Jikalau nusyuz diartikan keluarnya istri dari rumah tanpa izin suami secara mutlak maka, dapat dipastikan kebiasaan para istri di Indonesia termasuk perbuatan nusyuz. Karena di Indonesia sendiri terdapat kebiasaan masyarakat yang di mana suami itu tidak mempersalahkan keluarnya istri dari rumah selama masih dalam batas kewajaran. Oleh karena itu diperlukannya kembali reinterpretasi dari makna nusyuz pada pengertian yang lebih sesuai dengan kultur dan sistem kekeluargaan di Indonesia namun tidak menyimpang dari nash Alquran.
Di Indonesia sendiri perkawinan beda agama bukan merupakan isu baru yang terjadi. Akan tetapi tetap menarik untuk diperbincangkan. Dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Dan dalam ajaran agama yang ada di Indonesia, sejatinya melarang dan tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Namun kasus perkawinan beda agama terus bermunculan. Kasus perkawinan beda agama pertama kali menjadi kasus hukum yang terjadi pada sekitar tahun 1986 yang bermula dari hubungan cinta yang terjalin antara Andi Vonny Gani P dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan.Â
Permasalahan itu bermula ketika mereka hendak menikah di mana Andi Vonny Gani P yang merupakan seorang perempuan muslim dan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan yang merupakan laki-laki Kristen ketika mereka hendak menikah mereka menyampaikan kehendak tersebut ke KUA maupun KCS Namun kedua lembaga tersebut menolak atas dasar itu mereka mengajukan kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setelah menjatuhkan pemeriksaan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan penetapan nomor 382/Pdt.P/1986/PN.JKT.Pst. pada tanggal 11 April 1986. Pengadilan memutuskan bahwa membenarkan alasan KCS menolak kehendak tersebut dikarenakan hukum perkawinan tidak mengatur perkawinan beda agama.
Karena tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama maka diajukan kembali upaya hukum ke kasasi Mahkamah Agung dan melahirkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986, yang mana putusan MA membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mengadili sendiri yang amar pokoknya memerintahkan pencatatan sipil provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Vonny Gani P dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan. Atas dasar putusan MA tersebut maka menjadi yurisprudensi dan diikuti oleh pengadilan di bawahnya dalam memutus permohonan perkawinan beda agama. Jadi walaupun perkawinan beda agama tidak diatur dalam UU perkawinan, permohonan perkawinan beda agama dapat diajukan dan dapat dilaksanakan atas dasar yurisprudensi putusan Mahkamah Agung. Meski demikian tidak berarti pengadilan agama serta merta mengizinkan adanya perkawinan beda agama.
Dalam tataran konsepsi pembagian tugas rumah tangga, suami (laki-laki) menduduki peran penting sebagai kepala keluarga baik secara religius maupun dalam budaya. Namun seiring dengan menguatnya kesadaran kesetaraan gender pembagian peran antara suami dan istri mulai dipersoalkan, karena kenyataan di lapangan banyak dijumpai bahwa di mana istri mengambil peran yang lebih strategis dibanding suami. Karena itu aturan yang membekukan suami sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga dianggap tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan.Â
Dalam Islam pembahasan mengenai kepemimpinan suami tidak dapat dipisahkan dari surat an-nisa ayat 34 mendapat legitimasi dari beberapa riwayat Hadits dan dan berbagai interpretasi tafsir klasik yang menyimpulkan bahwa suami adalah pemimpin rumah tangga yang Harus dipatuhi segala perintahnya. Karena banyak ditemukan fakta bahwa penafsiran klasik tidak sesuai dengan konstruksi sosial yang berkembang saat ini maka diperlukan reinterpretasi ulang yang sesuai dengan konteks kekinian.Â
Karena secara sosiologis kita berada di dalam tata sosiokultur masyarakat yang berbeda dengan zaman di mana Wahyu itu turun yang kental dengan budaya patriarki. Banyak alasan yang muncul di mana Seorang Istri harus menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga, walaupun secara de facto para istri mengambil alih tugas dan peran itu namun mereka tidak serta merta menyertakan diri sebagai kepala keluarga karena adanya hambatan norma sosial agama bahkan hukum positif. Dalam undang-undang perkawinan juga tidak memberikan ruang kepada istri untuk menjadi kepala keluarga sehingga terjadi keadaan kontradiktif antara kepala keluarga secara hukum dan kenyataan dalam keseharian.Â
Dengan demikian diperlukan pembaharuan undang-undang perkawinan guna mempertimbangkan situasi yang di luar kebiasaan umum terjadi agar secara de facto istri yang menjadi kepala keluarga juga dapat diakomodasi sebagai kepala keluarga secara hukum. Perubahan distribusi fungsi antara suami istri dalam rumah tangga tentunya membawa pengaruh terhadap institusi perkawinan itu sendiri, misalnya dalam hal nafkah hadhanah dan lain sebagainya.Â
Di antara implikasi lain yang bisa terjadi dalam perceraian ialah karena talak, jika istri ditalak maka ia harus menjalankan ibadah selama masa iddah tersebut ada hukum khusus yang mengatur dirinya untuk tidak boleh menikah dengan orang lain dan menjaga diri. Dalam hal ini Tentunya suami wajib memberi nafkah atau menanggung kebutuhan istri selama sang istri menjalani masa iddah. Jika sebelumnya terjadi distribusi fungsi di mana istri mengambil peran sebagai pencari nafkah, tentu akan timbul persoalan tersendiri mengenai bagaimana cara si istri yang ditalak tersebut memenuhi dirinya sendiri sedangkan dirinya terkena hukum khusus yang berlaku untuknya.
Kajian terhadap anak luar kawin menjadi menarik manakala maka Mahmah Konstitusi mengabulkan uji materi terhadap Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan norma hukum yang berlaku dirasa selaras dengan nilai-nilai yang diyakini umat Islam bahwa anak yang dilahirkan di luar kawin hanya mempunyai hubungan nasab dengan Ibunya dan keluarga ibunya. Wahbah Zuhaili memberi pengertian nasab ialah suatu kesandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah bahwa seseorang itu bagian dari yang lain. Karena di dalam agama Islam sangat pentingnya persoalan nasab bagi kehidupan. Islam berkepentingan membagi anak yang lahir ke dalam dua bagian. Pertama, Â anak syar'i maksudnya ialah hukum yang menetapkan adanya hubungan nasab antara anak dan orang tua laki-lakinya. Kedua, anak thabi'i karena secara hukum anak itu dianggap tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua laki-lakinya, dan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya. Putusan MK-Nomor 46/PUU-VI/2010, sesungguhnya ditujukan untuk anak yang lahir di luar perkawinan akibat nikah siri atau kumpul kebo.Â
Latar belakang terjadinya putusan MK tersebut merupakan jawaban permohonan uji materi yang diajukan Machica Mochtar yang dinikahi secara siri oleh Moerdiono (mantan menteri di era Orde Baru). Pernikahan itu menghasilkan seorang anak M Iqbal Ramadhan, namun ironisnya Moerdiono dan keluarga besarnya tidak mengakui pernikahan itu dan sekaligus anak yang dilahirkan. Putusan MK tersebut berimplikasi pada penetapan sahnya perkawinan pada hukum agama Sehingga anak Hasil perkawinan Siri harus dinyatakan memiliki hubungan perdata dengan ayahnya. Namun jika ditunjukkan untuk anak yang lahir dari berhubungan di luar perkawinan maka perlu adanya penafsiran pengertian "hubungan perdata" dalam amar putusan MK nomor 46/PUU-IX/2011.