Mohon tunggu...
Nidaa Nurul Fajri
Nidaa Nurul Fajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

Life takes on meaning when you become motivated, set goals and change after them in an unstoppable manner

Selanjutnya

Tutup

Book

Rekontruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam (Book Review)

7 Maret 2023   19:54 Diperbarui: 18 Maret 2023   20:22 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul               : Rekontruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam

Penulis            : Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H

Penerbit          : Kencana

Terbit              : 2022

Cetakan           : Pertama, Maret 2022

ISBN               : 978-623-384-153-5

Halaman         : 314 hlm

Buku tulisan Dr. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H yang berjudul  Rekontruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam mendeskripsikan secara lengkap mengenai permasalahan hukum perdata islam yang ada di Indonesia. Buku ini fokus membahas hukum perdata islam yang ada di Indonesia di bidang perkawinan, perceraian, pencatatan nikah sampai dengan pembagian waris.

Buku ini terdiri dari 314 halaman yang mencakup 12 pembahasan. Pada pembahasan pertama membahas mengenai dinamika hukum keluarga islam di nusantara, bagian kedua menjelaskan mengenai pencatatan perkawinan, hingga bagian ke dua belas membahas mengenai hukum kewarisan. Pada pembahasan pertama dijelaskan mengenai tiga teori mengenai Islam pertama kali masuk ke wilayah nusantara. Pertama, teori Arab menjelaskan bahwa Islam masuk ke nusantara pada abad ke-7 Masehi. Teori ini didukung oleh sebagian besar sejarawan tanah air seperti Hamka, Syed Muhammad Al Attas dan lainnya. Kedua teori Hujarat bahwa Islam masuk ke wilayah nusantara melalui Hujarat dan Malabar pada abad ke-12 Masehi. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seseorang berkebangsaan Belanda bernama Pijnapel dari universitas Leiden. Teori Benggali yang mengatakan bahwa Islam masuk ke nusantara melalui Benggali, Bangladesh. Pendapat ini didasarkan pada batu temuan batu nisan makam Malik As Saleh yang sama dengan yang ada di Benggali.

Pada periode awal masuknya Islam ke Nusantara jumlah penduduk Islam sangatlah sedikit sehingga hukum Islam pada bidang ibadah dan hukum keluarga dilaksanakan atas dasar kesadaran pribadi, jika terjadi hal-hal yang menuntut penyelesaian secara hukum maka akan dilakukan dengan cara tahkim. Jadi penggunaan lembaga tahkim terjadi pada periode awal Islam masuk di nusantara.

Pada masa kesultanan Islam hukum Islam menjadi acuan penting dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang timbul dari tengah-tengah masyarakat, pada awal kedatangan VOC ke wilayah nusantara tidak mengubah kebijakan terhadap hukum Islam Karena tujuan awal VOC datang ke nusantara adalah untuk misi perdagangan walaupun kemudian bergeser menjadi misi penjajahan.

Ada dua teori mengenai hukum keluarga Islam di masa penjajahan:

  • Teori Receptie in Complexu

Teori ini dicetuskan oleh lodewijk Christian van den berg (1845-1927), beliau adalah ahli hukum islam dari Belanda yang pernah tinggal di nusantara selama 7 tahun. Beliau pertama kali melakukan penelitian hubungan antara hukum Islam dan masyarakat muslim kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa umat Islam berlaku penuh hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai teori receptie in complexu. Teori ini muncul sebagai rumusan dari realitas hukum yang ada dan bersumber dari prinsip-prinsip hukum hidup di masyarakat karena saat itu Van denburg dianggap sebagai orang yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia Ia mempertegaskan berlakunya dan berlanjutnya politik hukum yang masih berjalan sekaligus merumuskan berlakunya hukum, dengan mengatakan bahwa "bagi rakyat pribumi yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya." Pada dasarnya teori receptie in complexu mirip dengan teori autoritas hukum yang dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeen Gibb (1895-1970) walaupun berbeda zamannya.

  • Teori Receptie

Dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje pada tahun 1898. Muatan penting dari teori ini adalah bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam baru berlaku jika norma Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini secara sengaja dan sadar berupaya untuk menjauhkan umat Islam dari hukum Islam, sejak bergulirnya teori ini banyak kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda tentang ekstensi hukum Islam lebih banyak merugikan umat Islam.

Pasca Indonesia merdeka perundang-undangan hukum keluarga khususnya hukum perkawinan belum terwujud dikarenakan karena adanya keragaman golongan dan etnik penduduk Indonesia, sehingga hukum perkawinan yang berlaku pada masa transisi kekuasaan dari pasca penguasa kolonialis pemerintahan republik Indonesia yaitu :

  • Hukum Islam, bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.
  • Hukum adat, yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.
  • Ordodansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks ordonnantie Cristen Indonesia (Stb. 1933 Nomor 74), berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen.
  • KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan beberapa perubahan, bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina.
  • Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum adat mereka.
  • KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek), bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa serta yang disamakan dengan mereka.

Pada tahun 1946 pemerintah berhasil membuat regulasi peraturan perkawinan melalui undang-undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah talak dan Rujuk. Undang-undang ini sebenarnya bersifat sementara karena hanya sifatnya yang terbatas berlaku bagi penduduk yang beragama Islam dan hanya untuk wilayah Jawa dan Madura. Karena kelahirannya dianggap sangat mendesak dan sudah terwujud gagasan untuk unifikasi hukum perkawinan yang telah muncul Sejak tahun 1950 maka dibentuklah panitia penyelidik peraturan hukum Perkawinan, Nikah, Talak dan Rujuk (panitia NTR).

Dalam undang-undang perkawinan menganut beberapa prinsip yang menjadi asas dalam mewujudkan tujuan perkawinan diantaranya yakni:

  • Asas Sukarela yakni asas yang didasarkan atas persetujuan kedua mempelai, karena jika tidak adanya kerelaan kedua belah pihak maka pada akhirnya akan mempengaruhi pada pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri.
  • Asas Sesuai Hukum Agama yakni bermakna keabsahan suatu perkawinan manakala telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam dicatatkan di pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan sedangkan yang beragama non muslim dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
  • Asas Partisipasi Keluarga maksudnya meskipun akad pernikahan merupakan perbuatan hukum 2 individu namun merupakan peristiwa penting yang sangat erat hubungannya dengan orang lain khususnya keluarga dan adanya keharusan adanya Wali dan saksi yang menjadikannya sebagai rukun akad pernikahan.
  • Asas Pencatatan maksudnya ialah perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
  • Asas Poligami Dibatasi maksudnya pengadilan dapat mengabulkan permohonan yang bersangkutan agar dapat mengizinkan seseorang suami beristri lebih dari seorang jika telah terpenuhinya berapa syarat.
  • Asas Perceraian Dipersulit maksudnya ialah walaupun perceraian diperbolehkan oleh undang-undang namun harus ada alasan-alasan tertentu yang bersifat limitatif serta harus dilakukan di depan di depan sidang pengadilan.
  • Asas Perlindungan terhadap Perempuan maksudnya ialah perlindungan yang diberikan negara berkembang karena masih menghadapi persoalan ketimpangan yang bersifat stereotip antara kaum laki-laki dan perempuan, yakni laki-laki superior dan perempuan inferior.

Salah satu persoalan hukum keluarga yang sering muncul yakni persoalan pencatatan perkawinan. Kedudukan pencatatan terhadap legalitas perkawinan memiliki implikasi yang sangat luas yang tidak hanya menyangkut perlindungan hak kedua belah pihak terutama istri, namun juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Bahkan sampai dengan hak kewarisan. Karena itulah pencatatan perkawinan ini sangat penting dilakukan. Namun, banyak munculnya praktik-praktik nikah siri yang terjadi di masyarakat dikarenakan rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat. 

Dalam kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selanjutnya keharusan pencatatan perkawinan berdasarkan khi menyatakan bahwa agar perkawinan itu terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam oleh karenanya setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun 1996 jo. UU Nomor 32 tahun 1954. Khi juga menghendaki keterlibatan PPN tidak hanya saat permohonan pencatatan namun keterlibatan itu terjadi sejak pelaksanaan perkawinan secara agama.

MK juga berpendapat bahwa maksud dari pencatatan perkawinan ialah menegaskan makna hukum dari pencatatan yang secara tegas dinyatakan; "bahwa suatu pernikahan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku." Oleh karena itu pencatatan tiap-tiap perkawinan dapat juga dimaknai sebagai Sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.

Pengaturan sanksi pidana hukum perkawinan Indonesia tidak diatur secara langsung dalam Undang-Undang No- mor 1 Tahun 1974, akan tetapi diatur dalam peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 tersebut berbunyi:

  • Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
  • Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hu- kuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);
  • Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (10), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
  • Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran

Di mata hukum perkawinan Yang Tidak dicatatkan Dianggap tidak pernah ada. Secara sosial, perkawinan yang tidak dicatatkan seringkali membawa berbagai dampak seperti penelantaran anak dan terjadinya KDRT.

Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai masalah perkawinan yakni salah satunya adalah perkawinan LGBT. Berita perkawinan LGBT dari waktu ke waktu selalu menarik perhatian masyarakat. Dalam hal ini ulama sepakat untuk mengharamkan homoseksual dan menggolongkannya kepada perbuatan keji yang menimbulkan dampak kerusakan sosial terutama moral. Karena pada hakikatnya Perkawinan LGBT adalah perkawinan sejenis antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Namun sebagian orang mengaitkan perkawinan ini dengan hak asasi manusia yang memberi jaminan setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan.

Dikarenakan pernikahan LGBT tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan maka undang-undang perkawinan secara tegas mendefinisikan bahwa Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang artinya bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara dua orang yang berlawanan jenis. Dengan begitu dapat dapat kita simpulkan bahwa Undang-Undang perkawinan secara tegas menolak adanya perkawinan LGBT. Perkawinan LGBT juga dapat mengancam jiwa yang berujung pada terputusnya keberlangsungan regenerasi manusia Oleh karena itu semua agama di dunia menentang adanya perkawinan sesama jenis.

Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai undang-undang perkawinan atau juga dikenal sebagai usia minimal perkawinan. Melalui pemahaman Pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun untuk melangsungkan pernikahan harus mendapat izin dari kedua orang tua. Karena secara contra legem, orang yang di atas usia 21 tahun dianggap telah matang secara biologis dan psikologis. Meskipun demikian membuat undang-undang menyadari bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya bisa menerima batasan usia minimal pernikahan 21 tahun karena itu ditetapkan usia minimal perkawinan apabila calon pengantin perempuan telah berusia 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.

Karena tidak sesuai dengan undang-undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 yang disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, oleh karenanya ketentuan batas minimal perkawinan bagi wanita dianggap bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak. Batas minimal perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria tidak lagi di rasa sesuai dan dinaikkan menjadi 19 tahun bagi calon pengantin pria dan wanita. Batas minimal perkawinan yang semula 16 tahun dinaikkan menjadi 19 tahun dengan alasan banyak dampak buruk yang terjadi. 

Dampak buruk perkawinan di bawah umur antara lain yakni perkawinan dan kelahiran di usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting angka kematian bayi yang dilahirkan oleh ibu di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari angka kematian ibu saat hamil dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar untuk perempuan berusia 15 sampai 19 tahun perkawinan anak rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan menyebabkan perceraian. Akan tetapi undang-undang juga mengatur mengenai norma penyimpangan terhadap batas usia minimal kawin dengan artian masih dimungkinkan bagi masyarakat yang menginginkan perkawinan di bawah usia minimal kawin dengan mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan.

Pluralisme yang ada di Indonesia tidak hanya dibuktikan dengan adanya ragam budaya namun juga pada ragam agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Dirjen kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada sekitar 187 kelompok penghayat kepercayaan yang terdapat di pemerintah. Secara de facto keberadaan penghayat kepercayaan diakui hak knya namun terhadap pelayanan publik terutama dalam masalah perkawinan belum mendapatkan perhatian yang khusus, dengan artian perkawinan penghayat kepercayaan harus mengikut ke dalam agama yang telah diakui resmi di Indonesia. Dalam orde lama Presiden Soekarno mengeluarkan PNPS yang dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama, namun juga menyinggung mengenai aliran kebatinan atau kepercayaan.

Latar belakang dibuatnya PNPS ialah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran agama dan untuk menciptakan ketentraman beragama dari berbagai penodaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Di zaman Orde Baru juga memperkuat PNPS di era Presiden Soekarno melalui TAP MPR nomor IV/ MPR/ 1978 tentang GBHN. Karena pada zaman ini telah muncul kasus perkawinan oleh penghayatan kepercayaan. Yang kemudian menyebabkan terbitnya surat keputusan Jaksa Agung No: KEP-089/J.A/9/1978 yang intinya melarang aliran kepercayaan Sapto Dharmo mengedarkan dan menggunakan surat kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan pusat Srati Dharma di Yogyakarta.

Pada tahun 2016 terdapat gugatan yang diajukan oleh Nggay, Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim, melalui kuasa hukumnya pada tanggal ajukan 28 September 2016. Pada intinya gugatan tersebut didasarkan atas kerugian konstitusional. Sehingga muncullah putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016. Putusan MK tersebut mengabulkan gugatan uji materi dan menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Dalam peraturan pemerintah tersebut juga diatur mengenai tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan yang diatur di dalam Bab VI Pasal 39 sampai Pasal 40 maka, secara tidak langsung perkawinan penghayatan kepercayaan ini telah diakui secara hukum oleh negara.

Dalam kasus perceraian istilah nusyuz tidak asing lagi sebab istilah tersebut sering dijadikan alasan pembebas suami untuk lepas dari tanggung jawab nafkah. Dalam pasal 149 khi mengharuskan suami yang menceraikan istrinya untuk membayar beberapa kewajiban diantaranya adalah nafkah iddah kecuali apabila istri dalam keadaan nusyuz. Konsep Ini pertama kali diperkenalkan oleh Alquran dalam mengidentifikasi sekaligus memberikan treatment gejala retaknya rumah tangga yang ditandai dengan ketidaksukaan salah satu pihak kepada pasangannya. 

Dalam Alquran ada tiga cara yang ditawarkan Alquran untuk menghadapi istri yang nusyus

  • Suami harus memberikan peringatan dan pengajaran bahwa perbuatan itu melanggar agama dan dapat menggugurkan hak apa 
  • Apabila istri tidak menunjukkan perbaikan sikapnya dan secara nyata perbuatan itu terjadi maka suami dapat melakukan tindakan seperti meniadakan jatah nafkah batin 
  • Apabila istri belum memperlihatkan adanya perbaikan maka suami boleh memukul istri dengan pukulan yang tidak membahayakan dengan tujuan untuk pendidikan.

Jikalau nusyuz diartikan keluarnya istri dari rumah tanpa izin suami secara mutlak maka, dapat dipastikan kebiasaan para istri di Indonesia termasuk perbuatan nusyuz. Karena di Indonesia sendiri terdapat kebiasaan masyarakat yang di mana suami itu tidak mempersalahkan keluarnya istri dari rumah selama masih dalam batas kewajaran. Oleh karena itu diperlukannya kembali reinterpretasi dari makna nusyuz pada pengertian yang lebih sesuai dengan kultur dan sistem kekeluargaan di Indonesia namun tidak menyimpang dari nash Alquran.

Di Indonesia sendiri perkawinan beda agama bukan merupakan isu baru yang terjadi. Akan tetapi tetap menarik untuk diperbincangkan. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Dan dalam ajaran agama yang ada di Indonesia, sejatinya melarang dan tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Namun kasus perkawinan beda agama terus bermunculan. Kasus perkawinan beda agama pertama kali menjadi kasus hukum yang terjadi pada sekitar tahun 1986 yang bermula dari hubungan cinta yang terjalin antara Andi Vonny Gani P dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan. 

Permasalahan itu bermula ketika mereka hendak menikah di mana Andi Vonny Gani P yang merupakan seorang perempuan muslim dan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan yang merupakan laki-laki Kristen ketika mereka hendak menikah mereka menyampaikan kehendak tersebut ke KUA maupun KCS Namun kedua lembaga tersebut menolak atas dasar itu mereka mengajukan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah menjatuhkan pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan penetapan nomor 382/Pdt.P/1986/PN.JKT.Pst. pada tanggal 11 April 1986. Pengadilan memutuskan bahwa membenarkan alasan KCS menolak kehendak tersebut dikarenakan hukum perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama.

Karena tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama maka diajukan kembali upaya hukum ke kasasi Mahkamah Agung dan melahirkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986, yang mana putusan MA membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mengadili sendiri yang amar pokoknya memerintahkan pencatatan sipil provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani P dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan. Atas dasar putusan MA tersebut maka menjadi yurisprudensi dan diikuti oleh pengadilan di bawahnya dalam memutus permohonan perkawinan beda agama. Jadi walaupun perkawinan beda agama tidak diatur dalam UU perkawinan, permohonan perkawinan beda agama dapat diajukan dan dapat dilaksanakan atas dasar yurisprudensi putusan Mahkamah Agung. Meski demikian tidak berarti pengadilan agama serta merta mengizinkan adanya perkawinan beda agama.

Dalam tataran konsepsi pembagian tugas rumah tangga, suami (laki-laki) menduduki peran penting sebagai kepala keluarga baik secara religius maupun dalam budaya. Namun seiring dengan menguatnya kesadaran kesetaraan gender pembagian peran antara suami dan istri mulai dipersoalkan, karena kenyataan di lapangan banyak dijumpai bahwa di mana istri mengambil peran yang lebih strategis dibanding suami. Karena itu aturan yang membekukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga dianggap tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. 

Dalam Islam pembahasan mengenai kepemimpinan suami tidak dapat dipisahkan dari surat an-nisa ayat 34 mendapat legitimasi dari beberapa riwayat Hadits dan dan berbagai interpretasi tafsir klasik yang menyimpulkan bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga yang Harus dipatuhi segala perintahnya. Karena banyak ditemukan fakta bahwa penafsiran klasik tidak sesuai dengan konstruksi sosial yang berkembang saat ini maka diperlukan reinterpretasi ulang yang sesuai dengan konteks kekinian. 

Karena secara sosiologis kita berada di dalam tata sosiokultur masyarakat yang berbeda dengan zaman di mana Wahyu itu turun yang kental dengan budaya patriarki. Banyak alasan yang muncul di mana Seorang Istri harus menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga, walaupun secara de facto para istri mengambil alih tugas dan peran itu namun mereka tidak serta merta menyertakan diri sebagai kepala keluarga karena adanya hambatan norma sosial agama bahkan hukum positif. Dalam undang-undang perkawinan juga tidak memberikan ruang kepada istri untuk menjadi kepala keluarga sehingga terjadi keadaan kontradiktif antara kepala keluarga secara hukum dan kenyataan dalam keseharian. 

Dengan demikian diperlukan pembaharuan undang-undang perkawinan guna mempertimbangkan situasi yang di luar kebiasaan umum terjadi agar secara de facto istri yang menjadi kepala keluarga juga dapat diakomodasi sebagai kepala keluarga secara hukum. Perubahan distribusi fungsi antara suami istri dalam rumah tangga tentunya membawa pengaruh terhadap institusi perkawinan itu sendiri, misalnya dalam hal nafkah hadhanah dan lain sebagainya. 

Di antara implikasi lain yang bisa terjadi dalam perceraian ialah karena talak, jika istri ditalak maka ia harus menjalankan ibadah selama masa iddah tersebut ada hukum khusus yang mengatur dirinya untuk tidak boleh menikah dengan orang lain dan menjaga diri. Dalam hal ini Tentunya suami wajib memberi nafkah atau menanggung kebutuhan istri selama sang istri menjalani masa iddah. Jika sebelumnya terjadi distribusi fungsi di mana istri mengambil peran sebagai pencari nafkah, tentu akan timbul persoalan tersendiri mengenai bagaimana cara si istri yang ditalak tersebut memenuhi dirinya sendiri sedangkan dirinya terkena hukum khusus yang berlaku untuknya.

Kajian terhadap anak luar kawin menjadi menarik manakala maka Mahmah Konstitusi mengabulkan uji materi terhadap Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan norma hukum yang berlaku dirasa selaras dengan nilai-nilai yang diyakini umat Islam bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin hanya mempunyai hubungan nasab dengan Ibunya dan keluarga ibunya. Wahbah Zuhaili memberi pengertian nasab ialah suatu kesandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah bahwa seseorang itu bagian dari yang lain. Karena di dalam agama Islam sangat pentingnya persoalan nasab bagi kehidupan. Islam berkepentingan membagi anak yang lahir ke dalam dua bagian. Pertama,  anak syar'i maksudnya ialah hukum yang menetapkan adanya hubungan nasab antara anak dan orang tua laki-lakinya. Kedua, anak thabi'i karena secara hukum anak itu dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya, dan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Putusan MK-Nomor 46/PUU-VI/2010, sesungguhnya ditujukan untuk anak yang lahir di luar perkawinan akibat nikah siri atau kumpul kebo. 

Latar belakang terjadinya putusan MK tersebut merupakan jawaban permohonan uji materi yang diajukan Machica Mochtar yang dinikahi secara siri oleh Moerdiono (mantan menteri di era Orde Baru). Pernikahan itu menghasilkan seorang anak M Iqbal Ramadhan, namun ironisnya Moerdiono dan keluarga besarnya tidak mengakui pernikahan itu dan sekaligus anak yang dilahirkan. Putusan MK tersebut berimplikasi pada penetapan sahnya perkawinan pada hukum agama Sehingga anak Hasil perkawinan Siri harus dinyatakan memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Namun jika ditunjukkan untuk anak yang lahir dari berhubungan di luar perkawinan maka perlu adanya penafsiran pengertian "hubungan perdata" dalam amar putusan MK nomor 46/PUU-IX/2011.

Dalam kompilasi hukum Islam tidak menyebutkan secara tegas bahwa perbedaan agama menjadi halangan untuk saling mewarisi namun mayoritas ulama Fiqih 4 mazhab berpendapat bahwa perbedaan agama menjadi halangan untuk saling mewarisi pendapat ini didasarkan pada riwayat hadis Usamah bin Zaid tentang larangan saling mewarisi antara orang Islam dan orang kafir. Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan di Indonesia memutuskan putusan kewarisan beda agama yang dianggap mengandung terobosan hukum terdapat pada putusan nomor 368/K/AG/1995. Dalam putusan tersebut MA menyatakan bahwa bagian harta peninggalan anak kandung yang murtad sama kedudukannya dengan hak anak kandung yang beragama Islam dengan jalan Wasiat Wajibah.

Kesimpulan dari materi di atas yakni hukum perdata Islam khususnya hukum keluarga merupakan hukum yang mengatur hubungan yang timbul dari hubungan kekeluargaan. Dalam Islam hubungan antara keluarga menempati kedudukan yang penting dan merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan. Karena masyarakat terus berkembang menuju tatanan kehidupan modern yang elegaliter sehingga menyebabkan regulasi hukum keluarga harus diperbarui relevansinya dengan kebutuhan saat ini. Karena sejatinya kehidupan masyarakat dahulu dan sekarang sangatlah berbeda dan kebutuhan hukum masyarakat saat ini semakin luas. Beberapa pasal dalam undang-undang perkawinan sudah diajukan uji materi ke mahkamah konstitusi dan sudah mengalami perubahan. Dalam merubah regulasi hukum keluarga harus dilakukan secara hati-hati sebab hal itu menyangkut fikih melalui Kajian al ahwal asy-syahsiyah, nidham al usrah ahkam al-usroh dan lain sebagainya.

Buku dengan judul Rekontruksi Epistemologi Hukum Keluarga Islam ini memiliki beberapa kelebihan yakni diantaranya adalah penggunaan bahasa yang mudah dipahami dan dicantumkan pula berbagai  sudut pandang yang membahas di setiap permasalahan, mulai dari sudut pandang orde lama, orde baru, kompilasi hukum islam, perspektif Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan lain sebagainya.

Selain itu buku ini juga memiliki beberapa kekurangan diantaranya yakni, pembahasannya terkesan seperti diulang-ulang sehinga terkesan monoton. Ada juga beberapa pembahasan yang terlihat menggantung dan tidak relevan antara masalah, jawaban dan hukum al-qur’annya, sehingga penulis mengira diperlukannya reinterprestasi pembaharuan peraturan hukum yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun