Sepanjang perjalanan, pikiran melayang pada wajah-wajah ceria anak-anak yang selalu menunggu di kelas. Wajah mereka penuh semangat, meskipun kadang harus menempuh jalan yang lebih sulit daripada yang Bu Maya rasakan. Beberapa dari mereka mungkin hanya makan seadanya, berjalan pulang jauh setelah sekolah, atau bahkan membantu orang tua di ladang. Namun semangat mereka untuk belajar selalu besar, dan itu membuat Bu Maya merasa semangat .Â
Saat akhirnya sampai di sekolah, ia disambut oleh suara riuh anak-anak yang tetap semangat meskipun di luar masih hujan. Mereka tampak agak basah, namun wajah-wajah mereka penuh dengan semangat dan keceriaan. Bu Maya tersenyum hangat, meskipun tubuhnya basah kuyup. "Selamat pagi, anak-anak," katanya dengan lembut, mengusap udara yang mengalir di wajahnya. "Hari ini kita akan belajar dengan semangat yang lebih besar lagi, meski hujan turun tanpa henti."
Hujan di luar masih mengguyur dengan deras, membasahi lingkungan sekolah hingga aroma tanah basah terasa di udara. Meskipun demikian, para siswa tampak tetap bersemangat. Mereka berdiri bergerombol di bawah atap teras, beberapa di antaranya tertawa sambil mengeringkan rambut mereka yang basah. Sepatu-sepatu kecil mereka memercikkan air ketika mereka berjalan melewati genangan di halaman.
Bu Maya yang juga basah kuyup mencoba merapikan jilbabnya sambil tersenyum hangat. Kehangatan itu seolah menyebar di tengah udara dingin pagi itu. Dengan langkah perlahan namun penuh keyakinan, ia berjalan menuju ruang kelas, melewati anak-anak yang segera menyambutnya dengan ceria.Â
"Selamat pagi, anak-anak," sapanya lembut, suara yang selalu mampu membuat mereka merasa tenang.Ia mengusap beberapa tetes air hujan yang masih mengalir di wajahnya, lalu melangkah masuk ke ruang kelas. Bau khas buku-buku basah menyambutnya, bercampur dengan aroma tanah yang menguap dari luar jendela. Anak-anak sudah duduk dengan rapi di bangku mereka, meski beberapa masih sibuk mengibaskan air dari rambut dan pakaian mereka yang lembap akibat perjalanan pagi tadi.
"Selamat pagi, Bu Maya!" jawab mereka serempak, suara mereka nyaring dan penuh semangat.Bu Maya tersenyum hangat mendengar semangat murid-muridnya. "Selamat pagi, anak-anak. Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, mari kita awali dengan berdoa.Semua anak segera menundukkan kepala, tangan mereka tertangkup di atas meja.Setelah doa selesai, Bu Maya memulai pelajaran dengan suara lembut namun penuh energi.
Ia mengajarkan tentang siklus udara, memanfaatkan hujan yang turun sebagai bahan pelajaran. Dengan kapur di tangannya, ia menggambar awan, sungai, dan matahari di papan tulis. Anak-anak terlihat antusias, mereka mendengarkan dengan penuh perhatian.Di sudut kelas, seorang anak bernama Rina mengangkat tangannya, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Bu, kenapa hujan terus turun? Apa langit sedang sedih?" tanyanya polos, membuat teman-temannya tertawa. Bu Maya tersenyum menghampiri meja Rina, lalu menjawab dengan lembut, "Tidak, Rina. Hujan itu bukan karena langit sedih, tapi karena alam memberikan berkahnya kepada kita. Hujan membantu tanaman tumbuh, mengisi sungai, dan memberi kehidupan .Â
Rina, seorang anak perempuan yang terkenal dengan rasa ingin tahunya yang besar, tersenyum kecil meskipun wajahnya masih menunjukkan sedikit kebingungan. Tatapan matanya menyiratkan keingintahuan yang mendalam saat ia kembali mengarahkan pertanyaannya kepada Bu Maya. Dengan nada yang lembut namun penuh rasa ingin tahu, ia bertanya, "Jadi Bu Maya, maksudnya hujan itu seperti hadiah yang diberikan oleh alam kepada kita semua ya?
Bu Maya, seorang guru yang dikenal sabar dan bijaksana, tersenyum lembut mendengar pertanyaan murid kecilnya itu. Ia kemudian mengangguk pelan, memberikan isyarat setuju, sambil dengan hati-hati meletakkan kapur tulis yang tadi dipegangnya ke atas meja. Dengan suara yang tenang namun penuh makna, ia menjawab, "Betul sekali, Rina. Hujan itu memang bisa kita anggap sebagai hadiah yang sangat berharga dari alam kepada kita. Coba bayangkan, kalau hujan tidak pernah turun lagi di bumi ini, apa yang akan terjadi pada kehidupan kita sehari-hari? Apa yang akan terjadi pada tanaman, hewan, dan manusia.Â
Mendengar pertanyaan itu, suasana kelas mendadak ramai dengan suara bisik-bisik di antara anak-anak. Mereka tampak serius membahas kemungkinan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh Bu Maya. Beberapa anak terlihat mengangkat tangan dengan antusias, berlomba-lomba untuk memberikan jawaban. Seorang anak dari barisan depan menjawab dengan penuh semangat, "Tanaman akan berbaring dan akhirnya mati, Bu!" Suaranya terdengar lantang di ruang kelas.Tak lama kemudian, seorang anak lainnya menimpali dengan suara yang tak kalah bersemangat, "Dan kita semua bisa kehausan karena tidak ada air lagi, Bu!" Jawaban itu disambut dengan anggukan setuju dari teman-temannya yang lain.
Bu Maya tersenyum hangat mendengar berbagai jawaban yang muncul dari murid-muridnya. Ia merasa bangga karena anak-anak ini mulai memahami pentingnya peran hujan dalam kehidupan. Dengan lembut, ia menjawab, "Jawaban kalian benar sekali, Anak-anak. Memang benar, jika tidak ada hujan, maka tanaman yang kita tanam bisa layu dan mati karena kekurangan udara, dan tentu saja kita juga akan kesulitan mendapatkan udara untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, kalian juga perlu tahu bahwa ada sisi lain dari hujan yang perlu kita pahami bersama.Â