya

25 November 2024   07:43 Diperbarui: 25 November 2024   08:49 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mentari pagi menegaskan lembut melalui celah jendela rumah kecil di ujung desa. Di sanalah Bu Maya, seorang guru terhormat, memulai harinya. Setiap pagi, ia mengayuh sepeda tuanya menuju sekolah dasar yang jaraknya hampir sepuluh kilometer. Jalanan berbatu dan berlumpur bukanlah hambatan bagi perempuan yang telah mengabdikan dirinya untuk pendidikan. 

Dengan sepeda tua itu, Bu Maya melintasi jalanan desa yang sunyi, ditemani kicauan burung dan embusan angin pagi. Perjalanan itu adalah saat-saat yang ia gunakan untuk merenung dan berdoa. Ia tahu, di ujung perjalanan, anak-anak didiknya menanti dengan penuh harap. Harapan mereka adalah tanggung jawab besar yang selalu Bu Maya pikul di pundaknya.

Sepanjang perjalanan, Bu Maya sering memikirkan tentang apa yang bisa ia berikan untuk anak-anak tersebut. Baginya, pendidikan adalah jembatan yang bisa mengubah nasib. Ia tahu, tanpa pendidikan yang layak, masa depan mereka akan gelap, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa ia biarkan begitu saja. Meski hidupnya penuh dengan keterbatasan, Bu Maya selalu bertekad untuk memberikan yang terbaik, apapun yang  terjadi untuk anak-anak didiknya. 

Setibanya di sekolah, senyuman anak-anak langsung menghapuskan rasa lelahnya. Mereka berlari menghampiri dan menyapanya dengan riang. "Selamat pagi, Bu Guru!".Hari itu, Bu Maya memulai pelajaran dengan semangat yang tak pernah luntur. Meskipun ruang kelas itu sederhana, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan atap yang sering bocor saat hujan, semangat anak-anak itu tidak pernah padam.

Mereka belajar dengan penuh semangat, meski terkadang harus duduk di lantai yang berdebu, dan meja yang hampir tidak terlihat karena usianya. Di ruang kelas, Bu Maya selalu tampil penuh semangat. Suaranya lantang saat menjelaskan materi, namun selalu lembut ketika berinteraksi dengan murid-muridnya. 

Mereka menemukan "ibu", bukan hanya karena menetap sebagai guru, tetapi karena kasih sayang yang tulus seperti seorang ibu kepada anak-anaknya.Namun, siapa sangka di balik tawa dan senyuman hangatnya, tersimpan perjuangan yang tak pernah diketahui oleh siapa pun. Gaji yang kecil tak mampu mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Tak jarang ia harus menjahit di malam hari demi menambah penghasilan. Namun, dia tidak pernah mengeluh."Saya percaya, pendidikan adalah kunci perubahan," katanya suatu hari kepada Pak Sandi, kepala sekolah.

Hari itu, hujan deras mengguyur desa. Bu Maya tetap datang ke sekolah, meski pakaiannya basah kuyup. Ia tahu bahwa banyak anak yang menunggu di kelas, dan tidak ada yang akan mengajar mereka jika ia tidak hadir. Ketika sampai, ia menemukan kelas kosong. Beberapa murid ternyata tak bisa datang karena banjir.

Namun, alih-alih kembali, Bu Maya memutuskan untuk mengunjungi rumah mereka satu per satu.Di rumah kecil milik Siti, seorang murid kelas 3, Bu Maya melihat Siti tengah menggendong adik kecilnya. Orang tua Siti sedang bekerja di ladang, sehingga Siti terpaksa mangkir. "Belajar tidak harus di kelas, Nak," ujar Bu Maya sambil mengeluarkan buku dari tasnya.Di sela-sela tangisan adiknya yang rewel, Siti mencoba membaca sambil mendengarkan penjelasan Bu Maya.

Di rumah lain, Bu Maya melihat Budi, murid kelas 5, sedang membantu ibunya menjual pisang di pasar. "Bu, saya tidak bisa belajar hari ini," kata Budi sambil menunduk. Namun, Bu Maya tidak menyerah. Ia duduk bersama Budi di samping keranjang pisang, mengajarnya. 

Keesokan harinya, meskipun hujan masih turun dengan deras, Bu Maya kembali bersepeda menuju sekolah. Semangatnya tak pernah padam, karena ia tahu bahwa setiap tetes keringat yang jatuh dari tubuhnya adalah untuk masa depan yang lebih cerah bagi anak-anak didiknya. "Pendidikan adalah kunci, dan saya akan terus memegang kunci itu untuk membuka pintu-pintu kesempatan bagi mereka," gumamnya, menatap langit yang masih mendung. 

Namun, meski langit gelap dan hujan semakin deras, Bu Maya tidak pernah berniat untuk berhenti. Ia tahu, anak-anaknya menantikan kehadirannya, mereka membutuhkan semangat dan ilmu yang hanya bisa ia berikan. Sepeda tua yang kayunya berderit di jalan yang licin, membasahi sepatu dan celananya dengan air, namun tidak menghalangi langkahnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun