Di mata hukum perkawinan Yang Tidak dicatatkan Dianggap tidak pernah ada. Secara sosial, perkawinan yang tidak dicatatkan seringkali membawa berbagai dampak seperti penelantaran anak dan terjadinya KDRT.
Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai masalah perkawinan yakni salah satunya adalah perkawinan LGBT. Berita perkawinan LGBT dari waktu ke waktu selalu menarik perhatian masyarakat. Dalam hal ini ulama sepakat untuk mengharamkan homoseksual dan menggolongkannya kepada perbuatan keji yang menimbulkan dampak kerusakan sosial terutama moral. Karena pada hakikatnya Perkawinan LGBT adalah perkawinan sejenis antara laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan. Namun sebagian orang mengaitkan perkawinan ini dengan hak asasi manusia yang memberi jaminan setiap orang untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan.
Dikarenakan pernikahan LGBT tidak sesuai dengan undang-undang perkawinan maka undang-undang perkawinan secara tegas mendefinisikan bahwa Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang artinya bahwa perkawinan hanya boleh dilakukan antara dua orang yang berlawanan jenis. Dengan begitu dapat dapat kita simpulkan bahwa Undang-Undang perkawinan secara tegas menolak adanya perkawinan LGBT. Perkawinan LGBT juga dapat mengancam jiwa yang berujung pada terputusnya keberlangsungan regenerasi manusia Oleh karena itu semua agama di dunia menentang adanya perkawinan sesama jenis.
Dalam buku ini juga dijelaskan mengenai undang-undang perkawinan atau juga dikenal sebagai usia minimal perkawinan. Melalui pemahaman Pasal 6 ayat 2 menyatakan bahwa seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun untuk melangsungkan pernikahan harus mendapat izin dari kedua orang tua. Karena secara contra legem, orang yang di atas usia 21 tahun dianggap telah matang secara biologis dan psikologis. Meskipun demikian membuat undang-undang menyadari bahwa masyarakat Indonesia tidak sepenuhnya bisa menerima batasan usia minimal pernikahan 21 tahun karena itu ditetapkan usia minimal perkawinan apabila calon pengantin perempuan telah berusia 16 tahun dan laki-laki 19 tahun.
Karena tidak sesuai dengan undang-undang Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002 yang disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan, oleh karenanya ketentuan batas minimal perkawinan bagi wanita dianggap bertentangan dengan undang-undang perlindungan anak. Batas minimal perkawinan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria tidak lagi di rasa sesuai dan dinaikkan menjadi 19 tahun bagi calon pengantin pria dan wanita. Batas minimal perkawinan yang semula 16 tahun dinaikkan menjadi 19 tahun dengan alasan banyak dampak buruk yang terjadi.Â
Dampak buruk perkawinan di bawah umur antara lain yakni perkawinan dan kelahiran di usia anak meningkatkan risiko terjadinya stunting angka kematian bayi yang dilahirkan oleh ibu di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari angka kematian ibu saat hamil dan melahirkan adalah penyebab kematian kedua terbesar untuk perempuan berusia 15 sampai 19 tahun perkawinan anak rentan terjadi kekerasan dalam rumah tangga dan menyebabkan perceraian. Akan tetapi undang-undang juga mengatur mengenai norma penyimpangan terhadap batas usia minimal kawin dengan artian masih dimungkinkan bagi masyarakat yang menginginkan perkawinan di bawah usia minimal kawin dengan mengajukan permohonan dispensasi ke pengadilan.
Pluralisme yang ada di Indonesia tidak hanya dibuktikan dengan adanya ragam budaya namun juga pada ragam agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Dirjen kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada sekitar 187 kelompok penghayat kepercayaan yang terdapat di pemerintah. Secara de facto keberadaan penghayat kepercayaan diakui hak knya namun terhadap pelayanan publik terutama dalam masalah perkawinan belum mendapatkan perhatian yang khusus, dengan artian perkawinan penghayat kepercayaan harus mengikut ke dalam agama yang telah diakui resmi di Indonesia. Dalam orde lama Presiden Soekarno mengeluarkan PNPS yang dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama, namun juga menyinggung mengenai aliran kebatinan atau kepercayaan.
Latar belakang dibuatnya PNPS ialah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran agama dan untuk menciptakan ketentraman beragama dari berbagai penodaan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Di zaman Orde Baru juga memperkuat PNPS di era Presiden Soekarno melalui TAP MPR nomor IV/ MPR/ 1978 tentang GBHN. Karena pada zaman ini telah muncul kasus perkawinan oleh penghayatan kepercayaan. Yang kemudian menyebabkan terbitnya surat keputusan Jaksa Agung No: KEP-089/J.A/9/1978 yang intinya melarang aliran kepercayaan Sapto Dharmo mengedarkan dan menggunakan surat kawin yang dikeluarkan oleh Yayasan pusat Srati Dharma di Yogyakarta.
Pada tahun 2016 terdapat gugatan yang diajukan oleh Nggay, Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim, melalui kuasa hukumnya pada tanggal ajukan 28 September 2016. Pada intinya gugatan tersebut didasarkan atas kerugian konstitusional. Sehingga muncullah putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016. Putusan MK tersebut mengabulkan gugatan uji materi dan menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk "kepercayaan". Dalam peraturan pemerintah tersebut juga diatur mengenai tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan yang diatur di dalam Bab VI Pasal 39 sampai Pasal 40 maka, secara tidak langsung perkawinan penghayatan kepercayaan ini telah diakui secara hukum oleh negara.
Dalam kasus perceraian istilah nusyuz tidak asing lagi sebab istilah tersebut sering dijadikan alasan pembebas suami untuk lepas dari tanggung jawab nafkah. Dalam pasal 149 khi mengharuskan suami yang menceraikan istrinya untuk membayar beberapa kewajiban diantaranya adalah nafkah iddah kecuali apabila istri dalam keadaan nusyuz. Konsep Ini pertama kali diperkenalkan oleh Alquran dalam mengidentifikasi sekaligus memberikan treatment gejala retaknya rumah tangga yang ditandai dengan ketidaksukaan salah satu pihak kepada pasangannya.Â
Dalam Alquran ada tiga cara yang ditawarkan Alquran untuk menghadapi istri yang nusyus
- Suami harus memberikan peringatan dan pengajaran bahwa perbuatan itu melanggar agama dan dapat menggugurkan hak apaÂ
- Apabila istri tidak menunjukkan perbaikan sikapnya dan secara nyata perbuatan itu terjadi maka suami dapat melakukan tindakan seperti meniadakan jatah nafkah batinÂ
- Apabila istri belum memperlihatkan adanya perbaikan maka suami boleh memukul istri dengan pukulan yang tidak membahayakan dengan tujuan untuk pendidikan.