Pada masa kesultanan Islam hukum Islam menjadi acuan penting dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum yang timbul dari tengah-tengah masyarakat, pada awal kedatangan VOC ke wilayah nusantara tidak mengubah kebijakan terhadap hukum Islam Karena tujuan awal VOC datang ke nusantara adalah untuk misi perdagangan walaupun kemudian bergeser menjadi misi penjajahan.
Ada dua teori mengenai hukum keluarga Islam di masa penjajahan:
- Teori Receptie in Complexu
Teori ini dicetuskan oleh lodewijk Christian van den berg (1845-1927), beliau adalah ahli hukum islam dari Belanda yang pernah tinggal di nusantara selama 7 tahun. Beliau pertama kali melakukan penelitian hubungan antara hukum Islam dan masyarakat muslim kemudian menghasilkan kesimpulan bahwa umat Islam berlaku penuh hukum Islam yang kemudian dikenal sebagai teori receptie in complexu. Teori ini muncul sebagai rumusan dari realitas hukum yang ada dan bersumber dari prinsip-prinsip hukum hidup di masyarakat karena saat itu Van denburg dianggap sebagai orang yang menemukan dan memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia Ia mempertegaskan berlakunya dan berlanjutnya politik hukum yang masih berjalan sekaligus merumuskan berlakunya hukum, dengan mengatakan bahwa "bagi rakyat pribumi yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya." Pada dasarnya teori receptie in complexu mirip dengan teori autoritas hukum yang dikemukakan oleh Hamilton Alexander Rosskeen Gibb (1895-1970) walaupun berbeda zamannya.
- Teori Receptie
Dikemukakan oleh Christian Snouck Hurgronje pada tahun 1898. Muatan penting dari teori ini adalah bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat dan hukum Islam baru berlaku jika norma Islam telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori ini secara sengaja dan sadar berupaya untuk menjauhkan umat Islam dari hukum Islam, sejak bergulirnya teori ini banyak kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda tentang ekstensi hukum Islam lebih banyak merugikan umat Islam.
Pasca Indonesia merdeka perundang-undangan hukum keluarga khususnya hukum perkawinan belum terwujud dikarenakan karena adanya keragaman golongan dan etnik penduduk Indonesia, sehingga hukum perkawinan yang berlaku pada masa transisi kekuasaan dari pasca penguasa kolonialis pemerintahan republik Indonesia yaitu :
- Hukum Islam, bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.
- Hukum adat, yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.
- Ordodansi Perkawinan Indonesia Kristen Huwelijks ordonnantie Cristen Indonesia (Stb. 1933 Nomor 74), berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen.
- KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) dengan beberapa perubahan, bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warga negara Indonesia keturunan Cina.
- Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya berlaku hukum adat mereka.
- KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek), bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa serta yang disamakan dengan mereka.
Pada tahun 1946 pemerintah berhasil membuat regulasi peraturan perkawinan melalui undang-undang nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan nikah talak dan Rujuk. Undang-undang ini sebenarnya bersifat sementara karena hanya sifatnya yang terbatas berlaku bagi penduduk yang beragama Islam dan hanya untuk wilayah Jawa dan Madura. Karena kelahirannya dianggap sangat mendesak dan sudah terwujud gagasan untuk unifikasi hukum perkawinan yang telah muncul Sejak tahun 1950 maka dibentuklah panitia penyelidik peraturan hukum Perkawinan, Nikah, Talak dan Rujuk (panitia NTR).
Dalam undang-undang perkawinan menganut beberapa prinsip yang menjadi asas dalam mewujudkan tujuan perkawinan diantaranya yakni:
- Asas Sukarela yakni asas yang didasarkan atas persetujuan kedua mempelai, karena jika tidak adanya kerelaan kedua belah pihak maka pada akhirnya akan mempengaruhi pada pencapaian tujuan perkawinan itu sendiri.
- Asas Sesuai Hukum Agama yakni bermakna keabsahan suatu perkawinan manakala telah dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya. Bagi yang beragama Islam dicatatkan di pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan sedangkan yang beragama non muslim dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
- Asas Partisipasi Keluarga maksudnya meskipun akad pernikahan merupakan perbuatan hukum 2 individu namun merupakan peristiwa penting yang sangat erat hubungannya dengan orang lain khususnya keluarga dan adanya keharusan adanya Wali dan saksi yang menjadikannya sebagai rukun akad pernikahan.
- Asas Pencatatan maksudnya ialah perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya, dan perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
- Asas Poligami Dibatasi maksudnya pengadilan dapat mengabulkan permohonan yang bersangkutan agar dapat mengizinkan seseorang suami beristri lebih dari seorang jika telah terpenuhinya berapa syarat.
- Asas Perceraian Dipersulit maksudnya ialah walaupun perceraian diperbolehkan oleh undang-undang namun harus ada alasan-alasan tertentu yang bersifat limitatif serta harus dilakukan di depan di depan sidang pengadilan.
- Asas Perlindungan terhadap Perempuan maksudnya ialah perlindungan yang diberikan negara berkembang karena masih menghadapi persoalan ketimpangan yang bersifat stereotip antara kaum laki-laki dan perempuan, yakni laki-laki superior dan perempuan inferior.
Salah satu persoalan hukum keluarga yang sering muncul yakni persoalan pencatatan perkawinan. Kedudukan pencatatan terhadap legalitas perkawinan memiliki implikasi yang sangat luas yang tidak hanya menyangkut perlindungan hak kedua belah pihak terutama istri, namun juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Bahkan sampai dengan hak kewarisan. Karena itulah pencatatan perkawinan ini sangat penting dilakukan. Namun, banyak munculnya praktik-praktik nikah siri yang terjadi di masyarakat dikarenakan rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat.Â
Dalam kompilasi hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan yang sah adalah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, selanjutnya keharusan pencatatan perkawinan berdasarkan khi menyatakan bahwa agar perkawinan itu terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam oleh karenanya setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 22 tahun 1996 jo. UU Nomor 32 tahun 1954. Khi juga menghendaki keterlibatan PPN tidak hanya saat permohonan pencatatan namun keterlibatan itu terjadi sejak pelaksanaan perkawinan secara agama.
MK juga berpendapat bahwa maksud dari pencatatan perkawinan ialah menegaskan makna hukum dari pencatatan yang secara tegas dinyatakan; "bahwa suatu pernikahan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku." Oleh karena itu pencatatan tiap-tiap perkawinan dapat juga dimaknai sebagai Sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang.
Pengaturan sanksi pidana hukum perkawinan Indonesia tidak diatur secara langsung dalam Undang-Undang No- mor 1 Tahun 1974, akan tetapi diatur dalam peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975 tersebut berbunyi:
- Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
- Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hu- kuman denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah);
- Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (10), 11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
- Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran